Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Cermin wartawan satu sisi

Pengarang: soebagio i.n jakarta: gunung agung, 1981 resensi oleh: atmakusumah. (bk)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAGAT WARTAWAN INDONESIA Soebagijo I.N., PT Gunung Agung, Jakarta, 1981, 635 + XVI halaman. APAKAH wartawan harus (hampir) selalu menghadapi penderitaan batin yang keras, dan kesulitan materi? Setidaknya pada bagian awal perjuangan mereka untuk dapat menyuarakan hati nurani secara terbuka? Ya, begitulah jika menelaah satu demi satu riwayat hidup para perintis pers negeri ini, yang dengan tekunnya dihimpun oleh Soebagijo I.N. dalam Jagat Wartawan Indonesia. Walaupun wartawan 'hanyalah' merupakan 'tawanan hati nurani (prisoner of conscience), tetapi perlakuan penguasa pada zaman Hindia Belanda misalnya kadang seperti menghadapi para tahanan kriminal saja. Pengalaman wartawan muda Horas Siregar, yang dalam usia 18 tahun sudah berkenalan dengan penjara Sukamiskin di Bandung awal 1930-an, membuktikan hal itu. Gara-gara mengutip tulisan tentang pidato Bung Karno di Yogya dari suratkabar Adil di Solo dan memuat lagu Indonesia Raya dalam majalah Panggilan Waktoe, ia dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Ia menerbitkan majalah itu di Kotabaru, Pulau Laut, sebelah tenggara Kalimantan. Dari kota kecil itu ia diangkut dengan kapal laut menuju Surabaya, "dan selama dalam pelayaran tangan saya sebelah diborgol dengan rantai besi." Bahkan selama saat-saat makan "tangan tetap diborgol sehingga rantai besi itu berbunyi, serupa dengan anjing yang dirantai." Rantai besi ini tetap membelenggunya dalam setiap perjalanan dengan kereta api antara Surabaya dan Yogyakarta serta Bandung (hal. 625-626). Orang Sebelah Sana Juga awal 1940-an, peristiwa serupa masih terjadi. Ketika Belanda diserbu Jerman, 10 Mei 1940, kaum pergerakan terkena razia. Di Jakarta, Abdul Hakim dari Kantor Berita Antara ketika baru saja tiba di rumah dari kantor, ditangkap polisi. Dan "dengan tangan diborgol dibawa ke kantor besar polisi. Padahal waktu itu pemerintah Belanda sudah berjanji tidak akan melakukan pemborgolan lagi terhadap kaum wartawan seperti yang pernah mereka lakukan terhadap Saroehoen (Sin Tit Po), . . . Nawawi Arief (Berita Periangan, Cirebon), dan . . . Soekandar Tjokrosoedarmo dari Pembela Rakjat, Surabaya" (hal. 234). Pemerintah Hindia Belanda tidak membedakan perlakuan antara pejuang politik dan pejuang pena, karena dalam kenyataannya memang mereka sama atau bekerjasama. Seperti dikatakan Presiden Soekarno almarhum, yang lebih dari satu kali dikutip dalam pengantar buku ini, "lebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan." Buku ini jelas hanya mengutamakan penonjolan para wartawan pendukung gerakan kemerdekaan atau yang pro-republik sesudah proklamasi. Tidak banyak usaha mengadakan perbandingan dengan kehidupan dan nasib orang pers dari "sebelah sana". Dengan demikian Jagat Wartawan Indonesia bukanlah cermin sepak terjang masyarakat pers secara keseluruhan, pada kurun waktu yang tercakup dalam usia aktif para perintis pers itu. Terbitan Gunung Agung setebal 650 halaman ini mencakup 111 tokoh kewartawanan yang rata-rata sudah jauh di atas usia setengah abad bagi mereka yang kini masih hidup. Sebagian sudah meninggal, termasuk di antaranya 14 orang yang oleh pemerintah sudah diberi penghargaan dengan gelar Perintis Pers Indonesia. Sebelas dari perintis ini pernah pula ditulis Soebagijo I.N. dalam bukunya yang terdahulu, Sebelas Perintis Pers Indonesia (Djambatan, 1976). Buku ini nyaris menjadi semacam ensiklopedia kecil, walau masih jauh dari lengkap. Menurut penulisnya, banyak di antara para wartawan kawakan yang "alamatnya memang tidak diketahui penulis ada pula yang meskipun namanya dikenal tetapi biodata yang ada pada penyusun sangat minim . . . Ada juga . . yang sudah dihubungi dengan surat namun entah mengapa mereka tidak bersedia memberikan tanggapan." Karena itn terjadilah "keanehan-keanehan". A. Yusuf Abdullah Puar tapi tak ada H.S.M Sjaaf atau Soemarso Soemarsono -- walaupun nama mereka masih disebut-sebut di sana-sini. Ada B.M. Diah tanpa Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis, dan seterusnya. Buku ini pun tidak lepas dari berbagai kekeliruan data. Misalnya, Enggak Bahau'ddin dikatakan mengasuh Indonesia Raya sampai 1967 dan surat kabar itu dibreidel 1972 (hal. 457 dan 459). Seharusnya kedua angka tahun itu 1974. (Tetapi tidak berarti di halaman lain tidak terdapat data yang tepat ketika menceritakan pembreidelan Abad yang bersama Indonesia Raya serta sepuluh penerbitan pers lainnya dibreidel sesudah "Malari" 1974). Abadi dikatakan dilarang terbit pada 1960 (Hal. 633 -- sedang dalam kenyataannya surat kabar itu menghentikan sendiri penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani "19 persyaratan" yang disodorkan pemerintah Soekarno jika ini memperoleh izin terbit. Kemungkinan Konflik Dengan mengenyampingkan beberapa kesalahan data serupa itu, kita dapat melihat bahwa tujuan utama penulis buku ini, agaknya, memberikan sebanyak mungkin cermin kehidupan wartawan yang digambarkan hampir sempurna baiknya dalam menegakkan idealisme. Pokoknya suatu bentuk khas cerita kepahlawanan yang didukung oleh keuletan dan kesanggupan menderita batin, fisik, dan materi --terutama selama setengah abad pertama 1900 -- dalam usaha mengungkapkan pikiran dan pendapat melalui tulisan. Karena itu penulis buku ini tidak menampakkan suatu kritik terhadap tokoh pilihannya. Soebagijo I.N. tidak melakukan pengelompokan menurut zaman. Suatu usaha yang tidak akan selamanya mudah, karena tidak sedikit di antara mereka yang melingkupi kurun waktu "segala zaman". Tidak juga diadakan penyusunan kronologis. Tetapi tanpa sistem penyusunan seperti itu pun, tidak sulit menemukan kesamaan pengalaman yang dapat ditarik dari seluruh riwayat hidup mereka. Bahwa dalam setiap zaman, baik pada masa penjajahan maupun sesudah Indonesia merdeka, mereka tidak dapat terhindar dari kemungkinan konflik dengan pihak yang berkuasa. Sejalan dengan idealisme pers yang universal, para wartawan pada segala zaman ditakdirkan untuk menjadi orang yang kritis. Atmakusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus