Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anwar Nasution
Guru besar emeritus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guncangan atas kurs devisa akhir-akhir ini perlu mendapat perhatian serius pemerintah untuk mencegah krisis yang lebih parah. Apalagi sejak Agustus 2013 Morgan Stanley memasukkan Indonesia ke kelompok The Fragile Five bersama Turki, Afrika Selatan, India, dan Brasil. Karena buruknya kondisi neraca pembayaran luar negeri, mata uang kelima negara itu sangat rentan dan peka terhadap guncangan ekonomi dunia. Menurut Rudiger Dornbusch (almarhum), guru besar ilmu ekonomi terkemuka dari Massachusetts Institute of Technology, krisis ekonomi datang secara perlahan. Pada saatnya, krisis akan menimbulkan dampak yang dahsyat dan berlangsung bagai kilat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penanganan masalah itu perlu tindakan langsung dari pemerintah karena tidak dapat diserahkan hanya kepada Bank Indonesia. Kemampuan BI melakukan intervensi di bursa valuta asing sangat terbatas mengingat kecilnya jumlah cadangan luar negeri, yakni sekitar US$ 120 miliar. Pada 2018 ini BI sudah menggunakan cadangan tersebut sebesar US$ 7 miliar untuk menahan kurs rupiah. Secara terbatas, BI dapat mengambil pinjaman dari Chiang Mai Initiative ataupun fasilitas imbal beli mata uang (currency swap facilities) dari Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Karena masih ada rasa trauma terhadap syarat pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) yang sangat ketat saat terjadi krisis 1997, BI menghindari pinjaman dari lembaga tersebut.
Upaya merangsang pemasukan modal asing melalui peningkatan suku bunga acuan BI juga ada batasnya. Naiknya suku bunga menyulitkan penerima kredit untuk melunasi utang. Kenaikan suku bunga di dalam negeri sekaligus menurunkan nilai saham serta obligasi dalam negeri-termasuk Surat Utang Negara (SUN)-yang mendorong aliran modal keluar dari Indonesia. Hingga akhir Maret lalu, pemodal asing telah menjual kembali SUN sebesar US$ 2,3 miliar dan saham senilai US$1,6 miliar. Aliran modal keluar seperti ini makin menyulitkan posisi neraca pembayaran luar negeri. Sumber masalah
Keguncangan ekonomi Indonesia itu bersumber dari perubahan kebijakan ekonomi di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, dan Jepang. Akibat pertumbuhan ekonomi dan naiknya laju inflasi, negara-negara itu mengubah kebijakan moneter, yang tadinya memompa likuiditas dan menurunkan suku bunga. Seperti halnya Indonesia, negara-negara maju tersebut menggunakan inflation targeting dalam menetapkan kebijakan moneter. Suku bunga acuan bank sentral dinaikkan sejalan dengan makin dekatnya laju inflasi yang terjadi dengan target, juga makin dekatnya laju pertumbuhan ekonomi dengan potensi. Kenaikan suku bunga di negara-negara besar itu meningkatkan biaya pinjaman internasional dan mengurangi aliran modal ke negara-negara berkembang, termasuk The Fragile Five. Penurunan tarif pajak pendapatan di Amerika Serikat makin menarik investasi modal swasta ke negara itu, termasuk dari negara-negara berkembang.
Seperti pada 1997-1998, gabungan antara kenaikan suku bunga pinjaman luar negeri dan meningkatnya kurs rupiah mempertinggi beban pinjaman luar negeri. Kenaikan suku bunga dan kurs rupiah lebih dari tujuh kali lipat-dari sebelum krisis hingga 1998-telah menyebabkan kebangkrutan. Masalah sekarang jauh lebih rawan karena berbagai kementerian dan badan usaha milik negara, tanpa koordinasi, justru didorong agar berutang ke luar negeri, antara lain untuk menambah modal serta membiayai pembangunan infrastruktur.
Pada masa lalu, selama 32 tahun usia Orde Baru, pinjaman luar negeri Indonesia terutama bersumber dari pinjaman resmi berjangka panjang dengan syarat lunak dari negara donor yang tergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Tidak ada kredit ekspor, apalagi kredit komersial. Urusan dengan IGGI dikontrol hanya oleh satu orang, yakni Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Widjojo Nitisastro. Semua pinjaman dan bantuan IGGI masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai penerimaan pembangunan. Pinjaman dan bantuan tersebut hanya digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang dikontrol ketat oleh Bappenas, yang mengawasi anggaran pembangunan. Melalui kontrol atas APBN, Dewan Perwakilan Rakyat dan rakyat dapat mengontrol jumlah serta syarat pinjaman luar negeri, juga arah penggunaannya. Hal ini tidak ada pada era reformasi sehingga DPR dan rakyat tidak sepenuhnya memiliki hak bujet. Apa yang harus dilakukan?
Ada berbagai tindakan yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu Bank Indonesia mengatasi masalah ekonomi saat ini. Tindakan pertama adalah meningkatkan ekspor guna menggenjot penerimaan devisa. Indonesia merupakan pengirim jemaah haji dan umrah terbesar di dunia karena jumlah serta porsi penduduk yang beragama Islam sangat besar. Perjalanan ibadah itu harus dijadikan ajang promosi ekspor karena diperlukan angkutan udara menuju Tanah Suci serta angkutan darat selama jemaah di sana. Diperlukan pula pakaian khusus bagi jemaah laki-laki dan perempuan, makanan, penginapan, serta tempat belanja oleh-oleh.
Pakaian khusus haji dan umrah berupa baju ihram, abaya, ikat pinggang, kerudung, peci dan sorban, hingga tasbih serta sajadah. Hingga saat ini, semua anggota jemaah Indonesia menggunakan pakaian buatan Cina. Untuk mengembangkan ekspor dan menciptakan lapangan kerja, perlu dibuat aturan agar jemaah umrah dan haji wajib menggunakan produk dalam negeri. Dengan diubah warna dan motifnya, kerudung yang sama bisa dijual untuk perempuan Katolik di Eropa yang juga mengenakan kerudung ke gereja.
Selain warung-warung kecil, di Tanah Suci tidak ada restoran Padang, soto Kudus, atau soto Banjar untuk melayani jemaah dan pemukim Indonesia. Meniru Thailand, Cina, dan Malaysia, pemerintah Indonesia perlu mensponsori tumbuhnya restoran Indonesia. Dodol Garut dan jenang Kudus harus didorong agar bisa bersaing dengan Turkish delight.
Tindakan kedua adalah meningkatkan tabungan dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada hibah serta pinjaman luar negeri. Itu sebabnya penerimaan pajak perlu ditingkatkan. Sudah 73 tahun Indonesia merdeka, tapi penerimaan pajaknya salah satu yang terendah di dunia, yakni 11 persen dari produk domestik bruto (PDB). Rasio rata-rata penerimaan pajak terhadap PDB di negara maju adalah 35 persen dan di negara-negara berkembang 20 persen. Mengikuti praktik di seluruh dunia, rasio pajak hanya bisa ditingkatkan melalui pemaksaan berlakunya undang-undang, dan bukan lewat amnesti.
Tindakan ketiga adalah memodernisasi lembaga-lembaga keuangan non-bank, terutama Bank Tabungan Pos, asuransi, dana pensiun, dan surat utang. Seharusnya lembaga-lembaga keuangan non-bank ini yang menyerap Surat Utang Negara berjangka panjang. Sebagian besar aset dan kantor cabang lembaga keuangan di Indonesia bertumpu pada industri perbankan. Inti industri perbankan di Indonesia adalah empat bank negara, yakni Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Tabungan Negara (BTN), juga sejumlah bank pembangunan daerah yang semuanya tidak produktif dan efisien serta memerlukan perlindungan pemerintah. Pemerintah daerah perlu didorong agar menjual surat utang untuk membangun pasar, saluran air minum daerah, serta infrastruktur lain.
Fungsi dan peran Bank Tabungan Pos (BTP) perlu dikembalikan. Pos Indonesia, yang memiliki kantor di pelosok hingga wilayah kecamatan, tidak lagi dimanfaatkan untuk memobilisasi dana tabungan masyarakat dan mengajari mereka menggunakan lembaga keuangan modern. BTP sudah berubah menjadi BTN, yang merupakan bank komersial dan pemberi kredit perumahan. Di Uni Eropa serta Jepang, kantor cabang dan aset BTP lebih besar daripada bank komersial. BTP Jepang merupakan pembeli terbesar SUN negaranya dan penyandang dana utama bagi pembiayaan usaha kecil-menengah serta proyek-proyek strategis pemerintah. Di Jepang, dana BTP dijuluki sebagai "APBN Kedua".
Kebijakan moneter berdasarkan inflation targeting bisa berjalan baik hanya jika ada dukungan kebijakan fiskal yang konservatif serta ada lembaga keuangan yang sehat dan cukup modal. Sentralisasi kontrol atas pinjaman luar negeri pemerintah serta penggunaannya perlu dipulihkan. Untuk memulihkan hak bujet DPR dan keterbukaan bagi rakyat, semua informasi tentang jumlah, sumber, syarat, serta tujuan penggunaan pinjaman harus akuntabel dan dimuat dalam APBN.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo