Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FAKTA ini sudah menjadi pengetahuan umum: Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi serta Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara adalah dua posisi yang selalu menjadi obyek pertarungan. Dua direktorat di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu diperebutkan tak cuma oleh pelbagai kekuatan politik, tapi juga oleh kaum pencari rente. Bertahun-tahun, melalui cara apa pun, politikus, partai politik, dan siapa saja yang berkepentingan dengan kekuasaan ataupun perayahan sumber daya alam berupaya memastikan kedua posisi itu tetap dalam kendali.
Wasangka itu kembali muncul ketika pekan lalu pemerintah memilih pejabat-pejabat baru untuk kedua posisi. Kasak-kusuk terjadi: yang satu menjagokan kandidat A, yang lain memilih B. Saking panasnya, Tim Penilai Akhir-badan yang diketuai Presiden untuk memilih pejabat eselon I-tak biasanya menggelar lebih dari satu kali pertemuan. Di luar itu, ada rapat-rapat informal. Analisis berhamburan tentang siapa di belakang setiap kandidat. Juga perihal perimbangan kekuatan politik sebelum dan setelah pejabat definitif terpilih. Kita diingatkan untuk kembali waspada: di dalam ruang yang tak benderang, kekuatan jahat akan lebih leluasa menghunjam.
Sektor minyak dan gas bumi, juga mineral dan batu bara, menyumbangkan uang tak sedikit ke kas negara. Sektor migas menggelontorkan Rp 300 triliun per tahun, sedangkan sektor minerba, yang masih dianggap terabaikan, diproyeksikan bakal melimpahkan hingga Rp 400 triliun-dari saat ini yang berkisar Rp 100 triliun.
Sangat bisa dimengerti bila banyak yang berminat ikut menikmatinya. Tapi justru di situlah masalahnya. Potensi gigantis yang menjanjikan keuntungan supergemuk itu selama ini tak baik dikelola. Pada pemerintahan yang lalu, prinsip tata laksana pemerintahan yang bersih tak pernah benar-benar dijalankan.
Konstitusi sebenarnya mengamanatkan kekayaan alam "dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Kenyataannya, perintah ini seakan-akan hanya pajangan yang dibiarkan jadi rombengan. Pejabat-pejabat yang dipercaya menjalankannya malah leluasa diam-diam bertemu dengan perusahaan asing pemegang kontrak besar dan memilih siapa yang diberi izin eksplorasi atau dimenangkan sebagai mitra perusahaan negara.
Sejumlah kasus suap dan korupsi yang belakangan terungkap menunjukkan praktek-praktek lancung itu berlangsung masif. Mereka yang terlibat dan berperan bukan hanya politikus dan pengusaha, melainkan juga pejabat pemerintah di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, di antara praktek korupsi yang terjadi ada pemberian suap untuk memperoleh izin.
Semua itu bisa terjadi, bahkan berlangsung bertahun-tahun, karena pejabat yang dipilih tak memprioritaskan penerapan pemerintahan yang bersih. Berdasarkan wewenangnya, Dirjen Migas dan Dirjen Minerba menempati posisi terpenting: dari merekalah pelbagai izin diturunkan.
Secara formal, perihal pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat struktural eselon I diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 162 Tahun 1999. Dalam aturan ini, lembaga Tim Penilai Akhir diberi tugas memberikan masukan terhadap calon pejabat eselon I, termasuk posisi direktur jenderal.
Tapi perang tanding di luar Tim Penilai Akhir yang tampaknya lebih menentukan. Presiden Joko Widodo tidak sreg terhadap Said Didu, calon Dirjen Minerba yang belakangan terpental. Wakil Presiden Jusuf Kalla sebaliknya. Yang muncul adalah argumentasi yang samar-samar: Said disebut-sebut disoroti secara khusus oleh Badan Intelijen Negara. Kalla secara terbuka menyatakan Said clear tanpa catatan. Tak pernah benderang di telinga publik: apa yang membuat Presiden tidak berkenan dan mengapa Wakil Presiden bersikap sebaliknya. Yang muncul adalah analisis: Said dianggap bagian dari gerbong Kalla yang jika dipilih akan mengganggu perimbangan kekuatan di antara kedua pemimpin.
Presiden dan Wakil Presiden semestinya kompak. Perbedaan pandangan harus diselesaikan dengan terbuka. Tak boleh ada yang menyimpan kartu di belakang punggung. Kepentingan pribadi dan golongan tak boleh diletakkan di atas kepentingan orang banyak. Dalam memilih pejabat, prinsip dasar yang harus diutamakan adalah kecakapan kandidat, latar belakang yang bebas korupsi, serta kehendak memperbaiki birokrasi.
Usia pemerintahan Jokowi-Kalla masih panjang. Kisruh penetapan pejabat di Kementerian Energi tidak boleh berlanjut. Persoalan sedikit jangan dibiarkan membubung menjadi bukit. Jangan pula berpikir untuk bersimpang jalan. Pemerintahan Jokowi-Kalla harus dipertahankan hingga selesai. Mengabaikan hal ini hanya akan membuat susah orang ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo