Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Tapi siapa "fundamentalis"?

Penafsiran tentang islam fundamentalis oleh beberapa tokoh dari kalangan katolik, kristen dan islam dalam diskusi yang diselenggarakan oleh majalah tempo. (ag)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISTILAH "fundamentalis" memang sedang jelek konotasinya terdengar hampir sama dengan "teroris". Bukankah di pers asing kata ini biasanya muncul berikut foto misalnya, lelaki atau wanita berkerudung yang menyandang bedil? Padahal golongan "fundamentalis" dalam Islam, kalau toh mau disebut begitu, bukanlah kelompok kecil -- dan jelas bukan teroris. Pada ketika dunia Islam bangkit kembali untuk mencari pegangan kembali pada sumber-sumber Islam, guna memperoleh kekuatannya, fundamentalisme (dalam bentuk apa pun akhirnya) sudah tidak bisa dilepaskan dari dunia baru Islam sendiri. Itulah sebabnya Dr. Olaf Schumann, dari Lembaga Penelitian dan Studi (LPS) Dewan Gereja Indonesia mencari istilah Islam yang barangkali paling mendekati pengertian "fundamentalis" yang sebenarnya yang tidak berkonotasi dengan kekerasan dan teror. Dan itu adalah salafiyah. Salafiyah adalah gerakan yang tumbuh setelah Ibnu Taimiah dan Ibnul Qaiyim di abad XIII dan XIV mengajak kembali kepada tradisi salaf -- yakni generasi pertama Islam alias para sahabat Nabi. Pedoman 'Quran dan Sunnah Nabi' dicanangkan, dan lahir kemudian berbagai gerakan Wahhabiah di Jazirah Arab, Muhammad Abduh darl Rasyid Ridha di Mesir, Imam Bonjol dan kaum Padrinya, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad di Indonesia, misalnya. Gerakan ini bergema dan menimbulkan interaksi, dan itulah kemudian warna dunia baru Islam. Jadi, bila di Masjid Istiqamah Bandung golongan Imran yang "fundamentalis" dikatakan melawan para pengurus masjid dan pemuda lainnya, yang justru diketahui banyak diwarnai Persis atau Muhammadiyah (yang juga "fundamentalis"), lalu apa arti sebutan itu? Juga bila kelompok teroris di Arab Saudi di bulan November 1979 menduduki Masjidil Haram, dan menyerang pemerintah Saudi yang sama-sama "fundamentalis"? Keruwetan bisa tumbuh, karena memang istilah itu diambil dari kamus Kristen (lihat box). Itu juga dikemukakan oleh Th. Sumarthana, juga dari LPS-DGI, dalam diskusi yang sama. Abdurrahman Wahid kemudian berusaha memberi perbedaan: bila fundamentalisme Kristen muncul karena ketidakpuasan mereka terhadap agama (yang semakin lemah menghadapi arus ilmu), fundamentalisme dalam Islam muncul justru karena ketidakpuasan terhadap keadaan dunia. Yang Islam ini "bukan lari dari dunia, tapi ingin mengambil hak legitimasi untuk jadi pimpinan". HANYA saja bagi Abdurrahman Wahid, kolumnis dari Pesantren Ciganjur itu, yang kemudian boleh disebut fundamentalis itu bukan semata gerakan salafi. Ia menunjuk beberapa arti yang berbeda yang biasanya dimaksud oleh para penyelidik. Pertama, kelompok messianistik di bawah pimpinan seorang mahdi, imam, amir dan sebangsanya -- yang barangkali saja mengingatkan pada Islam Jama'ah dan yang sejenis. Kedua kelompok suni yang ingin mempertahankan tradisi kuno, dengan isolasi. Kemudian kaum salafi. Dan terakhir, "semua orang yang mencoba menjadi muslim yang baik dan taat . . ." Memang, Abdurrahman mengakui bahwa yang umum dipakai adalah pengertian gerakan salafi itu. Tapi, katanya, bahkan dalam dua dasawarsa terakhir ini juga muncul pengertian lebih khusus lagi. Yakni: kaum "skripturalis" maupun "non-skripturalis" yang menuntut dibentuknya masyarakat Islam secara formal, sebagai alternatif masyarakat sekuler yang rusak. Inilah bahkan pengertian yang agaknya paling khas: kaum fundamentalis adalah kaum formalis. Dan itulah bedanya dengan Olaf. Olaf tidah bisa memasukkan kaum reformis ke dalam pengertian fundamentalis, sebab fundamentalisme itu melihat ke belakang, bukan ke depan. Sedang Abdurrahman melihat para fundamentalis yang memformalisasikan ajaran Islam itu bisa terdiri baik dari kaum yang melihat ke belakang" tapi juga para reormis. Yang pertama itu misalnya Muhammadiyah dan kawan-kawannya. Yang kedua, dicontohkannya, tokoh-tokoh seperti Ir. Syahirul Alim MSc di Yogya, Ir. Imaduddin, dan Endang Saifuddin Anshari MA di Bandung, yang mungkin mewakili apa yang oleh Deliar Noer, dalam bukunya, disebut sebagai "Islam Modern". Mereka itu berpandangan maju, tapi dalam konteks formal. Kalangan itu misalnya berpendapat, ilmu tak ada artinya kalau tidak memiliki orientasi Islam. Tapi bila demikian, menurut Muslim Abdurrahman dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Departemen Agama, hampir semua orang lantas bisa disebut fundamentalis. Bahkan Nurcholish Madjid, tokoh pembaruan yang populer itu. Orang tahu kiranya, ia mendudukkan Islam dalam kerangka ajarannya yang paling dasar. Ia memandang Quran lebih banyak sebagai guidance, pedoman dasar. Ia menggolongkan banyak sekali masalah yang selama ini dipandang sebagai masalah agama ke dalam pengertian masalah duniawi, dan menyerahkan pengurusannya kepada pendapat manusia sendiri -- sebagai 'khalifah Allah' yang dituntun oleh kalbunya yang hanief, cenderung ke arah baik. "Padahal kalau ia kita tuduh fundamentalis, barangkali ia meratap," kata Muslim. Muslim sendiri menganggap, ciri fundamentalis yang terpenting adalah skripturalis dan konservatif. Tapi karena itu juga Johan Effendi, juga dari Litbang Departemen Agama, mempertanyakan perihal Muhammad 'Abduh -- tokoh pembaru Islam di Mesir, di pergantian abad XIX-XX, dan Rasyid Ridha, muridnya. Sementara Rasyid jelas ingin kembali kepada teks alias bunyi ayat, 'Abduh -- menurut Johan -- menunjukkan paham yang banyak sekali diwarnai kebebasan akal sehingga menunjukkan ciri neo-Mu'tazilah. Mu'tazilh adalah paham teologi klasik yang paling rasionalis dalam Islam. Toh mereka berdua, di samping Jamaluddin Afghani untuk segi politiknya, dipandang sebagai bapak-bapak baru gerakan salaf. Rumit, bukan? Tapi sudahlah. Nono Anwar Makarim, bekas pemimpin redaksi Harian Kami yang pulang dari Universitas Harvard sebagai doktor hukiim, dan kini pengacara, menanyakan apa, sebenarnya yang ada di balik semua ribut-ribut ini. Apa yang ada di balik penuhnya masjid-masjid yang dilihatnya. Di balik anak-anak gadis di universitas yang berkudung? Di balik suara hingar-bingar di masjid? Apakah semua mereka fundamentalis? Terhadap kenyataan itu Abdurrahman lebih suka menanggapinya sebagai, seperti pernah dikatakan Soedjatmoko, tanda-tanda "intensitas religius yang sedang berkembang". Hasrat keagamaan memang tumbuh dengan intensif. Abdurrahman sendiri kemudian lebih suka bila itu sajalah yang dilihat -- bukan apakah fundamentalis atau bukan. Itu lebih penting tentunya bila kenyataan bangkitnya gairah keislaman di mana-mana -- termasuk yang dengan kekerasan --dipahami sebagai bangkitnya intensitas keagamaan. Dan itu bisa diberi contoh mulai dari yang paling "kolot" sampai yang maju. Bagaimana seorang pengikut kelompok muslim 'Darul Arqam' di Kuala Lumpur, Malaysia, misalnya, tiba-tiba melepaskan gagang telepon. Kenapa? Karena yang terdengar di seberang sana adalah suara operator yang wanita. "Haram," katanya, suara wanita itu. Dan bagaimana aktivitas Masjid Salman ITB misalnya menyebar. Mereka, dengan pemrakarsa seperti Ir. Imaduddin, membentuk latihan Mujahid Da'wah (LMD), "yang kini kadernya ada di mana-mana." Di UI juga ada Kelompok Studi Islam (KSI), yang misalnya berikrar untuk tidak merokok dan minum kopi. Abdurrahman juga -- menyebut bagaimana usaha penjualan buku murah kelompok Masjid Salman mengalahkan usaha ITB sendiri. Atau, yang tidak ia sebut, bagaimana koperasi Salman sekarang berkekayaan ratusan juta, dilayani oleh tenaga-tenaga yang berdisiplin dan ramah. SEMENTARA itu kenyataan lain, kaum formalis Islam tidak lagi bisa dibatasi pengertiannya hanya pada satu dua golongan. Sudah menyebar melalui proses interaksi. Di kalangan NU misalnya ada tokoh-tokohnya, di Muhammadiyah ada tokoh-tokohnya. Mereka hanya akan menjadi makin sadar untuk menggantikan "masyarakat sekularis yang penuh penyakit" dengan masyarakat Islam yang dicita-citakan. Kamal Hassan, dari Universiti Kebangsaan Malaysia, dalam satu bukunya sudah menyatakan bagaimana pengaruh masyarakat "sekular" itu justru bisa menguatkan para mahasiswa muslim setelah mereka belajar di negeri-neger Barat dan melihat apa yang menurut mereka adalah kebobrokan. Justru karena dari tanah air mereka tidak dipersiapkan dengan pengajaran Islam yang cukup, untuk bisa memahami keadaan dan kompleksitasnya, mereka pulang dalam keadaan menjadi "lebih keras" menjadi mengamalkan agama model Bilalian, itu majalah muslim negro Amerika yang "fanatik". Anak-anak Masjid Istiqamah di Bandung misalnya, juga sejalan. Mereka begitu militan -- dahulu, sebelum ada kasus Imran yang menyebabkan semua kegiatan praktis terhenti -- sehingga sanggup mewajibkan para anggota, di masa-masa tertentu, mengangkut gelandangan ke masjid dan mengajak mereka benar-benar makan bersama. Mereka itu, kata Abdurrahman, adalah wakil dari anak orang baik-baik dan tidak sedikit orang berpangkat, di mana-mana. Yakni anak-anak yang sebenarnya bisa hidup enak -- jadi insinyur, jadi sarjana yang baik -- jika menuruti kemauan ayah. Tapi mereka sudah melihat kebobrokan yang tidak bisa ditebus dengan pangkat, dan idealisme yang ternyata di masjid baru mereka dapatkan -- baik mereka meneruskan kuliah atau pun tidak. Kecenderungan macam itulah yang makin memperbesar tarikan ke arah intensitas keagamaan yang dimaksud. Terserah, apakah mereka mau dinamakan fundamentalis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus