SOSIAL budaya itu keranjang besar, keranjang yang teramat besar.
Betapa tidak. Kalau sambil kening berkerut dibilang pembangunan
tersendat-sendat akibat rintangan budaya, nah, silakan pilih
penjelasan mana saja dari keranjang maha besar itu.
Boleh ambil yang namanya ikatan primordinal, yang namanya ikatan
ketat keluarga luas, yang namanya tak berpandangan jauh ke
depan, sikap terhadap kerja yang kendur, fanatisme, feodalisme,
tidak bisa berhemat, lebih besar pasak dari tiang, munafik,
status wanita yang memilukan, makan tidak makan asal hidup
bersama.
Soal fertilitas? Permasalahan ini juga tidak bisa melepaskan
diri dari keranjang besar itu. Konon, sebab isi keanjang itu
kerap dipakai secara meleset dan tidak terkendalikan, Kingsley
Davis dan Judith Blake lalu meluruskannya dengan menggunakan
variabel-antara (intermediate variables) yang tersohor itu.
Faktor sosial budaya, katakanlah modernisasi, tidak bisa begitu
saja menabrak fertilitas, atau jumlah anak lahir hidup. Tidak
bisa tembak langsung.
Untuk mempengaruhi fertilitas, faktor sosial budaya harus
melalui (beberapa) variabel-antara yang semuanya berjumlah
sebelas: 1. usia kawin 2. proporsi wanita yang tak pernah
kawin 3. keretakan perkawinan, 4. abstinensi (tidak kumpul)
sukarela 5. abstinensi terpaksa 6. frekuensi hubungan seks 7.
faktor biologis yang mempengaruhi kesuburan atau kemandulan 8.
kontrasepsi, 9. sterilisasi 10. keguguran 11. pengguguran.
Modernisasi umpamanya, bisa menurunkan fertilitas lewat
meningkatnya usia kawin (no. 1) dan pemakaian kontrasepsi (no.
8). Dus, jalurnya harus begini: FAKTOR BUDAYA-VARIABEL
ANTARA-FERTILITAS.
Dari Eropa
Tersebutlah buku Europe's fertility transition: new evidence
and lessons for today's developing world karangan tokoh
terkemuka Etienne van de Walle dan John Knodel 19803. Di situ
ditelusuri seluk beluk penurunan tingkat kelahiran di Eropa.
Dimanfaatkan catatan baptis, catatan kematian dan silsilah yang
berusia ratusan tahun. Dikaji di mana penurunan fertilitas mulai
berlangsung dan faktor-faktor yang kira-kira mempengaruhi:
ekonomi, tingkat melek huruf, tingkat kematian bayi dan
lain-lain. Lalu dikaitkan dengan teori transisi demografi, yaitu
proses penurunan tingkat kelahiran dan kematian. Dari riwayat
Eropa ini diharapkan tersembul hikmah yang bisa dipetik
negara-negara yang sedang berkembang.
Halaman 35 mencantumkan gambar petani Prancis maksudnya
menghormati Prancis yang menjadi pelopor praktek keluarga
berencana pada zaman pra-industri, bermodal dengkul alias
sanggama terputus. Mengapa bermula di Prancis, sukar
diterangkan.
Sejak dahulu perbedaan fertilitas di Eropa jelas terdapat ada
tingkat antar-negeri, antar-provinsi dan unit yang lebih kecil
lagi dari itu. Mengapa? Tidak jelas. Karena itu terpaksa
berkiblat ke keranjang besar itu, sosial budaya dan sulit
mengaitkannya dengan variabel-antara Davis dan Blake. Yang
jelas, penurunan fertilitas mulai terjadi di daerah tertentu,
menyebar ke daerah sekitarnya walau keadaan ekonominya berbeda.
Persamaan dalam kemajuan ekonomi di tempat-tempat yang terpisah
tidak membawa efek yang sama terhadap penurunan fertilitas.
Untuk menekankan faktor sosial budaya dan tradisi, dalam buku
itu disajikan contoh daerah Rusia di Asia Tengah. Walau
perubahan sosial sudah terjadi beberapa dekade, pendidikan maju,
tingkat kematian rendah, dan penerangan besar-besaran, tingkat
fertilitas tetap tinggi. Sekali lagi perlu berpaling ke
keranjang besar, kalau mau penjelasan mengapa fertilitas tetap
tidak goyah di kawasan ini.
Dari Jawa
Tersebutlah pula buku Biro Pusat Statistik (1976): Perkiraan
angka kelahiran dan kematian di Indonesia berdasarkan sensus
penduduk 1971. Angka-angkanya mencantumkan fertilitas total:
rata-rata jumlah lahir hidup yang dihasilkan wanita selama usia
reproduksi. Pulau Sumatera menyalakan lampu merah karena
fertilitas totalnya tinggi sekali, sebesar 6,4 (tahun
1967-1970). Sumatera Utara lebih merah lagi, sampai 7,0. Maluku
dan Nusa Tenggara Barat juga merah, masing-masing punya
fertilitas total 6,7 dan 6,5.
Jawa paling rendah, punya fertilitas total 5,2 (tahun
1967-1970). Tapi pola fertilitas pra-industri Eropa juga muncul
di sini terdapat perbedaan yang sangat menyolok dari daerah ke
daerah. Fertilitas total Jawa Barat cukup tinggi (5,9) dan Jawa
Timur cukup rendah (4,6). Nah, kalau perlu diberi penghargaan
untuk tingkat kelahiran rendah sebelum Program KB dilancarkan,
niscaya penghargaan itu diboyong Jawa Timur.
Perbedaan itu lebih menyolok pada tingkat kabupaten. Lampu merah
dengan fertilitas total sebesar 6 ke atas terdapat pada 12
kabupaten (daerah kota dan pedesaan) di Jawa Barat:
Kabupaten-kabupaten Pandeglang (6,3), Lebak (7,0), Bogor (6,7),
Sukabumi (6,2), Cianjur (6,2), Bandung (6,2), Garut (6,2),
Tasikmalaya (6,1), Cirebon (6,2), Kuningan (6,2), Tanggerang
(6,1) dan Bekasi (6,2). Sebaliknya tidak ada kabupaten di Jawa
Barat dengan fertilitas total di bawah 4. Kabupaten demikian
terdapat di beberapa kantung pekotaan Jawa Timur pada tingkat
kabupaten: Kabupaten-kabupaten Panarukan (3,1), Bondowoso (3,5),
Jember (3,6) dan Tuban (3,9). Satu di Jawa Tengah: Kabupaten
Semarang (3,8). Khususnya Panarukan, entah mengapa, fertilitas
total di pedesaannya juga rendah, sebesar 3,0. Dengan begitu,
tingkat fertilitas Kabupaten-kabupaten Lebak, Bogor, Sukabumi,
Bandung dan seterusnya dua kali lebih tinggi dibanding
Panarukan.
Nah, kalau mau menghargai kabupaten gemilang dengan Parasamnya
untuk kesuksesan KB pada zaman pra-KB, maka Parasamnya Purna
Kabe Nugraha tentu digondol Panarukan, diarak dan dielukan
dengan drumband semarak.
Mereka yang getol metodologi akan tanya: variabel-variabel mana
gerangan yang bikin gara-gara, yang membikin Pandeglang, Lebak,
Bogor dan Bandung begitu berbeda dengan Panarukan, Bondowoso,
Jember dan Tuban? Apakah perceraian? Tidak kumpul? Sanggama
terputus? Penyakit kelamin? Pengguguran? Terpaksa menganga lagi
keranjang besar itu, sosial budaya. Belum jelas lewat
variabel-antara yang mana.
Atau barangkali mau coba teori Rose Frisch? Kata Frisch, kurang
gizi dan tekanan hidup menekan tingkat fertilitas, lewat faktor
biologis. Wah, kalau begitu bisa berabe lagi, fertilitas bisa
naik (semoga sementara) kalau ekonomi dan kesehatan membaik.
Mana tahu, bisa pula lewat motivasi. Cukup pangan, cukup
sandang, cukup papan, merangsang orang ingin tambah keturunan.
Lo, persoalan kembali lagi ke keranjang besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini