ENTAH apa sebabnya, banyak orang yang anggap sepuluh itu
penting. Pertama-tama tentu saja pengikut Ten Commandment-nya
Musa. Sesudah itu Dasasila Bandung. Sesudah itu Dasawarsa
Konperensi AA tahun 1965 sehingga Menlu Chen Yi memerlukan
datang ke Jakarta walau hari panas sehingga dia cuma bersinglet
ketemu pers, mengingatkan orang pada jagal babi. Sesudah itu
Dasamuka yang merasa perlu bermuka sepuluh karena satu saja
tidak cukup. Sesudah itu lagu kroncong Sepucuk Surat walau si
penerima surat cuma terima amplop kosong belaka. Dan majalah
TEMPO sendiri yang peringati hari lahir kesepuluhnya berdandan
sedikit lain, mengguyur mukanya dengan tinta hitam sehingga dari
kejauhan tampak seperti baju warok Ponorogo.
Tentu ada yang tidak beruntung bersepuluh-sepuluh. Misalnya
nyamuk. Tak ada nyamuk yang sanggup mencapai umur sepuluh tahun,
bahkan sepuluh hari pun sudah susah payah. Begitu pula kecoak.
Begitu pula cicak. Begitu pula jangkrik. Atau semut. Kekecualian
ada pada bangsa gajah -- dan bisa jadi juga buaya -- yang
sanggup menyaksikan cucunya berjingkrakan atau bersanggama
dengan tantenya sendiri. Di dunia makelar, komisi sepuluh persen
sudah hampir-hampir jadi hukum yang tertulis di pintu langit.
Jangan dikira hanya gajah atau buaya atau makelar saja yang
punya urusan dengan sepuluhan. Juga Departemen Penerangan, juga
Akademi Penerangan, pencetak penyuluh bangsa yang tanpanya kita
semua ini akan kegelapan tak tahu ke mana pergi seperti terkunci
di dalam kakus. Persis tatkala usianya sepuluh tahun (itu di
tahun 1967) Akademi Penerangan memperingati dirinya sendiri
dengan luarbiasa, menerbitkan buku khusus 269 halaman tidak
termasuk foto-foto dan tentu saja iklan-iklan serta
artikel-artikel dari para ahli. Di situ ada tertera kalimat.
"Tidak dibenarkan mengutip isi buku ini tanpa izin Direktur
Akademi Penerangan."
Tak bisa tidak, bintang buku bangsa sepuluhan itu adalah
sambutan Menteri Penerangan B.M. Diah sendiri. Menyusul persis
di ekornya Jusuf Ronodipuro. Sambutannya didahului kutipan
ucapan Moh. Yamin SH yang berbunyi " . . . kesalahan yang
keempat adalah berat sekali, Gajah Mada lupa akan pengalaman
dirinya . . . dia lupa menyediakan dan memimpin bibit pemuda
.... " Isinya bagus, karena itu saya minta izin mengutip di
sini sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam buku.
Ringkasnya saja: menurut Rakawi Prapanca dalam Kitab
Negarakertagama, ada limabelas (kali ini bukan sepuluh) sifat
tabiat Gajah Mada yang membuatnya besar. Wijnya, bijaksana di
saat genting serta mampu mencipta ketenteraman. Mantriwira,
pembela negara berani tak terhingga. Wicak saneng naya, tahu
perhitungkan kawan dan lawan. Matanggwan, menghargai tinggi
kepercayaan yang dilimpahkan. Satya bhakti aprabu, setia kepada
pimpinan dan negara. Wagmi wak, pandai pidato utarakan maksud
tujuan. Sarjjawopasama, sabar, manis, diplomatis. Dhirotsaha,
kerja keras teguh hati. Dwiyatcita, mau dengarkan pendapat
orang, mau musyawarah. Masih i samastabhuwana, maklum di dunia
ini ada yang kekal ada yang fana. Sih-samastabhuwana, teguh
berpegang pada sejarah tanahair dan dunia. Tan lalana, tampak
gembira walau kalbu gundah. Ginong pratidina, melakukan yang
baik menjauhkan yang batil. Sumantri, selalu berlaku senonoh
sebagai abdi negara. Anayaken musuh, siap menggenjot habis musuh
negara.
Itu yang bagus-bagusnya. Yang kurang apanya? Main hantam dan
main keras terhadap siapa saja yang tidak disukainya. Soal
cinta-mencinta manusiawi ditakar dengan ukuran politik sehingga
tragedi Bubat pecah dan Dyah Pitaloka dari Pakuan Pajajaran
pindah ke alam baka. Dia lupa menyediakan dan memimpin
bibit-bibit muda sehingga begitu dia mati, terjungkallah
Majapahit ke dalam got dan tak bisa bangkit lagi. Segala
dipegang sendiri, segala dikangkangi sendiri, seakan tak ada
manusia di atas tanah selain si jago Gajah Mada.
Jika yang limabelas itu diaduk-aduk, dikocok-kocok,
diperas-peras, yang kemanisan dibuang dan yang ketawaran
dicemplungkan sehingga menghasilkan komposisi sifat tabiat baru
sepuluh buah banyaknya, barangkali akan lebih baik. Barangkali
Majapahit tidaklah ronto berantakan seperti rumah-rumahan
kardus, melainkan pelan-pelan, berencana. Rontok sih rontok
juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini