Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Saatnya Mengelola Hutan Bersama Masyarakat

Paguyuban Tani Sunda Hejo mengubah lahan gundul menjadi hutan kembali dengan menanam kopi. Menjadi model perhutanan sosial.

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Undang-Undang Cipta Kerja merombak tata kelola hutan di Jawa.

  • Dari 2,4 juta hektare hutan kelolaan Perhutani, sekitar 900 ribu hektare jadi kawasan perhutanan sosial.

  • Paguyuban Tani Sunda Hejo di Garut model perhutanan sosial yang berhasil.

PERHUTANAN sosial merupakan pilihan terbaik dalam mengelola kawasan hutan saat ini. Sistem ini menempatkan masyarakat yang tinggal di sekitar rimba sebagai aktor utama, tak lagi korporasi besar seperti di masa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data Badan Pusat Statistik menyatakan sekitar 39 ribu atau 46 persen desa berada di tepian kawasan hutan. Lebih dari 3.000 lainnya berlokasi di dalamnya. Penduduk desa itulah yang paling dirugikan jika hutan rusak. Alih-alih menyingkirkan untuk alasan investasi besar, pemerintah sepatutnya mengajak mereka bekerja sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah kerap tersendat, program perhutanan sosial yang berlangsung sejak 2014 mendapat angin baru, terutama di Jawa. Undang-Undang Cipta Kerja mengatur ulang tata kelola hutan dengan memisahkan area bisnis Perhutani dan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus. Dari 2,4 juta hektare alas yang selama ini dikelola Perhutani, sekitar 900 ribu hektare akan dijadikan perhutanan sosial. Ini strategi yang layak disambut karena Perhutani akan berfokus ke bisnis dan masyarakat bakal langsung mengelola hutan sosial bersama pemerintah.

Sejumlah kalangan, termasuk Komisi Kehutanan di Dewan Perwakilan Rakyat, sempat memandang pesimistis alih kelola hutan tersebut. Sebagian dari mereka menilai perhutanan sosial berbuntut banyak mudarat, dari permainan uang, konflik lahan, sampai perusakan hutan.

Di kaki Gunung Mandalawangi, Garut, Jawa Barat, pandangan pesimistis itu bisa berbalik menjadi optimistis. Di sana, lahan milik Perhutani yang gundul menjelma menjadi penghasil kopi berkualitas ekspor. Awalnya warga merambah lahan tersebut untuk bertanam sayuran. Bencana tanah longsor pun datang dan menewaskan 23 orang. Belajar dari bencana itu, lewat Paguyuban Tani Sunda Hejo, masyarakat menghijaukan kembali lahan dengan tanaman kopi.

Sunda Hejo bisa menjadi model perhutanan sosial yang berhasil. Paguyuban itu mencapai hampir semua tujuan manajemen hutan berbasis masyarakat. Pertama, tidak ada lagi konflik lahan. Petani tak lagi dianggap perambah, tapi mitra mengelola hutan. Kedua, hutan membuahkan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Dari 2 hektare lahan saja, produksi kopi sekitar 3,5 ton setahun—setara dengan Rp 31 juta, yang melewati garis kemiskinan Jawa Barat. Karena masih di lahan Perhutani, petani menyetor 20 persen untuk perusahaan negara ini. Ketiga, kelestarian alam terjamin. Gunung Mandalawangi yang gundul kembali hijau karena kopi butuh pohon peneduh untuk tumbuh.

Memang, tidak semua program perhutanan sosial berhasil segemilang itu. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat hutan sosial seperti Sunda Hejo baru 0,65 persen dari 7.405 kelompok usaha. Mereka tergolong kelompok platinum. Artinya, sudah mandiri secara ekonomi, punya akses modal dan pasar.

Karena itu, dengan memisahkan pengelolaan hutan murni kepada masyarakat dari semula dengan Perhutani, perhutanan sosial di Jawa akan lebih menguntungkan petani. Mengelola hutan yang menghasilkan secara ekonomi akan mendorong masyarakat menjaga kawasan hutan tetap memiliki syarat ekologi.

Pengalaman Sunda Hejo juga menunjukkan pendampingan menjadi kunci sukses program mengelola hutan bersama masyarakat. Dengan pendampingan oleh ahli kehutanan, komoditas petani juga bisa mencapai pasar yang lebih besar.

Meski banyak kendala, perhutanan sosial menjadi pilihan terbaik mengelola kawasan hutan. Sejarah membuktikan kearifan lokal jauh lebih lestari melindungi rimba kita dibanding korporasi yang semata melihat laba.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus