Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tiga Kisah

PEREMPUAN inilah yang tenggelam lebih dulu. Aku tidak mempersalahkannya, karena lingkar tubir bulan tampak begitu jauh dan kabur dan terpiuh oleh kuning senjakala. Segera saja aku menyusulnya: betapa sial, kami tercengkeram oleh rasa manis yang sungguh terlalu.

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Juan Jose Arreola

    BULAN MADU

    PEREMPUAN inilah yang tenggelam lebih dulu. Aku tidak mempersalahkannya, karena lingkar tubir bulan tampak begitu jauh dan kabur dan terpiuh oleh kuning senjakala. Segera saja aku menyusulnya: betapa sial, kami tercengkeram oleh rasa manis yang sungguh terlalu.
    Terlempar di laut lebat yang penuh oleh para pasangan yang gila berenangan, kami meluncur tanpa arah, tak mampu membebaskan diri. Mengambang tersesat, kami berpeluk dengan setengah hati. Kamar tidur bundar tanpa muka dan belakang ini terbuat dari madu: di dalamnya kami berlambat-lambat mencari pintu keluar. Sekali-sekala kami terantuk pada sepenggal kenyataan, secercah pulau maya, atau mungkin sepucuk kubah gula yang membatu. Tapi perempuan pasanganku ini selalu saja cenderung hilang-keseimbangan dan dia pun tenggelam kembali seraya menarik tubuhku ke laut yang betapa mengisap. Demikianlah, kami karam berkali-kali.
    Menyadari bahwa tak ada pintu keluar di permukaan, kubiarkan diriku terseret ke dasar terdalam. Tak penting benar berapa lama kami menyelam tegak lurus di laut yang tak terlukiskan manisnya. Pada akhirnya aku mencapai ranah perawan di mana endapan madu tebal membentuk lelapis batuan kuarsa keras penuh rumpang. Aku menapaki sebatang jalan di antara tiang-tiang stalaktit yang siap melukaiku. Begitu sampai di udara terbuka, aku pun bergegas lari seperti seorang buron. Di tepi sebatang sungai aku berhenti, menarik napas dalam-dalam dan membersihkan tubuhku dari kerak madu yang tersisa.
    Tiba-tiba aku sadar bahwa aku telah kehilangan pasanganku.

    PETA BENDA-BENDA HILANG

    LELAKI yang telah menjual peta ini kepadaku tidaklah ganjil-ganjil amat. Sesungguhnya ia manusia rata-rata saja, hanya saja sedikit sinting. Ia memang terasa memaksa, seperti halnya para penjaja jalanan yang kau temukan di mana saja. Ternyata ia melepas petanya terlalu murah; yang terpenting bagi dia, peta ini enyah dari hidupnya. Ketika ia menawarkan padaku bagaimana cara menggunakannya, aku mengiyakan dengan penasaran. Kenapa tidak, pikirku, sebab hari itu hari Minggu dan aku memang sedang bersantai. Kami pun pergi ke lokasi yang dekat-dekat saja untuk mendapatkan benda malang yang pernah ia buang, benda yang tak akan diambil siapa pun: sebuah sisir plastik berwarna merah, yang terimpit kerikil. Sampai kini aku masih menyimpannya bersama selusin printal-printil lain yang memikatku, terutama juga karena aku menganggapnya pemula bagi rangkaian temuan berikutnya. Aku sungguh menyesal kenapa aku tidak menyimpan benda-benda temuan yang sudah kujual dan koin yang sudah kubelanjakan. Memang sejak itulah aku bertahan hidup dengan menjual apa saja yang kudapat melalui peta ini. Benarlah aku miskin, tapi aku bebas dari kecemasan selama-lamanya. Kadangkala seorang perempuan yang tersesat, yang sanggup menyesuaikan diri dengan hidupku yang kelewat sederhana, muncul di atas peta ini.

    PUISI UNTUK SANG BAKAL MEMPELAI

    KAMAR yang ditinggalkan sepasang kekasih ini sungguh porak-poranda, penuh dengan tilas persetubuhan mereka. Helai-helai pakaian, kelopak-kelopak kembang layu, ceceran anggur, dan tumpahan parfum. Di atas ranjang yang habis teraduk-aduk, di atas bantal yang cekungnya tercetak dalam-dalam, kata-kata mengambang namun terasa lebih berat ketimbang aroma kembang liar dan setanggi, dan terdengar seperti dengung sekawanan lalat. Udara jenuh oleh penggalan kalimat seperti "aku cinta padamu" dan "manisku, merpatiku".
    Ketika aku membersihkan dan merapikan kamar tidur ini, angin pagi dengan ringan tangan menjulurkan sehimpun rasa manis karamel pekat. Tanpa sadar aku menginjak kuncup mawar yang pernah dikenakan sang perempuan di belahan dadanya. Aku seperti mendengar suaranya kini, suara seorang anak dara yang menggelora oleh asmara dan haus akan belai dan cumbu. Tapi hari-hari esok akan segera tiba, ketika ia ditinggalkan sendiri di sarangnya sementara lelakinya mencari cinta yang baru di lindungan rumah yang lain.
    Aku kenal lelaki itu. Ia pernah menyerangku di hutan, ketika aku masih berumur lima belas tahun. Tanpa basa-basi, tanpa memandang wajahku, tiba-tiba saja ia menghantamku. Seperti seorang penebang pohon yang terlalu gembira, yang kebetulan lewat sambil menyanyikan sepatah lagu saru, ia dengan cepat merobohkan aku ke tanah, seperti menebang sebatang palem muda kurus dengan sekali tebasan.


    Juan Jose Arreola (1918-2001) adalah penulis Meksiko.
    Tiga cerita di atas diterjemahkan oleh Nirwan Dewanto berdasarkan versi Inggris George D. Schade.


  • Sitok Srengenge
    BIOGRAFI KUPU-KUPU

    Kubisikkan keinginanku kepada peri kupu-kupu
    agar disampaikan kepada langit dan dikembalikan
    sebagai keindahan

    Ia pun samadi di atas kelopak kembang
    menggendam tenaga purba dari delapan penjuru mata angin
    Angin berdesir, daun-daun bergoyang, sukmaku melayang
    Dari ketinggian yang luas tanpa batas
    kusaksikan tubuhku menyerpih bagai anyaman kapas

    Aku lahir kembali ketika di sudut gelap puncak Acropolis yang kelam
    seekor kupu-kupu meninggalkan kepompong dengan sayap kusam
    Pijar api di genggaman Prometheus telah lama padam
    Alangkah kasihan! Lalu Dewi Pelangi yang terharu
    menangkupkan selendang suteranya ke pundakku

    Aku pun terbang ke Timur, ke sumber cahaya
    hinggap di gigir Tembok Besar, memandang hijau hutan
    liku-liku lembah, tebing-tebing cadas coklat-kemerahan
    Nun di bawah ladang yang tandus, tak jauh dari Gunung Li
    kusaksikan laskar terakota dengan tubuh kaku dan paras pasi
    seolah hendak mengabarkan padaku: kematianlah yang abadi
    Alangkah kasihan! Lalu kukepak sayapku dan angin bernyanyi
    merasuki tubuh para prajurit itu dan seketika bernafas kembali
    Mereka menyebar ke dusun-dusun pinggiran Provinsi Shaanxi
    hidup bahagia sebagai petani, dan ketika musim tanam berlalu
    sebagian menggambar atau menulis dongeng tentangku

    Bersama arwah orang-orang yang gugur demi cinta
    di bukit-bukit sunyi bagian bumi selatan dan utara
    kuarungi angkasa Pasifik, belanga agung yang haus kehidupan
    Taifun kabut dan badai salju kujadikan titian
    Di padang-padang gersang benua baru
    di antara gerumbul kaktus dan semak perdu
    aku terlempar bagai sebutir kerikil batu berbercak darah
    Alangkah kasihan! Lalu Roh Agung meniupkan nafas dari surga
    dan jadilah aku duta penyampai mimpi kaum berwajah merah
    Menjelang musim panas tiba, kuluruhkan seluruh warna
    pada sayapku yang tembus pandang mereka membaca cuaca
    Peluhku menjelma hujan
    dari dakiku tetumbuhan bersembulan

    Bila kutangkupkan sayap-sayapku
    musim dingin datang, nafas putihku menaburkan serbuk salju
    Para prajurit memujaku sebagai titisan pahlawan pemberani
    para orang tua pilih bersunyi diri bersamaku sebelum mati
    agar arwah mereka bahagia dan kembali
    sebagai kupu-kupu, dan ketika kupu-kupu mati
    sampailah mereka ke Kosong Abadi
    Arwah para pencinta ini
    mereka merindukan kobar api
    mendamba moksa dalam nyala
    meluruhkan yang busuk dan sia-sia
    Mereka pun ingin menghibur diri dengan bernyanyi
    seperti pernah mereka lakukan bersama para Siren di lautan
    atau menari bersama Sembilan Muse di angkasa dan daratan

    Demi menghormati kaum burung, aku memilih diam
    diam-diam hinggap di kelopak bunga menghisap madu
    atau melayang tenang lalu bertandang ke ruang tamumu
    Bila kau baik padaku, akan kubawakan mimpi ke tidurmu
    dan bila kau berkenan membisikkan keinginan
    akan kusampaikan ke langit, agar dijelmakan
    sebagai keindahan

    OTRABANDA

    Malam menyempurnakan diri di pundak pantai ini
    gaung badai bangkit dari pepokok rambut pelangi

    Biarkan ia bebas bersama kelepak sayap kelelawar
    lepas ke langit menggerus gugus planet yang gemetar
    sampai memercik bunga api sebagai kerlip bintang
    menyentuh manik matamu yang bening menerawang

    Menggeliatlah di pinggangku yang beraroma hutan
    seperti sungai yang menyusur pulau jajahan ini
    agar ada alasan bagi cinta untuk jadi jembatan
    menghubungkan kau dan aku dalam sunyi

    Sebab setiap kesedihan membutuhkan jalan
    seperti airmata yang mengembara ke luas lautan
    mengendapkan daki duka pada mezbah delta
    tempat kita reguk racun dari gelas yang sama

    Di atas segala erangan nafas kita berlesatan
    membentur gedung warna-warni serupa mainan
    bergema setajam irama blues
    menyembilu di dinding usus

    Seorang bocah hitam yang mengetukkan jemari pada lutut
    khidmat menyimaknya sebagai titah suci malaikat maut
    sebab tak lama sesudahnya ia menari ria
    di antara para pelancong dan pellagra
    sambil memanggil ayah-bundanya
    yang damai di surga

    Tapi surga telah turun dan memeluk kita sekarang
    di bawah pohon kuldi jelmaan tangan Tiziano Vecellio
    tanpa ular berkepala peri mengulurkan buah terlarang
    atau kata-kata magi seperti sajak Antonio Machado

    Lapar telah menjelmakan diri sebagai santapan cepat saji
    tapi kau rakus melahapku seakan tak ada lagi esok pagi

    Sebentar lagi fajar tetap tumpah pada bandar
    setipis gaun katunmu yang menyamarkan kilau
    laut masih melabuhkan dolar dan kapal-kapal pesiar
    mendaratkan bahasa-bahasa asing ke lidah Papiamento

    Lidah telah berkenalan dengan lidah
    menyebut nama masing-masing sebagai takdir
    ada yang masih menjajah, kita bahagia saling jamah
    dalam stanza yang resah karena rindu tanah air

    AKU TAK TAHU

    Aku tak tahu bagaimana jantungku mengenalimu
    detaknya kian kuat tiap kali kau kuingat

    Aku tak tahu sejak kapan darahku merindukanmu
    arusnya berdesir tiap kali kau menghampir

    Aku tak tahu mengapa anganku diam-diam mengabadikanmu?
    seolah paham betapa kenangan bisa rapuh tiap kali kau jauh

    Aku tak tahu sungguhkah jiwa bisa terbelah menjadi kau dan aku
    tapi betapa aku merasa retak bila setapak saja kita berjarak

    Aku tak tahu dengan cara apa perasaanku menghayati keindahanmu
    di hadapan kebersahajaanmu seluruh karya seni seolah lesi

    Aku tak tahu bejana gaib macam apa yang menghubungkan kau dan aku
    dukamu sebab siksaku, lukamu sumber sakitku

    Aku tak tahu bagiku kau musibah atau anugerah
    tiap kali bersamamu derita dan bahagia tak terpilah

    Aku tak tahu sampai kapan sajakku tak jemu memuja juwitamu
    kata-kata selalu meratap pilu tiap kali merapal pesonamu

    Aku tak tahu cukupkah seluruh tak mahirku sebagai mahar untukmu
    meski, sungguh, aku tahu betapa penuh aku mencintaimu

    _MANIFESTASI

    Cinta adalah kata yang bersikeras mewakilimu
    agar aku bisa menamai dan menyebutmu

    Kicau merdu tanpa burung
    desah semak belukar di lereng gunung
    memantul di langit yang rindu lautan
    berjatuhan sebagai peluh hujan

    Cinta adalah gerak bermiliar molekul yang bersekutu
    mewujudkan dirimu agar aku bisa mengenalimu

    Riap anak rambut, kerjap pelupuk
    rekah bibir, tubuh yang menggeliat lentuk
    Mata yang bagai mutiara menyimpan kilau palung lautan
    menimangku seperti buih, mengubah hatiku jadi buah
    sampai jatuh ke dalam geloranya yang basah

    Cinta adalah ruh yang tulus menghuni tubuh
    agar aku bisa menyentuhmu

    Getar magnet yang merambat di kulit
    seperti tangan langit merabai wajah lautan
    di mana aku mengapung bagai buih
    atau puting beliung yang mengguncang jantung hutan
    di mana aku lumpuh usai meluruhkan benih
    ?Kadang cinta menampakkan diri sebagai hijau daun
    gairah yang mengalun di hamparan ladang jagung
    layar perahu para petualang yang tak menemu arah pulang
    kepak sayap gaib malaikat yang menyebabkan siang dan malam

    Jadilah kau siang hari
    karena malam adalah ibuku yang mengurai diri
    demi bisa menemaniku tidur tanpa menjadikanku Oedipus
    agar tak ada peniti emas menakik mata air darah di mataku

    Cinta adalah hasrat suara yang meronta di mulut kelu si gagu
    seperti gerak naluri yang membimbingku kepadamu

    Gaung genta yang didentur angin bukit, laung azan tanpa muazin
    dendang tembang tanpa biduan, lenguh setubuh tanpa kelamin
    lirih memanggilmu tanpa kautahu siapa yang bertalkin
    nafasnya segemerisik gaun peri di ranting kemuning
    menggeriapkan bulu-bulu tengkukmu
    seperti ketika kau bercumbu

    ?

    Melalui kau aku bisa melihat cinta
    mungil dan anggun seperti kedasih
    ungu serupa kelopak selasih
    tanpa aroma seperti tubuh orang suci
    penuh damba seperti doa untuk orang mati
    Kadang cinta ngembara dengan gaun berumbai seperti angin
    mengusap semua benda untuk menemu mata paling bening
    mata menjadi suar yang memberi cinta wujud tak asing
    menyihir seluruh pandangan hingga tak ingin berpaling

    Kini kau bisa menyebutku dan aku menyebutmu
    aku lambang yang menandai kau, kau merujuk aku
    sebagai molekul-molekul kita bersenyawa
    menyatakan cinta


    Buku-buku Sitok Srengenge, antara lain, Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil (kumpulan esai, 2012), On Nothing (kumpulan sajak terpilih beserta terjemahan ke bahasa Inggris, 2005), dan Menggarami Burung Terbang (novel, 2004).

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus