JAGAT WARTAWAN INDONESIA
Soebagijo I.N., PT Gunung Agung, Jakarta, 1981, 635 + XVI
halaman.
APAKAH wartawan harus (hampir) selalu menghadapi penderitaan
batin yang keras, dan kesulitan materi? Setidaknya pada bagian
awal perjuangan mereka untuk dapat menyuarakan hati nurani
secara terbuka? Ya, begitulah jika menelaah satu demi satu
riwayat hidup para perintis pers negeri ini, yang dengan
tekunnya dihimpun oleh Soebagijo I.N. dalam Jagat Wartawan
Indonesia.
Walaupun wartawan 'hanyalah' merupakan 'tawanan hati nurani
(prisoner of conscience), tetapi perlakuan penguasa pada zaman
Hindia Belanda misalnya kadang seperti menghadapi para tahanan
kriminal saja.
Pengalaman wartawan muda Horas Siregar, yang dalam usia 18
tahun sudah berkenalan dengan penjara Sukamiskin di Bandung awal
1930-an, membuktikan hal itu. Gara-gara mengutip tulisan
tentang pidato Bung Karno di Yogya dari suratkabar Adil di Solo
dan memuat lagu Indonesia Raya dalam majalah Panggilan Waktoe,
ia dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Ia menerbitkan majalah
itu di Kotabaru, Pulau Laut, sebelah tenggara Kalimantan.
Dari kota kecil itu ia diangkut dengan kapal laut menuju
Surabaya, "dan selama dalam pelayaran tangan saya sebelah
diborgol dengan rantai besi." Bahkan selama saat-saat makan
"tangan tetap diborgol sehingga rantai besi itu berbunyi, serupa
dengan anjing yang dirantai." Rantai besi ini tetap
membelenggunya dalam setiap perjalanan dengan kereta api antara
Surabaya dan Yogyakarta serta Bandung (hal. 625-626).
Orang Sebelah Sana
Juga awal 1940-an, peristiwa serupa masih terjadi. Ketika
Belanda diserbu Jerman, 10 Mei 1940, kaum pergerakan terkena
razia. Di Jakarta, Abdul Hakim dari Kantor Berita Antara ketika
baru saja tiba di rumah dari kantor, ditangkap polisi. Dan
"dengan tangan diborgol dibawa ke kantor besar polisi. Padahal
waktu itu pemerintah Belanda sudah berjanji tidak akan melakukan
pemborgolan lagi terhadap kaum wartawan seperti yang pernah
mereka lakukan terhadap Saroehoen (Sin Tit Po), . . . Nawawi
Arief (Berita Periangan, Cirebon), dan . . . Soekandar
Tjokrosoedarmo dari Pembela Rakjat, Surabaya" (hal. 234).
Pemerintah Hindia Belanda tidak membedakan perlakuan antara
pejuang politik dan pejuang pena, karena dalam kenyataannya
memang mereka sama atau bekerjasama. Seperti dikatakan Presiden
Soekarno almarhum, yang lebih dari satu kali dikutip dalam
pengantar buku ini, "lebih dahulu nasionalis, baru kemudian
wartawan."
Buku ini jelas hanya mengutamakan penonjolan para wartawan
pendukung gerakan kemerdekaan atau yang pro-republik sesudah
proklamasi. Tidak banyak usaha mengadakan perbandingan dengan
kehidupan dan nasib orang pers dari "sebelah sana". Dengan
demikian Jagat Wartawan Indonesia bukanlah cermin sepak terjang
masyarakat pers secara keseluruhan, pada kurun waktu yang
tercakup dalam usia aktif para perintis pers itu.
Terbitan Gunung Agung setebal 650 halaman ini mencakup 111 tokoh
kewartawanan yang rata-rata sudah jauh di atas usia setengah
abad bagi mereka yang kini masih hidup. Sebagian sudah
meninggal, termasuk di antaranya 14 orang yang oleh pemerintah
sudah diberi penghargaan dengan gelar Perintis Pers Indonesia.
Sebelas dari perintis ini pernah pula ditulis Soebagijo I.N.
dalam bukunya yang terdahulu, Sebelas Perintis Pers Indonesia
(Djambatan, 1976).
Buku ini nyaris menjadi semacam ensiklopedia kecil, walau masih
jauh dari lengkap. Menurut penulisnya, banyak di antara para
wartawan kawakan yang "alamatnya memang tidak diketahui penulis
ada pula yang meskipun namanya dikenal tetapi biodata yang ada
pada penyusun sangat minim . . . Ada juga . . yang sudah
dihubungi dengan surat namun entah mengapa mereka tidak bersedia
memberikan tanggapan." Karena itn terjadilah
"keanehan-keanehan". A. Yusuf Abdullah Puar tapi tak ada H.S.M
Sjaaf atau Soemarso Soemarsono -- walaupun nama mereka masih
disebut-sebut di sana-sini. Ada B.M. Diah tanpa Rosihan Anwar
dan Mochtar Lubis, dan seterusnya.
Buku ini pun tidak lepas dari berbagai kekeliruan data.
Misalnya, Enggak Bahau'ddin dikatakan mengasuh Indonesia Raya
sampai 1967 dan surat kabar itu dibreidel 1972 (hal. 457 dan
459).
Seharusnya kedua angka tahun itu 1974. (Tetapi tidak berarti di
halaman lain tidak terdapat data yang tepat ketika menceritakan
pembreidelan Abad yang bersama Indonesia Raya serta sepuluh
penerbitan pers lainnya dibreidel sesudah "Malari" 1974). Abadi
dikatakan dilarang terbit pada 1960 (Hal. 633 -- sedang dalam
kenyataannya surat kabar itu menghentikan sendiri penerbitannya
karena tidak bersedia menandatangani "19 persyaratan" yang
disodorkan pemerintah Soekarno jika ini memperoleh izin terbit.
Kemungkinan Konflik
Dengan mengenyampingkan beberapa kesalahan data serupa itu, kita
dapat melihat bahwa tujuan utama penulis buku ini, agaknya,
memberikan sebanyak mungkin cermin kehidupan wartawan yang
digambarkan hampir sempurna baiknya dalam menegakkan idealisme.
Pokoknya suatu bentuk khas cerita kepahlawanan yang didukung
oleh keuletan dan kesanggupan menderita batin, fisik, dan materi
--terutama selama setengah abad pertama 1900 -- dalam usaha
mengungkapkan pikiran dan pendapat melalui tulisan. Karena itu
penulis buku ini tidak menampakkan suatu kritik terhadap tokoh
pilihannya.
Soebagijo I.N. tidak melakukan pengelompokan menurut zaman.
Suatu usaha yang tidak akan selamanya mudah, karena tidak
sedikit di antara mereka yang melingkupi kurun waktu "segala
zaman". Tidak juga diadakan penyusunan kronologis.
Tetapi tanpa sistem penyusunan seperti itu pun, tidak sulit
menemukan kesamaan pengalaman yang dapat ditarik dari seluruh
riwayat hidup mereka. Bahwa dalam setiap zaman, baik pada masa
penjajahan maupun sesudah Indonesia merdeka, mereka tidak dapat
terhindar dari kemungkinan konflik dengan pihak yang berkuasa.
Sejalan dengan idealisme pers yang universal, para wartawan pada
segala zaman ditakdirkan untuk menjadi orang yang kritis.
Atmakusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini