Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kepala pemuda lontang-lantung

Sepotong kepala yang lepas dari badannya menggegerkan penduduk kota 10 juta. Tak ada yang bisa menebak milik siapa kepala yang mengerikan. Akhirnya seorang pemuda yang lontang-lantung mengaku sebagai pemiliknya.

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPOTONG kepala nyengir tanpa nyawa. Tanpa tubuh. Dia dijumpai orang di pinggir sebuah boulevard terkenal di kota itu: mendongak dalam sebuah peti kardus yang berlepotan darah. Di kotak bekas tempat bir kalengan itulah sang kepala hadir bersama cincangan daging, tulang, kulit, usus, jari, dengkul, kuku, paru-paru dan sebagainya. Baunya meluas, busuk. Dan sementara deretan belatung kecil mulai menggeliat-geliat mengerumuninya--demikianlah dalam kisah yang sangat menjijikkan ini--sang kepala pun memandang tiap orang di depannya dengan mata yang mati, yang kelabu, dingin, mendesak. Dia seperti sphinx. Dan seperti sphinx dalam dongeng Yunani kuno, dia bertanya: "Siapakah aku?" Seluruh kota berpenduduk 10 juta itu gempar. Dan harap maklum: semua ini nyata, faktual, dan tak menghasut. Semua ini bukan cuma imajinasi dalam cerita pendek Putu Wijaya, sehingga ketika mayat itu bertanya, "Siapakah aku?", serombongan dokter ahli berpikir keras. Juga sejumlah detektif. Juga para pejabat. Mereka bekerja berjam-jam, lupa berolahraga atau mandi dan makan malam dengan anak istri mereka. Mereka mengkonsinyir diri. Mereka berusaha betul untuk menjawab pertanyaan sphinx itu. Sebab konon, bila pertanyaan itu tak terjawab, kota akan ditulari sejenis penyakit yang tak jelas namanya dan belum ada obatnya. Yang jelas penyakit itu bersangkut paut dengan kejiwaan. "Siapakah aku?" Tapi hari berganti hari, Jumat berganti Jumat. Pengorbanan para dokter, para detektif dan para pejabat itu ternyata sia-sia belaka. Jawaban tak diketemukan. Maka bertekadlah pemimpin kota itu untuk mengundang--buat pertama kalinya sejak 12 tahun --apa yang disebut sebagai partisipasi sosial. Artinya: dia minta masyarakat banyak ikut menebak. Lalu di arah depan kepala mayat itu dibukalah sebuah lapangan kecil 7 m x 5 m, dan di sana didirikan podium. Satu mike dan pengeras suara dipasang. Para penebak' bisa bicara dari sana, ke arah mayat. Orang ramai pun datang berkerumun, bahkan berbondong-bondong. Di hari pertama ada 18 orang naik ke podium dan mencoba menebak. Ada yang mengatakan bahwa kepala itu adalah kepala temannya yang hilang hari Senin lalu. Ada yang mengatakan bahwa dia kepala agen narkotik yang membelot. Ada yang mengatakan bahwa mayat itu dulunya pecandu film silat. Dan seterusnya. Tapi sang kepala yang tanpa nyawa itu teup tak menunjukkan reaksi apaapa. Hanya matanya yang mati itu kini berubah: dari kelabu menjadi membiru gelap, bercampur warna kuning-- semacam air mata yang kenul seperti lendir. Dia masih bertanya, "Siapakah aku?". DEMIKIANLAH hari demi hari tak ada tebakan yang memuaskan. Lalu pelan-pelan, kota pun menunjukkan tanda-tanda penyakit yang diancamkan itu. Orang sukar tidur. Bila malam larut ada suara menerpa kuping: dokrak-dokrak-dokrak . . . Lalu paginya orang pun muntah-muntah, pegal, linu, berdebar-debar dan akhirnya jadi murung. Para pemimpin kota hampir putus asa. Sampai akhirnya daunglah seorang pemuda lantang-lantung yang baru tiba dari kota lain. Ia telah mendengar kasus kepala yang melontarkan teka-teki itu, dan ketika malam tiba, ia datang ke sana. Dilihatnya kepala itu cukup mengerikan, karena dari bagian lehernya kini menetes sesuatu: bukan darah, tapi bagian daging yang mencair. Toh pemuda kita ini dengan cara lantang-lantungnya menenangkan diri. Ia berkata pendek: "Kau adalah kepalaku yang copot--kalau tidak sekarang, nanti". Lalu ia pun melakukan apa yang selama ini tak dilakukan orang lain: menendang kepala itu keras-keras, hingga terbang, jauh, untuk akhirnya terjun ke dalam laut. "Duillah," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus