Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para Tentara tidakkah kau lihat
Media massa berlumuran darah
Para tentara tidakkah kau merasa
Kami muak dengan kekerasan
O ya, berhentilah(Para Tentara)
Iwan Fals, 43 tahun, sedang menggantung obsesi. Penyanyi yang bernama asli Virgiawan Listianto ini bermimpi tentang dunia yang tak punya tentara. Sebuah kehidupan yang damai tanpa kekerasan. Terkesan absurd memang. Tapi Iwan percaya akan mimpinya. Mimpi itu diungkap Iwan dalam lagu Para Tentara di album terbarunya. "John Lennon punya mimpi yang sama," kata Iwan, "tapi ia mati ditembak."
Seperti haus akan lagu-lagu Iwan yang sarat kritik, para Fals-mania menyambut album baru Iwan dengan gempita. Dalam tempo sebulan, sudah 150 ribu kaset terjual. Album yang seluruhnya berisi lagu-lagu politik ini laris bak pisang goreng.
Politik? Ya. Setelah sempat "tergelincir" dalam lagu-lagu bernapas cinta, Iwan kembali ke "khitahnya". Penyandang dan-II karate ini kembali memuncratkan kritik-kritik keras lewat syair lagu. Dalam lagu Manusia 1/2 Dewa, yang juga menjadi nama albumnya, misalnya, Iwan bertutur tentang sosok presiden ideal, presiden yang bermoral dan berakhlak—pesan penting menjelang pemilu presiden 5 Juli 2004 mendatang.
Untuk mengupas album terbaru Iwan, perjalanan karier, dan pelbagai sisi kehidupan pribadinya, Majalah TEMPO pekan lalu mewawancarai Iwan Fals. Berikut ini kutipannya.
Anda baru meluncurkan album Manusia 1/2 Dewa. Mengapa Anda kembali ke lagu bertema politik?
Saya seperti orang kebelet. Harus..., harus..., dan crot! Tidak ada yang bisa menghalangi. Album ini tak bisa ditunda-tunda lagi. Lagu-lagu di album ini memang bertema politik. Ini untuk menyambut pemilu presiden. Soalnya, lagu Manusia 1/2 Dewa bercerita tentang presiden baru.
Kapan Anda membuat lagu-lagu itu?
Sebetulnya lagu ini saya buat saat transisi dari Soeharto ke Habibie. Tapi saat itu belum memungkinkan untuk dikeluarkan dalam bentuk album. Saya menyanyikannya dari kampus ke kampus. Saya menyanyi di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan lain-lain. Nah, sekarang album ini harus keluar. Saya tidak peduli bila dibilang lagu ini cerewet. Yang penting keluar dulu. Silakan orang menilai.
Mengapa baru dikeluarkan sekarang? Anda sempat takut?
Banyak faktor yang saya pertimbangkan. Saya juga merasa takut. Lagi pula, untuk membuat album ini, saya tak bisa sendirian. Nah, sekarang Musica Studio mau menerima album ini.
Album ini telah laku 150 ribu kopi. Apakah ide Anda diterima publik?
Mungkin orang memang setuju dengan syair-syair di album ini. Harganya Rp 15 ribu, lo. Itu berarti masyarakat merindukan kehidupan yang benar. Tak ada kekerasan. Cover Manusia 1/2 Dewa adalah Wisnu yang sedang melihat bumi yang dilanda perang saudara. Dia membawa senjata cakra dan pasopati, yang siap digunakan. Saya berharap presiden mendatang seperti itu. Presiden baru nanti harus "manusia 1/2 dewa".
Anda berbicara soal presiden baru. Apa kriterianya?
Saya sih realistis. Sebagai orang Islam, saya percaya seharusnya yang jadi presiden itu laki-laki. Itu kalau kita mau sungguh-sungguh jadi orang Islam. Tapi saya tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan. Selain itu, saya berharap yang jadi presiden orang Islam. Soalnya, kebetulan di Indonesia yang paling banyak adalah orang Islam. Tentu saja presiden harus melindungi orang-orang yang tidak beragama Islam. Itu juga syarat mutlak.
Siapa presiden pilihan Anda?
Saya tak mau menyebut nama. Itu akan berpengaruh pada pemilu mendatang. Tapi saya percaya nama-nama yang sekarang beredar sebetulnya punya kemampuan. Mereka adalah orang pintar. Kalau tidak, mana mungkin mereka bisa memimpin sebuah partai politik?
Apa yang harus dilakukan presiden mendatang?
Siapa pun yang terpilih, saya ingin dia mampu membuat pendidikan dan kesehatan gratis. Selain itu, saya juga ingin kebebasan pers tetap dijaga. Itu hal-hal yang sangat penting.
Wahai Presiden kami yang baru
Kamu harus dengar suara iniMasalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu
Urus saja akhlakmu(Manusia 1/2 Dewa)
Banyak fan yang menginginkan Anda jadi presiden. Bagaimana?
Teman saya memang banyak yang menanyakannya. Tapi saya lebih senang menyanyi. Itu sama tegangnya dengan mengurus negara. Lagi pula tak semua fan ingin saya jadi presiden. Bahkan ada yang bilang, "Awas..., Mas Iwan jangan ikut-ikutan politik. Menyanyi saja."
Tapi banyak beredar kaus bergambar Anda dengan tulisan "Iwan Fals Presiden: 2004 sampai Kiamat." Anda setuju?
Memang banyak kaus yang menulis "Iwan Fals presiden sampai kiamat." Tapi saya tak mau menjadi presiden sungguhan. Presiden itu kan sebenarnya pelayan. Sedangkan sekarang ini saya sudah menjadi bos.
Mengapa tak mau menjadi presiden atau berpolitik?
Saya tak punya kemampuan jadi presiden. Untuk menyanyi saja, saya masih harus banyak belajar, termasuk belajar membaca partitur. Soal politik, saya juga tak mau terlibat. Di album Manusia 1/2 Dewa, saya bilang politik seperti binatang. Tak percaya? Lihat saja Hitler yang membunuhi Yahudi. Lihat juga nasib rakyat Irak yang jadi korban politik Amerika. Politik kita juga masih diwarnai dengan politik uang. Jadi, kalau saya bilang binatang, ya, masih kurang kasar.
Meski Anda ogah berpolitik, apakah ada parpol yang mencoba mendekati Anda?
Saya sering didekati parpol. Dulu, sewaktu cuma ada tiga partai, semua memperebutkan saya. Sekarang juga banyak partai yang mencoba mendekat. Tapi mereka tak berani secara langsung karena tahu pasti akan saya tolak. Kalau ada yang coba-coba menawarkan uang, wah, mereka bakalan malu.
Apakah Anda seorang golput?
Tidak, pemilu kemarin saya nyoblos. (Iwan mengacungkan kelingking kirinya. Masih ada sisa tinta hitam di ujungnya—Red.) Tapi saya tak ingin menyebut partai yang saya coblos.
Partai Golkar, yang dulu menjadi mesin politik Orde Baru, kembali me-nang. Apa komentar Anda?
Komentar saya... (Iwan diam dan terlihat berpikir—Red.), ah, tidak usahlah. Enggak enak saya. Kasihan mereka. Komentarnya dalam hati saya sendiri saja.
Album baru Anda juga memuat lagu tentang kekerasan tentara. Anda ingin menjegal calon pre-siden dari tentara?
Jangan dilihat seperti itu. Mudah-mudahan, kalau toh akhirnya tentara yang terpilih, sisi baiknya yang muncul. Jangan mentang-mentang tentara, jangan sok keras. Semua orang bisa jadi keras. Tolong tentara jangan berbangga diri dengan kekerasan seperti itu. Dulu saya takut kalau disuruh berantem dengan tentara. Tapi, kalau dia buka seragam tentaranya, tentu saja saya berani.
Anda takut tentara kembali berkuasa?
Saya masih ingat saat kerusuhan bulan Mei 1998. Saya naik motor ke bawah Semanggi. Tiba-tiba, bum…! Ada ledakan gas air mata. Lampu motor saya mati akibat ledakannya. Itu sangat mengerikan. Tapi kondisi tentara sebetulnya juga mengenaskan. Banyak yang akhirnya menjadi beking judi atau penjaga bioskop. Ini karena persoalan ekonomi. Bukan filosofi tentara. Untuk memperbaikinya tak semudah kata-kata. Tapi, kalau kita tak percaya pada kata-kata, mau percaya pada apa lagi? Saya ingin kata-kata kembali bermakna.
Mengapa Anda alergis terhadap ten-tara?
Saya merasa sebetulnya kita tak memerlukan tentara. Rasanya lebih baik kalau tak ada tentara. Tentara cuma membuang waktu dan biaya. Harus membeli senjata, seragam, dan menggaji jenderal. Jadi, sebaiknya tentara kita bubarkan untuk menghemat pengeluaran. Kalau kita mau berantem, bisa lewat olahraga.
Mungkinkah sebuah negara berdiri tanpa tentara?
Mungkin saja. Tapi mungkin juga ini omongan mimpi. Saya bermimpi tak ada tentara. Dulu John Lennon juga berbicara seperti ini, tapi akhirnya ia mati ditembak.
Anda alergis terhadap tentara. Bukankah Anda anak seorang tentara?
Ya, ayah saya seorang tentara. Tapi ayah saya bukan tentara yang galak. Bahkan ibu saya lebih galak dibanding ayah saya. Nah, saya ingin tentara yang lain juga begitu.
Ini soal lain. Lagu Anda yang berjudul Oemar Bakrie disinetronkan. Bagaimana prosesnya?
Sinetron ini rezekinya Oemar Bakrie. Sebetulnya prosesnya sejak sekitar tiga tahun lalu. Iwan Gading, sutradaranya, awalnya meminta saya ikut main. Tapi saya terlalu sibuk. Kemudian saya hanya diminta memainkan musiknya. Itu pun tak bisa. Selain saya sibuk, rasanya itu bukan bidang saya. Saya enggak berani. Akhirnya, mereka (hanya) memakai judul lagu saya sebagai judul sinetron. Tapi sebetulnya isi lagu saya menjadi roh dari sinetron tersebut.
Anda sempat membaca skenarionya?
Saya memang membaca skenarionya. Ada simbolisasi yang menarik. Setiap kali Oemar Bakrie membunyikan bel sepedanya, kring… kring…, itu menunjukkan waktu tertentu. Para tetangga memanfaatkannya sebagai penunjuk waktu. Ini menjadi hal aneh di zaman seperti sekarang. Saya sangat terharu.
Dalam bayangan Anda, Oemar Bakrie guru seperti apa?
Dia guru yang berumur 50-an tahun. Dan dia guru yang tekun dan setia dengan pekerjaannya. Penuh dedikasi. Sutradara menyodorkan Pak Jojon, yang selama ini dikenal sebagai pelawak, sebagai pemeran Oemar Bakrie. Saya kira Pak Jojon sangat cocok. Entah sebuah kebetulan, dulu pun saya memakai Pak Jojon sebagai pemeran klip Oemar Bakrie. Waktu itu Pak Jojon sebagai guru taman kanak-kanak. Murid-muridnya berantem melulu. Soalnya, zaman tahun 1980-an itu anak SMA kerjanya berantem melulu. Sengaja saya buat menjadi taman kanak-kanak agar lebih satiris.
Apakah nasib guru sekarang masih seperti Oemar Bakrie?
Saya bukanlah seorang ahli sosial. Cuma, kalau saya baca koran-koran, julukan Oemar Bakrie masih digunakan sebagai label guru. Itu adalah sindiran tentang nasib guru kita. Jadi, mungkin nasibnya memang masih seperti itu. Selain itu, masih banyak nasib buruk yang menimpa para guru. Seperti yang terjadi di SLTP 56 Jakarta.
Bagaimana seharusnya penanganan masalah pendidikan?
Kalau pemerintah ingin rakyatnya pintar, seharusnya pendidikan itu gratis. Kalau perlu, sampai setinggi-tingginya. Apa sulitnya mengeluarkan uang untuk pendidikan? Kalau tidak punya duit, kita kan bisa pinjam. Lihat saja Jepang, yang jadi maju karena memperhatikan persoalan pendidikan. Mereka menerjemahkan banyak buku asing yang kemudian dibagikan ke rakyatnya.
Anda merasa menjadi guru lewat syair-syair lagu?
Mungkin begitu. Tapi semua orang bisa merasa seperti itu. Sebagai wartawan, Anda juga menjadi guru bagi masyarakat. Bahkan seorang penjahat adalah guru bagi penjahat yang lain. Itu sudah menjadi hukum alam.
Anda terasa semakin bijak. Apakah kematian Galang Rambu Anarki, putra pertama Anda, begitu berpengaruh?
Ya, pinginnya sih lebih bijak. Bukan hanya karena kematian Galang. Memang, bisa jadi kematian Galang menjadi titik balik buat saya. Tapi, kalau mengutip Aa Gym, semua orang akan mati, kok. Sekarang saya mencoba berjalan ke kuburan saya dengan gembira. Mencoba bermanfaat bagi orang lain.
Apakah Anda sempat mengalami stres saat Galang meninggal dunia?
Ya, saya drop. Tapi saya mencoba segera bangkit. Saya punya ambisi-ambisi yang bisa menutup kangen dengan Galang. Waktu saya juga tak banyak lagi. Sekarang ini tinggal berbuat baik. Mencoba mengumpulkan kata-kata yang baik.
Anda baru mendapat anak lelaki. Apakah itu dapat menggantikan Galang?
Ya, saya baru punya anak lelaki. Saya memberinya nama Rayya Rambu Rabbani. Saya memang belajar banyak dari kematian Galang. Saya akan menumpahkan lebih banyak waktu untuk kedua anak saya yang ada: Cikal dan Rayya. Dulu, kalau saya sedang membuat lagu dan Galang mendekat, saya suka marah. Saya sangat menyesal. Sekarang saya ingin melibatkan anak-anak dalam proses kreatif saya.
Benarkah sekarang Anda lebih taat beragama?
Dulu saya memang setengah-setengah. Mungkin karena bertambah umur, saya makin sadar. Sekarang saya berusaha untuk bersembahyang lima kali sehari. Ini untuk menepati janji sebagai orang Islam. Dulu, saat saya lahir, Bapak mengumandangkan azan dan qomat di telinga. Memang saya masih sering tak bersembahyang subuh. Biasanya saya ganti dengan salat Duha.
Anda seorang musisi ternama yang dikelilingi jutaan penggemar. Pernah tergiur dengan seorang perempuan lain?
Di tahun pertengahan perkawinan saya, berkali-kali saya tergiur. Kalau marah ke istri, saya pergi tiga bulan. Tapi hidup saya jadi gelisah. Saya seperti dikejar-kejar sesuatu, sampai kena penyakit kulit akibat stres. Untungnya, istri saya gagah dan ndablek. Akhirnya saya bosan dan berhenti. Sekarang saya hidup enak. Pagi hari ada istri yang membuatkan kopi. Kalau capek, dipijitin. Tapi saya masih dicerewetin. Ha-ha-ha….
Lagu-lagu Anda sarat kritik. Pernah ditangkap aparat?
Di zaman Orde Baru, saya pernah diperiksa intel gara-gara sebuah lagu. Lagu itu berkisah tentang seorang sopir truk yang bernama Soeharto. Ia punya istri yang namanya Tini yang berpantat gede dan berprofesi sebagai pelacur. Aparat menganggap saya menghina presiden dan ibu negara.
Tapi mengapa Anda menggunakan nama Soeharto dan Tini? Tak ada nama lain?
Nah..., pertanyaan Anda sama persis dengan pertanyaan intel laksus (pelaksana khusus) saat itu.
Dari semua lagu yang Anda buat, lagu apa yang paling berkesan?
Saya sudah membuat sekitar 500 lagu. Dari semua lagu itu, saya paling suka dengan Libur Kecil Kaum Kusam di album Wakil Rakyat. Lagu itu berkisah tentang keluarga miskin yang tetap berkeinginan untuk berekreasi. Lagunya sederhana, tapi membekas di hati saya. (Saat reformasi 1998, Iwan membawakan lagu tersebut secara live di seluruh TV swasta—TV pool.)
Tak kalah dengan orang gedean
Dalam rasakan senang
Walau lembaran gaji sebulan
Hanya cukup untuk kakus
Soal rekreasi sih harus
Virgiawan Listianto
Tempat/tanggal lahir:
- Jakarta, 3 September 1961
Istri:
- Rossana
Anak:
- Galang Rambu Anarki (meninggal pada April 1997)
- Annisa Cikal Rambu Basae
- Rayya Rambu Rabbani
Pendidikan:
- Sekolah Tinggi Publisistik
- Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Institut Kesenian Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo