Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sepuluh

Patih gajah mada memiliki lima belas sifat bagus yang membuatnya besar. tapi ia main hantam pada pihak yang tak disukainya. juga lupa menyiapkan bibit penggantinya hingga majapahit jatuh lebih awal.

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAH apa sebabnya, banyak orang yang anggap sepuluh itu penting. Pertama-tama tentu saja pengikut Ten Commandment-nya Musa. Sesudah itu Dasasila Bandung. Sesudah itu Dasawarsa Konperensi AA tahun 1965 sehingga Menlu Chen Yi memerlukan datang ke Jakarta walau hari panas sehingga dia cuma bersinglet ketemu pers, mengingatkan orang pada jagal babi. Sesudah itu Dasamuka yang merasa perlu bermuka sepuluh karena satu saja tidak cukup. Sesudah itu lagu kroncong Sepucuk Surat walau si penerima surat cuma terima amplop kosong belaka. Dan majalah TEMPO sendiri yang peringati hari lahir kesepuluhnya berdandan sedikit lain, mengguyur mukanya dengan tinta hitam sehingga dari kejauhan tampak seperti baju warok Ponorogo. Tentu ada yang tidak beruntung bersepuluh-sepuluh. Misalnya nyamuk. Tak ada nyamuk yang sanggup mencapai umur sepuluh tahun, bahkan sepuluh hari pun sudah susah payah. Begitu pula kecoak. Begitu pula cicak. Begitu pula jangkrik. Atau semut. Kekecualian ada pada bangsa gajah -- dan bisa jadi juga buaya -- yang sanggup menyaksikan cucunya berjingkrakan atau bersanggama dengan tantenya sendiri. Di dunia makelar, komisi sepuluh persen sudah hampir-hampir jadi hukum yang tertulis di pintu langit. Jangan dikira hanya gajah atau buaya atau makelar saja yang punya urusan dengan sepuluhan. Juga Departemen Penerangan, juga Akademi Penerangan, pencetak penyuluh bangsa yang tanpanya kita semua ini akan kegelapan tak tahu ke mana pergi seperti terkunci di dalam kakus. Persis tatkala usianya sepuluh tahun (itu di tahun 1967) Akademi Penerangan memperingati dirinya sendiri dengan luarbiasa, menerbitkan buku khusus 269 halaman tidak termasuk foto-foto dan tentu saja iklan-iklan serta artikel-artikel dari para ahli. Di situ ada tertera kalimat. "Tidak dibenarkan mengutip isi buku ini tanpa izin Direktur Akademi Penerangan." Tak bisa tidak, bintang buku bangsa sepuluhan itu adalah sambutan Menteri Penerangan B.M. Diah sendiri. Menyusul persis di ekornya Jusuf Ronodipuro. Sambutannya didahului kutipan ucapan Moh. Yamin SH yang berbunyi " . . . kesalahan yang keempat adalah berat sekali, Gajah Mada lupa akan pengalaman dirinya . . . dia lupa menyediakan dan memimpin bibit pemuda .... " Isinya bagus, karena itu saya minta izin mengutip di sini sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam buku. Ringkasnya saja: menurut Rakawi Prapanca dalam Kitab Negarakertagama, ada limabelas (kali ini bukan sepuluh) sifat tabiat Gajah Mada yang membuatnya besar. Wijnya, bijaksana di saat genting serta mampu mencipta ketenteraman. Mantriwira, pembela negara berani tak terhingga. Wicak saneng naya, tahu perhitungkan kawan dan lawan. Matanggwan, menghargai tinggi kepercayaan yang dilimpahkan. Satya bhakti aprabu, setia kepada pimpinan dan negara. Wagmi wak, pandai pidato utarakan maksud tujuan. Sarjjawopasama, sabar, manis, diplomatis. Dhirotsaha, kerja keras teguh hati. Dwiyatcita, mau dengarkan pendapat orang, mau musyawarah. Masih i samastabhuwana, maklum di dunia ini ada yang kekal ada yang fana. Sih-samastabhuwana, teguh berpegang pada sejarah tanahair dan dunia. Tan lalana, tampak gembira walau kalbu gundah. Ginong pratidina, melakukan yang baik menjauhkan yang batil. Sumantri, selalu berlaku senonoh sebagai abdi negara. Anayaken musuh, siap menggenjot habis musuh negara. Itu yang bagus-bagusnya. Yang kurang apanya? Main hantam dan main keras terhadap siapa saja yang tidak disukainya. Soal cinta-mencinta manusiawi ditakar dengan ukuran politik sehingga tragedi Bubat pecah dan Dyah Pitaloka dari Pakuan Pajajaran pindah ke alam baka. Dia lupa menyediakan dan memimpin bibit-bibit muda sehingga begitu dia mati, terjungkallah Majapahit ke dalam got dan tak bisa bangkit lagi. Segala dipegang sendiri, segala dikangkangi sendiri, seakan tak ada manusia di atas tanah selain si jago Gajah Mada. Jika yang limabelas itu diaduk-aduk, dikocok-kocok, diperas-peras, yang kemanisan dibuang dan yang ketawaran dicemplungkan sehingga menghasilkan komposisi sifat tabiat baru sepuluh buah banyaknya, barangkali akan lebih baik. Barangkali Majapahit tidaklah ronto berantakan seperti rumah-rumahan kardus, melainkan pelan-pelan, berencana. Rontok sih rontok juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus