SEPOTONG kepala nyengir tanpa nyawa. Tanpa tubuh. Dia dijumpai
orang di pinggir sebuah boulevard terkenal di kota itu:
mendongak dalam sebuah peti kardus yang berlepotan darah. Di
kotak bekas tempat bir kalengan itulah sang kepala hadir bersama
cincangan daging, tulang, kulit, usus, jari, dengkul, kuku,
paru-paru dan sebagainya.
Baunya meluas, busuk. Dan sementara deretan belatung kecil mulai
menggeliat-geliat mengerumuninya--demikianlah dalam kisah yang
sangat menjijikkan ini--sang kepala pun memandang tiap orang di
depannya dengan mata yang mati, yang kelabu, dingin, mendesak.
Dia seperti sphinx.
Dan seperti sphinx dalam dongeng Yunani kuno, dia bertanya:
"Siapakah aku?"
Seluruh kota berpenduduk 10 juta itu gempar. Dan harap maklum:
semua ini nyata, faktual, dan tak menghasut. Semua ini bukan
cuma imajinasi dalam cerita pendek Putu Wijaya, sehingga ketika
mayat itu bertanya, "Siapakah aku?", serombongan dokter ahli
berpikir keras. Juga sejumlah detektif. Juga para pejabat.
Mereka bekerja berjam-jam, lupa berolahraga atau mandi dan makan
malam dengan anak istri mereka. Mereka mengkonsinyir diri.
Mereka berusaha betul untuk menjawab pertanyaan sphinx itu.
Sebab konon, bila pertanyaan itu tak terjawab, kota akan
ditulari sejenis penyakit yang tak jelas namanya dan belum ada
obatnya.
Yang jelas penyakit itu bersangkut paut dengan kejiwaan.
"Siapakah aku?"
Tapi hari berganti hari, Jumat berganti Jumat. Pengorbanan para
dokter, para detektif dan para pejabat itu ternyata sia-sia
belaka. Jawaban tak diketemukan.
Maka bertekadlah pemimpin kota itu untuk mengundang--buat
pertama kalinya sejak 12 tahun --apa yang disebut sebagai
partisipasi sosial. Artinya: dia minta masyarakat banyak ikut
menebak. Lalu di arah depan kepala mayat itu dibukalah sebuah
lapangan kecil 7 m x 5 m, dan di sana didirikan podium. Satu
mike dan pengeras suara dipasang. Para penebak' bisa bicara dari
sana, ke arah mayat.
Orang ramai pun datang berkerumun, bahkan berbondong-bondong.
Di hari pertama ada 18 orang naik ke podium dan mencoba menebak.
Ada yang mengatakan bahwa kepala itu adalah kepala temannya yang
hilang hari Senin lalu. Ada yang mengatakan bahwa dia kepala
agen narkotik yang membelot. Ada yang mengatakan bahwa mayat itu
dulunya pecandu film silat. Dan seterusnya.
Tapi sang kepala yang tanpa nyawa itu teup tak menunjukkan
reaksi apaapa. Hanya matanya yang mati itu kini berubah: dari
kelabu menjadi membiru gelap, bercampur warna kuning-- semacam
air mata yang kenul seperti lendir. Dia masih bertanya,
"Siapakah aku?".
DEMIKIANLAH hari demi hari tak ada tebakan yang memuaskan. Lalu
pelan-pelan, kota pun menunjukkan tanda-tanda penyakit yang
diancamkan itu. Orang sukar tidur. Bila malam larut ada suara
menerpa kuping: dokrak-dokrak-dokrak . . . Lalu paginya orang
pun muntah-muntah, pegal, linu, berdebar-debar dan akhirnya jadi
murung.
Para pemimpin kota hampir putus asa. Sampai akhirnya daunglah
seorang pemuda lantang-lantung yang baru tiba dari kota lain. Ia
telah mendengar kasus kepala yang melontarkan teka-teki itu, dan
ketika malam tiba, ia datang ke sana.
Dilihatnya kepala itu cukup mengerikan, karena dari bagian
lehernya kini menetes sesuatu: bukan darah, tapi bagian daging
yang mencair. Toh pemuda kita ini dengan cara lantang-lantungnya
menenangkan diri. Ia berkata pendek: "Kau adalah kepalaku yang
copot--kalau tidak sekarang, nanti".
Lalu ia pun melakukan apa yang selama ini tak dilakukan orang
lain: menendang kepala itu keras-keras, hingga terbang, jauh,
untuk akhirnya terjun ke dalam laut. "Duillah," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini