Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kamus menghamparkan beberapa arti bagi kata pemerintah.
Ada hierarki yang begitu mencolok pada kata pemerintah dan rakyat.
Relasi kuasa yang timpang antara pengelola negara dan warga negara dimulai dari politik bahasa.
AKHIR-akhir ini saya sering menertawakan diri sendiri. Kejengkelan saya kepada sekelompok orang ternyata berasal dari ketidakjelian saya dalam memahami suatu kata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya tidak dongkol kepada pribadi mereka. Saya hanya geram terhadap kebijakan-kebijakan mereka yang tak bijak dalam ihwal politik-ekonomi. Atau kebijakan-kebijakan tersebut cuma “bijak sana”, tapi tidak “bijak sini”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata yang saya maksud adalah kata pemerintah. Dalam tempurung kepala saya, mereka yang disebut pemerintah adalah pelayan yang ditugasi rakyat untuk mengurus negara. Untuk itu mereka digaji. Ada pula sih yang "ambil bonus" lewat korupsi.
Namun, dengan memahaminya sebagai pelayan rakyat, betapa selama ini saya keliru. Kalau pelayan, kenapa mereka disebut pemerintah? Kenapa mereka tidak disebut pelayan atau pengabdi saja? Apakah dua kata ini dianggap rendah karena identik dengan babu atau kuli?
Kamus menghamparkan beberapa arti bagi kata pemerintah. Pertama, sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan yang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya. Kedua, sekelompok orang yang secara bersama-sama memiliki tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan.
Penguasa suatu negara adalah arti ketiga. Keempat, badan tertinggi yang memerintah suatu negara seperti kabinet. Adapun negara atau negeri sebagai lawan partikelir atau swasta merupakan makna kelima. Terakhir, keenam, pengurus atau pengelola.
Enam arti ini saya angkut dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima versi daring 0.4.1 (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: 2016-2022). Karena bikinan lembaga pelat merah, tentu saja kamus yang edisi cetaknya bisa dibuat bantal itu tak memuat arti tekstualnya: tukang perintah.
Dalam kamus tersebut, untuk kata pemerintah, tak ada arti pelayan atau orang yang mengabdikan dirinya kepada rakyat. Yang ada malah penguasa suatu negara; pengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik; pengguna kekuasaan; badan tertinggi yang memerintah; juga pengurus dan pengelola dengan contoh pemerintah perkebunan dan tambang.
Dahsyat sekaligus otoriter, bukan?
Wahai, rakyat Indonesia, mari kita cermati, semua arti kata ini menempatkan pemerintah sebagai pihak yang superior. Bandingkan dengan kata rakyat pada kamus yang sama. Selain diberi arti penduduk suatu negara; orang kebanyakan; orang biasa; juga pasukan dan bala tentara; rakyat dimaknai sebagai anak buah dan bawahan.
Ada hierarki yang begitu mencolok pada arti dari dua kata tersebut. Relasi kuasa yang timpang antara pengelola negara dan warga negara dimulai dari politik bahasa yang hegemonik. Betapa rakyat hanya anak buah, hanya bawahan, dari pemerintah yang penguasa.
Bahkan para pelayan rakyat itu enteng saja menyebut dirinya pemerintah. Simaklah ketika mereka menyelenggarakan konferensi pers. Tanpa rasa bersalah, orang yang berbicara di depan kamera para wartawan hampir selalu berucap, “Kami, atas nama pemerintah...” atau “Dengan ini, sebagai pemerintah, kami...”.
Yang seharusnya melayani malah memerintah. Yang semestinya memerintah justru melayani. Kekacauan ini bermula dari bahasa, dari kekeliruan menyematkan suatu kata.
Rakyatlah yang sejatinya lebih pantas disebut sebagai pemerintah karena rakyat yang memberi mandat, juga gaji dan fasilitas mewah, kepada mereka untuk mengurus negara. Kalau mereka disebut pemerintah, yang diperintah tentu saja bukan mobil Esemka, tapi rakyat. Rakyat adalah pelayan, sedangkan pemerintah adalah majikan. Demikianlah kamus bersabda, begitulah kenyataan bertakhta.
Jadi benarlah sudah ketika pemerintah meminta rakyat menyerahkan tanah yang mereka hidupi dan menghidupi mereka untuk pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Pati dan Rembang, Jawa Tengah; untuk dijadikan tambang emas di Sangihe, Sulawesi Utara; atau dijadikan Bandar Udara Internasional Baru Yogyakarta di Kulon Progo. Benar, karena secara bahasa, mereka adalah pemerintah, adalah tukang perintah.
Tapi, kalau mereka disebut pelayan, sayalah yang benar bila meminta mereka tidak meloloskan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakilnya dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Benar pula jika saya memerintahkan mereka menghapus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dua makhluk konstitusi ini adalah monster pembantai demokrasi.
Namun akhirnya, sebagai rakyat, saya salah apabila menyuruh pemerintah menggagalkan proyek-proyek reklamasi di berbagai penjuru negeri yang memelaratkan penghidupan dan kehidupan para nelayan. Saya juga keliru jika meminta pemerintah menggagalkan rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas, yang akan menyengsarakan para petani di sana, untuk pembuatan bendungan Bener di Purworejo, Jawa Tengah.
Kenapa salah? Kenapa keliru?
Tentu saja saya salah, tentu saja saya keliru. Tukang perintah, kok, diperintah!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo