Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CARA Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) menjemput paksa Novel Baswedan, dua pekan lalu, mempertontonkan kejemawaan, keserampangan menerapkan prosedur kerja, dan penyalahgunaan wewenang. Ini sungguh jauh dari tugas penegak hukum: melayani masyarakat dan menegakkan hukum. Polisi menangkap Novel, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi dengan reputasi terpuji; memborgolnya bak teroris; lalu mengirimnya ke Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Penangkapan tengah malam itu mengakibatkan sejumlah penyimpangan atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Di antaranya, polisi memeriksa Novel tanpa memberinya kesempatan didampingi pengacara, rekonstruksi sangat dipaksakan, dan barang-barang yang disita tak sesuai dengan kasus yang disangkakan. Apa pula alasan yang masuk akal menggeledah rumah Novel di Jakarta, sementara kasus yang dituduhkan terjadi di Bengkulu pada 2004? Para reserse itu tentu tidak bergerak sendiri. Mereka "sekadar" menjalankan perintah dari atas: Komisaris Jenderal Budi Waseso, Kepala Bareskrim. Begitu aktifnya Waseso mengawal kasus ini, sampai-sampai perintah Presiden Joko Widodo agar tak ada kriminalisasi terhadap KPK pun tak digubris.
Nalar kita berat menerima penangkapan Novel sebagai proses penegakan hukum bersih dan transparan. Drama dua hari itu mirip show of force congkak menyiratkan pesan: "jangan macam-macam kepada Bareskrim". Tak salah jika orang menduga ini bagian dari "upaya berantai" melemahkan KPK.
Kronologi kasus Novel Baswedan kentara betul bergerak sejalan dengan pasang-surut hubungan KPK dan Kepolisian RI. Pada 2012, polisi membuka kembali peristiwa tahun 2004: Novel dituduh menganiaya pencuri sarang burung walet ketika dia memimpin Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu. Perkara Novel dibuka setelah dia menangani korupsi simulator kemudi yang melibatkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta polisi menghentikan pemeriksaan atas Novel.
Pada Januari lalu, Novel Baswedan dianggap Markas Besar Polri ikut memeriksa dugaan suap dan gratifikasi Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang sempat ditetapkan KPK sebagai tersangka. Status itu melenyapkan harapan Budi dilantik sebagai Kepala Polri. "Sepak terjang" Novel itu kuat diduga menjadi dasar polisi membangkitkan perkara lamanya. Bahkan kali ini banyak "hal baru" yang dilansir polisi. Misalnya, rekonstruksi terakhir dua pekan lalu, yang dipaksakan tanpa kehadiran Novel, hasilnya ajaib: dari sangkaan dia menembak kaki satu orang, tiba-tiba "naik kelas" dengan tuduhan menembak empat pencuri sarang walet.
Perkara Novel Baswedan terjadi setelah komisioner KPK Bambang Widjojanto dan Abraham Samad ditetapkan polisi sebagai tersangka. Tiga kasus yang patut diduga bertujuan melemahkan KPK itu sesungguhnya semakin merusak citra polisi. Entah bagaimana polisi akan meyakinkan masyarakat bahwa kasus ini bukan balas dendam atau unjuk kuasa belaka. Hanya tindakan koreksi sungguh-sungguh yang akan membuat publik kembali percaya kepada polisi.
Budi Waseso tentu tak sendiri memikul tanggung jawab. Di atasnya ada Wakil Kapolri Budi Gunawan dan Kapolri Badrodin Haiti-yang leadership-nya sungguh tengah diuji oleh kasus ini. Merombak Bareskrim, termasuk mengganti pucuk pimpinannya, bisa menjadi langkah awal pembenahan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo