Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Protes Gus Dur dan Alwi Shihab dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atas kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi perhatian publik belakangan ini. PKB menilai KPU melakukan politik diskriminasi karena KPU mensyaratkan adanya pemeriksaan kesehatan menyeluruh bagi calon presiden dan wakil presiden.
Di mata PKB, KPU melanggar hak asasi karena telah membuat persyaratan yang diskriminatif. Instrumen legal dipakai untuk menguatkan argumen mereka. Malah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun mengikuti irama gendang yang ditabuh PKB.
Lalu, Abdurrahman Wahid dan Alwi Shihab pun mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Pangkal ihwalnya adalah Pasal 6 huruf (d) UU No. 23 Tahun 2003, yang menegaskan bahwa seorang calon presiden/wakil presiden harus memenuhi syarat "mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden". Bagi PKB, pasal ini bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal yang menegaskan setiap orang yang harus diperlakukan sama di hadapan hukum; setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; dan setiap orang harus bebas dari perlakuan diskriminatif.
Jika UUD 1945 ditelisik lebih telaten, permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi tersebut sebetulnya tidak perlu terjadi. UUD 1945 Pasal 6 ayat (1), misalnya, antara lain menyebutkan bahwa calon presiden/wakil presiden harus "mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden".
Artinya, keharusan konstitusional tentang kemampuan rohani dan jasmani seorang calon presiden dan wakil presiden sebenarnya sudah tertuang jelas dalam UUD 1945. Apa yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2003 hanyalah pengulangan redaksional dari konstitusi kita. Dengan demikian, UU No. 23 Tahun 2003 sama sekali tidak bertentangan (tegengesteld) dengan konstitusi. UU No. 23 Tahun 2003 malah menegaskan ulang perintah konstitusi.
Argumen yuridis lain yang dipakai oleh Gus Dur dan Alwi Shihab untuk mempersoalkan kebijakan KPU ialah instrumen hukum internasional, yakni Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Pasal 25 konvensi ini memang secara tegas mengatakan bahwa tidak seorang pun bisa didiskriminasi untuk berpartisipasi dalam masalah publik, dipilih dan memilih secara berkala dan bebas, serta mendapatkan pelayanan umum.
Menurut saya, argumentasi ini lemah, karena pasal 25 tersebut merujuk kepada pasal 2 konvensi ini, yang secara tegas mengatakan bahwa diskriminasi yang dimaksud dalam pasal 25 ini adalah diskriminasi berdasarkan agama, jenis kelamin, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial dan ekonomi, bahasa, dan keyakinan politik.
Lantas, apa landasan yuridis KPU membuat aturan main yang dipersoalkan oleh PKB tersebut? Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan oleh KPU, yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Lalu, Pasal 9 ayat (1) UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melegitimasi bahwa pemilu presiden dan wakil presiden diselenggarakan oleh KPU. Malah, KPU diberi wewenang oleh Pasal 10 huruf (b) dalam UU yang sama untuk menetapkan tata cara pelaksanaan itu. Pada huruf (f), malah KPU secara lebih eksplisit diberi tugas meneliti persyaratan calon presiden/wakil presiden.
Dengan format yuridis seperti ini, KPU justru diharuskan membuat acuan persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden. Lantaran tidak memiliki kompetensi untuk mengukur persyaratan kesehatan, KPU bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia untuk menyusun panduan dan kriteria tentang persyaratan konstitusional "mampu secara rohani dan jasmani". Masalahnya, kata "mampu" yang tertera dalam konstitusi kita itu merujuk kepada keadaan jasmani dan rohani seseorang. Artinya, kata "mampu" dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi tentang sehat tidaknya seseorang untuk menjalankan tugas negara dan bangsa.
Apakah prasyarat seperti itu salah? Sama sekali tidak, karena semua pekerjaan membutuhkan kualifikasi dan kriteria. Pencantuman persyaratan secara rohani dan jasmani bagi calon presiden dan wakil presiden seharusnya tidak dilihat sebagai ikhtiar diskriminatif. Bagaimanapun, seseorang yang kelak terpilih sebagai presiden dan wakil presiden haruslah orang yang memenuhi persyaratan rohani dan jasmani untuk mengemban tugas negara yang amat penting itu.
Dalam konteks ini, kita semua memaklumi bahwa tidak ada satu pekerjaan atau posisi tanpa prasyarat dan kualifikasi. Prasyarat dan kualifikasi tersebut tentu saja tidak berlaku umum, karena ada pekerjaan tertentu yang cocok pada seseorang dengan prasyarat dan kualifikasi yang dimilikinya. Namun, orang tersebut bisa jadi tidak cocok dengan pekerjaan atau posisi lain.
Maka, persyaratan tes kesehatan calon presiden dan wakil presiden ini seyogianya dipandang secara lebih profesional. Yang penting, semua calon presiden dan wakil presiden diberi kesempatan dan fasilitas yang sama untuk diuji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo