Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anak-anak muda kini mendapat pendidikan dari hal-hal viral di media sosial.
Sebagian yang tampil di media sosial tidak sesuai dengan kenyataan.
Perlu daya kritis untuk menapis konten negatif.
Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Media sosial tampaknya telah menjadi tolok ukur bagi kemajuan zaman, khususnya bagi anak-anak muda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "viral" diartikan sebagai 1) berkenaan dengan virus dan 2) bersifat menyebar luas dan cepat seperti virus. "Viral" kini telah menjadi kosa kata yang lazim disebutkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Viral juga muncul sebagai “model pendidikan” yang menjadi rujukan bagi anak muda yang sehari-hari bergelut dengan berbagai gawai canggih. Mode terbaru, lokasi wisata unggulan, gaya bahasa ala anak Jaksel (Jakarta Selatan), pola/gaya hidup, dan berbagai pernik lain dengan mudah dipantau di media sosial masing-masing. Bahkan perkara gaya hidup sehat atau isu kesehatan mental pun menjadi hal yang diperhatikan. Gado-gado kehidupan disuguhkan melalui berbagai media sosial.
Generasi muda perkotaan yang sehari-hari akrab dengan gawai pun memiliki keterikatan dengan berbagai konten yang ada di media sosial. Suguhan positif dan negatif ada di sana, tergantung penapisan masing-masing individu. Literasi digital anak-anak menjadi bagian penting agar apa yang disajikan di media sosial tidak mereka telan mentah-mentah.
Fenomena yang Dikonstruksi
Fenomena yang ditampilkan di media sosial adalah sesuatu yang dikonstruksi atau diciptakan. Dalam bahasa sosiolog Erving Goffman (1959), apa yang ditampilkan tersebut merupakan dramaturgi. Layaknya di panggung teater, kesan yang ditampilkan orang di hadapan penonton merupakan sesuatu yang sudah dikonsep sejak awal. Setiap individu menampilkan diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga dibutuhkan manajemen impresi.
Merujuk pada Goffman, apa yang ditampilkan di media sosial menjadi kunci untuk menampilkan impresi yang meyakinkan khalayak bahwa dirinya berkelas, kaya raya, pintar, pandai berteman, ramah, dan sebagainya. Citra diri tersebut merupakan panggung depan (front stage) yang bisa sama dengan yang ditampilkan di belakang layar (backstage) atau bahkan 180 derajat berbeda sama sekali. Kebutuhan mempresentasikan diri untuk mendapat pengikut (follower) yang berujung pada peningkatan kapital, misalnya, menjadi salah satu motivasi menghadirkan peran-peran baru di media sosial. Belakangan, citra diri yang ditampilkan di media sosial justru berbanding terbalik dengan apa yang ada di belakang layar. Kekayaan yang diraih ternyata, misalnya, bukan dari kerja keras, melainkan dari jerat praktik penipuan dan tindak pidana pencucian uang.
Kita bahkan kenal kata-kata flexing, situasi orang-orang yang mudah memamerkan apa yang dimiliki di media sosial. Rumah, kendaraan, atau liburan mewah ditampilkan dengan gamblang. Pokoknya kondisi yang menarik anak-anak muda. Bila tidak selektif, buaian flexing tersebut akan menjadi jebakan. Padahal, untuk meraih segala sesuatu diperlukan kerja keras. Ada tangga yang perlu ditapaki satu per satu. Ketidaksabaran menghadapi kehidupan, karena apa yang ditampilkan di media sosial tampak menggiurkan dan mudah diraih, perlu diwaspadai. Kita harus sadar bahwa apa yang muncul di media sosial sering kali penuh tipu daya dan sangat rapuh.
Di sisi lain, suguhan kekerasan juga semakin kuat di berbagai media sosial. Penggunaan kata-kata kasar dan vulgar juga semakin mudah dipertontonkan. Hal ini menjadi tantangan bagi para pendidik.
Tantangan Pendidik
Apakah dunia pendidikan kita siap menghadapi situasi tersebut? Hal ini tentu menjadi tantangan bagi para pendidik dalam mendidik kaum muda saat ini. Duggan (2019) memaparkan bahwa kaum muda yang memiliki latar belakang lebih miskin memiliki sedikit kemampuan dalam mobilitas karena keterbatasan sumber daya pendidikan, teknologi, dan budaya. Hal tersebut membuat perbedaan antara yang mampu dan yang miskin semakin jauh. Tampilan kemewahan di media sosial dapat dilihat dengan gamblang oleh anak-anak miskin yang semakin terdesak di tengah hidup yang kompleks. Apalagi mereka disuguhi gaya hidup yang jauh dari realitas keseharian. Hal ini akan memunculkan rasa tidak percaya diri yang semakin kuat.
Pada poin ini, misalnya, ide dari Özlem Sensoy dan Robin DiAngelo dalam Is Everyone Really Equal?: An Introduction to Key Concepts in Social Justice Education (2017) memaparkan perlunya pengembangan literasi keadilan sosial yang kritis. Kekuatan sosialisasi melalui sekolah, media massa, agama, dan keluarga, misalnya, memiliki otoritas yang kuat dalam memberi penguatan terhadap literasi keadilan sosial. Dalam perspektif keadilan sosial yang kritis, anak-anak diajari perlunya memahami setiap teks yang hadir di media sosial. Misalnya, tidak semua teks bersifat netral dan sangat bergantung pada siapa yang memproduksi teks tersebut. Semua teks juga biasanya mewakili perspektif dan ideologi tertentu sehingga jangan mudah dipercaya.
Kemampuan berpikir kritis menjadi sangat penting dan diinternalisasi melalui berbagai medium tersebut. Ajak anak untuk selalu skeptis terhadap setiap teks atau narasi yang ditampilkan. Mempertanyakan dan bersikap ragu menjadi hal utama agar kita tak mudah dilumat berbagai narasi yang menyesatkan. Agar kita tak mudah digiring oleh yang viral. Sebab, kebenaran bukan ditentukan oleh viralnya sesuatu. Kembali pada dasar pikir yang kritis menjadi hal yang penting untuk melawan “model pendidikan viral” saat ini.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo