Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah belum kapok membikin kebijakan basa-basi untuk memangkas subsidi bahan bakar minyak, yang nilainya kian menggunung. Bukannya membuat kebijakan mendasar, seperti program konversi minyak ke gas, pemerintah malah mengeluarkan aturan baru yang aneh. Pengusaha angkutan roda empat dilarang mengkonsumsi bahan bakar minyak bersubsidi.
Nasib kebijakan ini niscaya akan sia-sia belaka, persis seperti kebijakan terdahulu. Meledaknya konsumsi BBM bersubsidi pada tahun lalu merupakan bukti kegagalan itu. Kuota bensin rakyat itu bahkan terpaksa dikatrol dari 40 juta kiloliter menjadi 44 juta kiloliter. Bujet subsidi pun menggelembung mencapai angka fantastis Rp 216 triliun, yang tentu saja kian membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah kalang-kabut. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik lalu mengeluarkan larangan mengkonsumsi minyak berbantuan bagi kendaraan dinas pemerintah dan truk pertambangan besar. Namun aturan ini layu sebelum berkembang. Banyak instansi nakal yang enggan memakai BBM nonsubsidi. Larangan itu ternyata hanya bisa menekan konsumsi bensin bersubsidi sebanyak 350 ribu kiloliter, jauh dari target 1,5 juta kiloliter.
Bila instansi pemerintah saja tak dapat dipaksa, bagaimana mungkin swasta dikendalikan? Karena itu, sangat aneh jika pemerintah kini malah mengeluarkan aturan baru: larangan mengkonsumsi minyak murah untuk mobil barang dengan jumlah roda lebih dari empat. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2013 itu dinyatakan resmi berlaku per 1 Maret lalu.
Larangan baru ini memicu kemarahan para pengusaha angkutan. Rabu pekan lalu, 7.396 sopir truk trailer pengangkut peti kemas mogok massal di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pelabuhan terbesar kedua di Indonesia itu pun lumpuh. Menteri Jero Wacik buru-buru meredakan kemarahan. Larangan baru itu dikecualikan bagi pengusaha angkutan di pelabuhan dan perusahaan kecil, seperti perkebunan dengan luas maksimum 25 hektare, pertambangan galian C (batuan), serta hutan rakyat.
Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi selama ini terbukti kusut-mawut dan tak efektif. Pak Menteri seharusnya menempuh langkah sederhana: menaikkan harga minyak atau menyegerakan program konversi BBM ke gas. Pemerintah selayaknya tak mengulangi kegagalan proyek konversi ke gas sebagaimana terjadi tahun lalu. Pemerintah batal membangun 33 stasiun pengisian bahan bakar gas dan menyediakan 14 ribu mesin konversi ke gas senilai Rp 1,8 triliun. Kondisi itu membuat posisi minyak kita kian gawat, karena cadangannya diperkirakan hanya tersisa 4 miliar barel atau cuma cukup untuk 12 tahun.
Program konversi minyak ke gas sebenarnya merupakan "lagu lama". Sejak 1985, rencana itu sudah diserukan pemerintah. Pada 1986, Indonesia sudah memiliki delapan stasiun pengisian bahan bakar gas atau SPBG, sehingga Argentina belajar menerapkan konversi bahan bakar. Kini negara Amerika Latin itu sudah memiliki empat ribu SPBG, sedangkan di Indonesia, program ini hidup segan mati tak mau.
Bila kisruh subsidi BBM itu dibiarkan berlarut-larut, siap-siap saja negeri ini menuju kebangkrutan. Anggaran jebol, cadangan minyak habis. Pemerintah mesti sedia payung sebelum krisis tiba: naikkan harga BBM dan galakkan program konversi ke gas. Tentu saja perlu segera dibangun infrastruktur penyaluran gas sampai ke pelosok daerah, sehingga angkutan umum bisa beralih ke gas.
berita terkait di halaman 96
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo