Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hutan Jawa yang Produktif, Adil, dan Berkelanjutan

Akan ada cara baru mengelola hutan Jawa: kebijakan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Luasnya 1,1 juta hektare yang selama ini dikelola Perhutani.

28 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Imam Yunianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah akan menerapkan kebijakan KHDPK di areal yang selama ini dikelola Perum Perhutani di hutan Jawa.

  • Luasnya mencapai 1,1 juta hektare atau 49 persen dari luas areal pengelolaan Perhutani.

  • Salah satu skema pengelolaan KHDPK adalah perhutanan sosial.

HUTAN Jawa berperan menyangga ekosistem di pulau terpadat di Indonesia ini. Karena itu, hutan di Jawa mendapat tekanan luar biasa dari masyarakat akibat pertumbuhan penduduk yang berakibat naiknya kebutuhan lahan untuk permukiman dan penghidupan. Akibatnya, hutan Jawa juga mesti memberikan kontribusi secara ekonomi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2021 angka kemiskinan di Pulau Jawa sebanyak 14 juta orang atau 52 persen dari total penduduk miskin nasional. Sementara itu, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan selama 200 tahun terakhir ada kenaikan intensitas banjir dan tanah longsor di Jawa, jenis bencana yang berkaitan dengan ekosistem, terutama hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita juga bisa melihat data Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan yang menunjukkan lahan kritis di Pulau Jawa seluas 2.181.919 hektare. Lahan kritis ini terdiri atas lahan kritis di kawasan hutan seluas 472.279 hektare dan di luar kawasan hutan seluas 1.709.636 hektare. Penggunaan lahan di luar kegiatan kehutanan antara lain untuk permukiman seluas 7.235 hektare, tambak 31.112 hektare, pertambangan 1.246 hektare, dan sarana transportasi seluas 225 hektare.

Data dan kondisi itu menjadi dasar pemerintah berusaha memperbaiki kebijakan pengelolaan hutan di Jawa, yang selama Indonesia merdeka sebagian besar dikelola oleh Perusahaan Umum Perhutani, sebuah badan usaha milik negara bidang kehutanan. Selama ini belum ada terobosan kebijakan untuk mengatasi tingginya permasalahan masyarakat di kawasan hutan tersebut.

Perbaikan ini berangkat dari dua keinginan: memperbaiki tata kelola Perhutani dan memperbaiki tata kelola hutan Jawa. Selama ini, dengan pelbagai problem di area kelolaannya, kinerja Perhutani terbebani, terutama akibat problem sosial. Jadi kinerja yang membaik pada 2021 yang menghasilkan keuntungan Rp 405 miliar seharusnya bisa lebih tinggi lagi. Caranya, pemerintah menarik problem-problem sosial itu sehingga tak lagi menjadi beban Perhutani. Dengan begitu, BUMN ini akan lebih berfokus mengelola bisnis.

Sebab, program pemberdayaan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan oleh Perhutani mendorong kenaikan pendapatan masyarakat di sekitar hutan serta meredakan konflik lahan. Namun kinerja tersebut belum maksimal. Meski deforestasi turun di hutan produksi, terjadi kenaikan deforestasi di hutan lindung. Problem ini tentu saja harus kita perbaiki segera.

Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, terutama pasal 125 ayat 7, menyatakan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada BUMN kehutanan ditetapkan menjadi kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Ada beberapa jenis penggunaan dalam lingkup KHDPK, seperti perhutanan sosial serta penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan (konflik tenurial, konflik permukiman, pertanian, perkebunan, pertambangan, lahan pengganti, hutan cadangan, hutan pangonan, dan proses tukar-menukar kawasan hutan). Juga penggunaan kawasan hutan, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan atau lahan kompensasi, rehabilitasi hutan, perlindungan, dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Dengan memiliki instrumen rehabilitasi hutan dan lahan, KHDPK akan mengatasi 46 persen lahan kritis di Jawa. Dengan begitu, perlindungan ekologi hutan Jawa akan terukur dan terintegrasi. Sebab, prosesnya akan melibatkan masyarakat desa di sekitar hutan sebanyak mungkin. Ini adalah paradigma baru dalam melestarikan hutan secara berkelanjutan.

Sebagai implementasi kebijakan KHDPK, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 287 Tahun 2022 pada 5 April lalu yang menetapkan luas KHDPK 1,1 juta hektare atau 49 persen dari luas area Perhutani. SK ini segera diikuti oleh peraturan yang akan berisi pedoman tata laksana KHDPK, termasuk kebijakan perhutanan sosial. 

Pedoman tersebut mengacu pada masukan kelompok tani hutan, lembaga masyarakat desa hutan, dan kelompok usaha perhutanan sosial yang dijaring Asosiasi Pengelolaan Perhutanan Sosial Indonesia pada 24 Mei 2022. Aspirasi itu antara lain tentang status dan kedudukan pengelola perhutanan sosial yang telah menerima SK, perubahan skema perhutanan sosial, prioritas pemanfaatan atau pengelolaan hutan di KHDPK, proses, tata laksana, tata waktu, serta berbagai hal lain mengenai pengajuan permohonan perhutanan sosial, baik di KHDPK maupun area Perhutani. 

Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2021, perhutanan sosial yang masuk KHDPK akan bertransformasi dari izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial dan pengakuan perlindungan kemitraan kehutanan menjadi hutan kemasyarakatan, hutan desa, atau hutan tanaman rakyat. Permohonan perhutanan sosial yang belum disetujui setelah berlakunya kebijakan KHDPK akan diproses dalam masa transisi selama satu tahun.

Kebijakan KHDPK membuat resah sebagian besar karyawan Perhutani. Pemerintah telah memikirkan hal ini. Jika kelak ada karyawan yang terimbas oleh kebijakan ini, pemerintah akan mentransformasikannya sebagai pendamping perhutanan sosial. Dengan begitu, pengelolaan perhutanan sosial akan lebih intensif karena mereka bisa memperkuat unit perhutanan sosial (UPS) yang akan segera terbentuk di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.

Bagaimana dengan aset Perhutani di area KHDPK? Perhutani bisa memanfaatkan, mengamankan, serta memelihara tanaman masak tebang. Bagi aset tanaman yang ada di area KHDPK, dan pemerintah telah menyetujuinya sebagai skema perhutanan sosial, pengelolanya berhak mendapatkan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan. Adapun aset Perhutani yang berupa bangunan akan menjadi sarana pendukung UPS di daerah.

UPS akan memfasilitasi masyarakat di tapak dengan mempercepat proses sekaligus memudahkan masyarakat dalam mendapatkan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial dan mendampingi mereka mengembangkan komoditas di area mereka. Dalam satu UPS direncanakan ada 25 orang untuk keperluan tersebut. 

Beberapa KUPS yang sukses mengembangkan integrated area development (IAD) perhutanan sosial akan menjadi role model pengelolaan KHDPK. Ambil contoh KTH Wono Lestari di Lumajang, Jawa Timur, yang menghimpun 367 keluarga yang mengelola 564 hektare hutan. Lima jenis usaha—grosilvopastura, agroindustri, interkoneksi wisata, pemulihan danau berbasis agrikultur, dan redistribusi lahan—memberikan sumbangan ekonomi keluarga anggota KTH Wono Lestari secara signfikan, yakni Rp 3,7 juta per bulan. Bisnis perhutanan sosial di Wono Lestari begitu maju karena terintegrasi dengan off taker atau industri yang menyerap komoditas mereka.

Kesuksesan perhutanan sosial di Lumajang bisa diduplikasi ke wilayah lain di Pulau Jawa. KHDPK bercita-cita menyebarkan pengelolaan hutan oleh masyarakat secara terintegrasi. Pendampingan oleh profesional kehutanan kepada KUPS akan makin mengukuhkan tujuan tersebut. Dengan begitu, keberadaan hutan di Jawa akan lebih produktif, adil, dan berkelanjutan bagi tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi.

Untuk menopang tujuan tersebut, saat ini pemerintah juga sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial lintas kementerian dan lembaga negara. Rancangan perpres ini menyelaraskan pelbagai regulasi seperti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 serta Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021.

Rancangan perpres ini akan mendorong percepatan pengelolaan perhutanan sosial, termasuk di area KHDPK. Percepatan itu meliputi distribusi akses, pendampingan, dan peningkatan kualitas KUPS agar selaras dan terintegrasi dengan program kementerian, dan lembaga negara, serta pemerintah daerah. Semua upaya itu, segala perbaikan kebijakan itu, semata-mata untuk mewujudkan visi “hutan lestari masyarakat sejahtera”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bambang Supriyanto

Bambang Supriyanto

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus