Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Keranjang besar dan fertilitas

Sulit menghubungkan antara kaitan sosial budaya & fertilitas. fertilitas terendah terjadi di panarukan. tak diketahui apa faktor penyebab sebenarnya, karena di bandung angkanya dua kali lebih tinggi.

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOSIAL budaya itu keranjang besar, keranjang yang teramat besar. Betapa tidak. Kalau sambil kening berkerut dibilang pembangunan tersendat-sendat akibat rintangan budaya, nah, silakan pilih penjelasan mana saja dari keranjang maha besar itu. Boleh ambil yang namanya ikatan primordinal, yang namanya ikatan ketat keluarga luas, yang namanya tak berpandangan jauh ke depan, sikap terhadap kerja yang kendur, fanatisme, feodalisme, tidak bisa berhemat, lebih besar pasak dari tiang, munafik, status wanita yang memilukan, makan tidak makan asal hidup bersama. Soal fertilitas? Permasalahan ini juga tidak bisa melepaskan diri dari keranjang besar itu. Konon, sebab isi keanjang itu kerap dipakai secara meleset dan tidak terkendalikan, Kingsley Davis dan Judith Blake lalu meluruskannya dengan menggunakan variabel-antara (intermediate variables) yang tersohor itu. Faktor sosial budaya, katakanlah modernisasi, tidak bisa begitu saja menabrak fertilitas, atau jumlah anak lahir hidup. Tidak bisa tembak langsung. Untuk mempengaruhi fertilitas, faktor sosial budaya harus melalui (beberapa) variabel-antara yang semuanya berjumlah sebelas: 1. usia kawin 2. proporsi wanita yang tak pernah kawin 3. keretakan perkawinan, 4. abstinensi (tidak kumpul) sukarela 5. abstinensi terpaksa 6. frekuensi hubungan seks 7. faktor biologis yang mempengaruhi kesuburan atau kemandulan 8. kontrasepsi, 9. sterilisasi 10. keguguran 11. pengguguran. Modernisasi umpamanya, bisa menurunkan fertilitas lewat meningkatnya usia kawin (no. 1) dan pemakaian kontrasepsi (no. 8). Dus, jalurnya harus begini: FAKTOR BUDAYA-VARIABEL ANTARA-FERTILITAS. Dari Eropa Tersebutlah buku Europe's fertility transition: new evidence and lessons for today's developing world karangan tokoh terkemuka Etienne van de Walle dan John Knodel 19803. Di situ ditelusuri seluk beluk penurunan tingkat kelahiran di Eropa. Dimanfaatkan catatan baptis, catatan kematian dan silsilah yang berusia ratusan tahun. Dikaji di mana penurunan fertilitas mulai berlangsung dan faktor-faktor yang kira-kira mempengaruhi: ekonomi, tingkat melek huruf, tingkat kematian bayi dan lain-lain. Lalu dikaitkan dengan teori transisi demografi, yaitu proses penurunan tingkat kelahiran dan kematian. Dari riwayat Eropa ini diharapkan tersembul hikmah yang bisa dipetik negara-negara yang sedang berkembang. Halaman 35 mencantumkan gambar petani Prancis maksudnya menghormati Prancis yang menjadi pelopor praktek keluarga berencana pada zaman pra-industri, bermodal dengkul alias sanggama terputus. Mengapa bermula di Prancis, sukar diterangkan. Sejak dahulu perbedaan fertilitas di Eropa jelas terdapat ada tingkat antar-negeri, antar-provinsi dan unit yang lebih kecil lagi dari itu. Mengapa? Tidak jelas. Karena itu terpaksa berkiblat ke keranjang besar itu, sosial budaya dan sulit mengaitkannya dengan variabel-antara Davis dan Blake. Yang jelas, penurunan fertilitas mulai terjadi di daerah tertentu, menyebar ke daerah sekitarnya walau keadaan ekonominya berbeda. Persamaan dalam kemajuan ekonomi di tempat-tempat yang terpisah tidak membawa efek yang sama terhadap penurunan fertilitas. Untuk menekankan faktor sosial budaya dan tradisi, dalam buku itu disajikan contoh daerah Rusia di Asia Tengah. Walau perubahan sosial sudah terjadi beberapa dekade, pendidikan maju, tingkat kematian rendah, dan penerangan besar-besaran, tingkat fertilitas tetap tinggi. Sekali lagi perlu berpaling ke keranjang besar, kalau mau penjelasan mengapa fertilitas tetap tidak goyah di kawasan ini. Dari Jawa Tersebutlah pula buku Biro Pusat Statistik (1976): Perkiraan angka kelahiran dan kematian di Indonesia berdasarkan sensus penduduk 1971. Angka-angkanya mencantumkan fertilitas total: rata-rata jumlah lahir hidup yang dihasilkan wanita selama usia reproduksi. Pulau Sumatera menyalakan lampu merah karena fertilitas totalnya tinggi sekali, sebesar 6,4 (tahun 1967-1970). Sumatera Utara lebih merah lagi, sampai 7,0. Maluku dan Nusa Tenggara Barat juga merah, masing-masing punya fertilitas total 6,7 dan 6,5. Jawa paling rendah, punya fertilitas total 5,2 (tahun 1967-1970). Tapi pola fertilitas pra-industri Eropa juga muncul di sini terdapat perbedaan yang sangat menyolok dari daerah ke daerah. Fertilitas total Jawa Barat cukup tinggi (5,9) dan Jawa Timur cukup rendah (4,6). Nah, kalau perlu diberi penghargaan untuk tingkat kelahiran rendah sebelum Program KB dilancarkan, niscaya penghargaan itu diboyong Jawa Timur. Perbedaan itu lebih menyolok pada tingkat kabupaten. Lampu merah dengan fertilitas total sebesar 6 ke atas terdapat pada 12 kabupaten (daerah kota dan pedesaan) di Jawa Barat: Kabupaten-kabupaten Pandeglang (6,3), Lebak (7,0), Bogor (6,7), Sukabumi (6,2), Cianjur (6,2), Bandung (6,2), Garut (6,2), Tasikmalaya (6,1), Cirebon (6,2), Kuningan (6,2), Tanggerang (6,1) dan Bekasi (6,2). Sebaliknya tidak ada kabupaten di Jawa Barat dengan fertilitas total di bawah 4. Kabupaten demikian terdapat di beberapa kantung pekotaan Jawa Timur pada tingkat kabupaten: Kabupaten-kabupaten Panarukan (3,1), Bondowoso (3,5), Jember (3,6) dan Tuban (3,9). Satu di Jawa Tengah: Kabupaten Semarang (3,8). Khususnya Panarukan, entah mengapa, fertilitas total di pedesaannya juga rendah, sebesar 3,0. Dengan begitu, tingkat fertilitas Kabupaten-kabupaten Lebak, Bogor, Sukabumi, Bandung dan seterusnya dua kali lebih tinggi dibanding Panarukan. Nah, kalau mau menghargai kabupaten gemilang dengan Parasamnya untuk kesuksesan KB pada zaman pra-KB, maka Parasamnya Purna Kabe Nugraha tentu digondol Panarukan, diarak dan dielukan dengan drumband semarak. Mereka yang getol metodologi akan tanya: variabel-variabel mana gerangan yang bikin gara-gara, yang membikin Pandeglang, Lebak, Bogor dan Bandung begitu berbeda dengan Panarukan, Bondowoso, Jember dan Tuban? Apakah perceraian? Tidak kumpul? Sanggama terputus? Penyakit kelamin? Pengguguran? Terpaksa menganga lagi keranjang besar itu, sosial budaya. Belum jelas lewat variabel-antara yang mana. Atau barangkali mau coba teori Rose Frisch? Kata Frisch, kurang gizi dan tekanan hidup menekan tingkat fertilitas, lewat faktor biologis. Wah, kalau begitu bisa berabe lagi, fertilitas bisa naik (semoga sementara) kalau ekonomi dan kesehatan membaik. Mana tahu, bisa pula lewat motivasi. Cukup pangan, cukup sandang, cukup papan, merangsang orang ingin tambah keturunan. Lo, persoalan kembali lagi ke keranjang besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus