ISTILAH "fundamentalis" memang sedang jelek konotasinya
terdengar hampir sama dengan "teroris". Bukankah di pers asing
kata ini biasanya muncul berikut foto misalnya, lelaki atau
wanita berkerudung yang menyandang bedil?
Padahal golongan "fundamentalis" dalam Islam, kalau toh mau
disebut begitu, bukanlah kelompok kecil -- dan jelas bukan
teroris. Pada ketika dunia Islam bangkit kembali untuk mencari
pegangan kembali pada sumber-sumber Islam, guna memperoleh
kekuatannya, fundamentalisme (dalam bentuk apa pun akhirnya)
sudah tidak bisa dilepaskan dari dunia baru Islam sendiri.
Itulah sebabnya Dr. Olaf Schumann, dari Lembaga Penelitian dan
Studi (LPS) Dewan Gereja Indonesia mencari istilah Islam yang
barangkali paling mendekati pengertian "fundamentalis" yang
sebenarnya yang tidak berkonotasi dengan kekerasan dan teror.
Dan itu adalah salafiyah.
Salafiyah adalah gerakan yang tumbuh setelah Ibnu Taimiah dan
Ibnul Qaiyim di abad XIII dan XIV mengajak kembali kepada
tradisi salaf -- yakni generasi pertama Islam alias para sahabat
Nabi. Pedoman 'Quran dan Sunnah Nabi' dicanangkan, dan lahir
kemudian berbagai gerakan Wahhabiah di Jazirah Arab, Muhammad
Abduh darl Rasyid Ridha di Mesir, Imam Bonjol dan kaum Padrinya,
Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad di Indonesia, misalnya. Gerakan
ini bergema dan menimbulkan interaksi, dan itulah kemudian warna
dunia baru Islam.
Jadi, bila di Masjid Istiqamah Bandung golongan Imran yang
"fundamentalis" dikatakan melawan para pengurus masjid dan
pemuda lainnya, yang justru diketahui banyak diwarnai Persis
atau Muhammadiyah (yang juga "fundamentalis"), lalu apa arti
sebutan itu? Juga bila kelompok teroris di Arab Saudi di bulan
November 1979 menduduki Masjidil Haram, dan menyerang pemerintah
Saudi yang sama-sama "fundamentalis"?
Keruwetan bisa tumbuh, karena memang istilah itu diambil dari
kamus Kristen (lihat box). Itu juga dikemukakan oleh Th.
Sumarthana, juga dari LPS-DGI, dalam diskusi yang sama.
Abdurrahman Wahid kemudian berusaha memberi perbedaan: bila
fundamentalisme Kristen muncul karena ketidakpuasan mereka
terhadap agama (yang semakin lemah menghadapi arus ilmu),
fundamentalisme dalam Islam muncul justru karena ketidakpuasan
terhadap keadaan dunia. Yang Islam ini "bukan lari dari dunia,
tapi ingin mengambil hak legitimasi untuk jadi pimpinan".
HANYA saja bagi Abdurrahman Wahid, kolumnis dari Pesantren
Ciganjur itu, yang kemudian boleh disebut fundamentalis itu
bukan semata gerakan salafi. Ia menunjuk beberapa arti yang
berbeda yang biasanya dimaksud oleh para penyelidik.
Pertama, kelompok messianistik di bawah pimpinan seorang mahdi,
imam, amir dan sebangsanya -- yang barangkali saja mengingatkan
pada Islam Jama'ah dan yang sejenis. Kedua kelompok suni yang
ingin mempertahankan tradisi kuno, dengan isolasi. Kemudian kaum
salafi. Dan terakhir, "semua orang yang mencoba menjadi muslim
yang baik dan taat . . ."
Memang, Abdurrahman mengakui bahwa yang umum dipakai adalah
pengertian gerakan salafi itu. Tapi, katanya, bahkan dalam dua
dasawarsa terakhir ini juga muncul pengertian lebih khusus lagi.
Yakni: kaum "skripturalis" maupun "non-skripturalis" yang
menuntut dibentuknya masyarakat Islam secara formal, sebagai
alternatif masyarakat sekuler yang rusak. Inilah bahkan
pengertian yang agaknya paling khas: kaum fundamentalis adalah
kaum formalis.
Dan itulah bedanya dengan Olaf. Olaf tidah bisa memasukkan kaum
reformis ke dalam pengertian fundamentalis, sebab
fundamentalisme itu melihat ke belakang, bukan ke depan. Sedang
Abdurrahman melihat para fundamentalis yang memformalisasikan
ajaran Islam itu bisa terdiri baik dari kaum yang melihat ke
belakang" tapi juga para reormis.
Yang pertama itu misalnya Muhammadiyah dan kawan-kawannya. Yang
kedua, dicontohkannya, tokoh-tokoh seperti Ir. Syahirul Alim MSc
di Yogya, Ir. Imaduddin, dan Endang Saifuddin Anshari MA di
Bandung, yang mungkin mewakili apa yang oleh Deliar Noer, dalam
bukunya, disebut sebagai "Islam Modern". Mereka itu berpandangan
maju, tapi dalam konteks formal. Kalangan itu misalnya
berpendapat, ilmu tak ada artinya kalau tidak memiliki orientasi
Islam.
Tapi bila demikian, menurut Muslim Abdurrahman dari Lembaga
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Departemen Agama, hampir
semua orang lantas bisa disebut fundamentalis. Bahkan
Nurcholish Madjid, tokoh pembaruan yang populer itu.
Orang tahu kiranya, ia mendudukkan Islam dalam kerangka
ajarannya yang paling dasar. Ia memandang Quran lebih banyak
sebagai guidance, pedoman dasar. Ia menggolongkan banyak sekali
masalah yang selama ini dipandang sebagai masalah agama ke dalam
pengertian masalah duniawi, dan menyerahkan pengurusannya kepada
pendapat manusia sendiri -- sebagai 'khalifah Allah' yang
dituntun oleh kalbunya yang hanief, cenderung ke arah baik.
"Padahal kalau ia kita tuduh fundamentalis, barangkali ia
meratap," kata Muslim.
Muslim sendiri menganggap, ciri fundamentalis yang terpenting
adalah skripturalis dan konservatif. Tapi karena itu juga Johan
Effendi, juga dari Litbang Departemen Agama, mempertanyakan
perihal Muhammad 'Abduh -- tokoh pembaru Islam di Mesir, di
pergantian abad XIX-XX, dan Rasyid Ridha, muridnya.
Sementara Rasyid jelas ingin kembali kepada teks alias bunyi
ayat, 'Abduh -- menurut Johan -- menunjukkan paham yang banyak
sekali diwarnai kebebasan akal sehingga menunjukkan ciri
neo-Mu'tazilah. Mu'tazilh adalah paham teologi klasik yang
paling rasionalis dalam Islam. Toh mereka berdua, di samping
Jamaluddin Afghani untuk segi politiknya, dipandang sebagai
bapak-bapak baru gerakan salaf. Rumit, bukan?
Tapi sudahlah. Nono Anwar Makarim, bekas pemimpin redaksi Harian
Kami yang pulang dari Universitas Harvard sebagai doktor
hukiim, dan kini pengacara, menanyakan apa, sebenarnya yang ada
di balik semua ribut-ribut ini. Apa yang ada di balik penuhnya
masjid-masjid yang dilihatnya. Di balik anak-anak gadis di
universitas yang berkudung? Di balik suara hingar-bingar di
masjid? Apakah semua mereka fundamentalis?
Terhadap kenyataan itu Abdurrahman lebih suka menanggapinya
sebagai, seperti pernah dikatakan Soedjatmoko, tanda-tanda
"intensitas religius yang sedang berkembang". Hasrat keagamaan
memang tumbuh dengan intensif.
Abdurrahman sendiri kemudian lebih suka bila itu sajalah yang
dilihat -- bukan apakah fundamentalis atau bukan. Itu lebih
penting tentunya bila kenyataan bangkitnya gairah keislaman di
mana-mana -- termasuk yang dengan kekerasan --dipahami sebagai
bangkitnya intensitas keagamaan.
Dan itu bisa diberi contoh mulai dari yang paling "kolot" sampai
yang maju. Bagaimana seorang pengikut kelompok muslim 'Darul
Arqam' di Kuala Lumpur, Malaysia, misalnya, tiba-tiba melepaskan
gagang telepon. Kenapa? Karena yang terdengar di seberang sana
adalah suara operator yang wanita. "Haram," katanya, suara
wanita itu.
Dan bagaimana aktivitas Masjid Salman ITB misalnya menyebar.
Mereka, dengan pemrakarsa seperti Ir. Imaduddin, membentuk
latihan Mujahid Da'wah (LMD), "yang kini kadernya ada di
mana-mana."
Di UI juga ada Kelompok Studi Islam (KSI), yang misalnya
berikrar untuk tidak merokok dan minum kopi. Abdurrahman juga
-- menyebut bagaimana usaha penjualan buku murah kelompok Masjid
Salman mengalahkan usaha ITB sendiri. Atau, yang tidak ia sebut,
bagaimana koperasi Salman sekarang berkekayaan ratusan juta,
dilayani oleh tenaga-tenaga yang berdisiplin dan ramah.
SEMENTARA itu kenyataan lain, kaum formalis Islam tidak lagi
bisa dibatasi pengertiannya hanya pada satu dua golongan. Sudah
menyebar melalui proses interaksi. Di kalangan NU misalnya ada
tokoh-tokohnya, di Muhammadiyah ada tokoh-tokohnya. Mereka hanya
akan menjadi makin sadar untuk menggantikan "masyarakat
sekularis yang penuh penyakit" dengan masyarakat Islam yang
dicita-citakan.
Kamal Hassan, dari Universiti Kebangsaan Malaysia, dalam satu
bukunya sudah menyatakan bagaimana pengaruh masyarakat "sekular"
itu justru bisa menguatkan para mahasiswa muslim setelah mereka
belajar di negeri-neger Barat dan melihat apa yang menurut
mereka adalah kebobrokan. Justru karena dari tanah air mereka
tidak dipersiapkan dengan pengajaran Islam yang cukup, untuk
bisa memahami keadaan dan kompleksitasnya, mereka pulang dalam
keadaan menjadi "lebih keras" menjadi mengamalkan agama model
Bilalian, itu majalah muslim negro Amerika yang "fanatik".
Anak-anak Masjid Istiqamah di Bandung misalnya, juga sejalan.
Mereka begitu militan -- dahulu, sebelum ada kasus Imran yang
menyebabkan semua kegiatan praktis terhenti -- sehingga sanggup
mewajibkan para anggota, di masa-masa tertentu, mengangkut
gelandangan ke masjid dan mengajak mereka benar-benar makan
bersama.
Mereka itu, kata Abdurrahman, adalah wakil dari anak orang
baik-baik dan tidak sedikit orang berpangkat, di mana-mana.
Yakni anak-anak yang sebenarnya bisa hidup enak -- jadi
insinyur, jadi sarjana yang baik -- jika menuruti kemauan ayah.
Tapi mereka sudah melihat kebobrokan yang tidak bisa ditebus
dengan pangkat, dan idealisme yang ternyata di masjid baru
mereka dapatkan -- baik mereka meneruskan kuliah atau pun tidak.
Kecenderungan macam itulah yang makin memperbesar tarikan ke
arah intensitas keagamaan yang dimaksud.
Terserah, apakah mereka mau dinamakan fundamentalis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini