Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Huru-hara tanpa suara

Sekuhara segala jenis paksaan seksual terhadap wanita oleh atasannya di kantor makin menggejala di jepang. anehnya, wanita jepang keranjingan komik porno. mereka membacanya sekedar hiburan.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kaum wanita Jepang ribut sekuhara, tapi dalam waktu bersamaan keranjingan komik porno. ANCAMAN baru yang kini luas dicemaskan penduduk Amerika Serikat (AS) mungkin saja sexual harassment alias pelecehan seksual. Ini satu lagi sumbangan media massa dalam membentuk opini publik, setelah sukses menggelembungkan penyakit AIDS. Sampai pekan lampau berita kasus Clarence Thomas -calon hakim agung -- dengan Anita Hill yang bekas pembantunya, gencar diberitakan. Bahkan majalah Time menampilkannya sebagai laporan sampul. Namun, pelecehan seksual bukan monopoli AS. Ingat keluh-kesah beken sekuhara (TEMPO, 20 Januari 1990). Ya, itulah sadapan Jepang untuk sexual harassment. Seperti dijelaskan Mizuho Fukushima, wanita pengacara yang aktif menangani kasus ini, yang dimaksud sebagai sekuhara adalah segala jenis paksaan secara seksual terhadap kaum wanita oleh atasan atau sejawatnya di kantor. "Termasuk gerak-gerik atau ucapan," ujar Fukushima, yang getol mengecam perilaku pria Jepang itu. Tiga tahun terakhir sekuhara merupakan buah bibir di Jepang, hingga diterbitkan menjadi buku. Misalnya, sebuah kelompok wanita, di wilayah Santama di barat Provinsi Tokyo, menerbitkan pula buku Kesaksian 6.500 Wanita. Buku itu melansir hasil angket terhadap 10.000 wanita pekerja. Di antara 6.500 respondennya, 56,2% menjawab pernah diteror sekuhara lewat ucapan atau lirikan pria. Hampir seperempat mengaku dipaksa melakukan hubungan badan atau nyaris dicerobohi. Dan baru-baru ini diumumkan pula hasil riset 20 profesor dan dosen pelbagai perguruan tinggi di Jepang. Penelitian selama tiga tahun dengan biaya 8,1 juta yen itu dipimpin Haruhiko Kanegae, 45 tahun, ahli sosiologi pendidikan dan profesor di Fakultas Sastra Universitas Senshu. Penelitian dalam skala nasional ini dilakukan terhadap 4.022 wanita usia 22 sampai 45 tahun, dicomot dari daftar alumni berbagai SMA dan perguruan tinggi. Jawaban masuk 697. Hasilnya tak jauh dari angket yang muncul dalam buku Kesaksian 6.500 Wanita tadi. Lalu, siapa pemrakarsa sekuhara? Hampir separuh responden kompak menjawab "bos di kantor". Sekitar seperempat menyebutkan "karyawan senior", dan 16% menjawab "sejawat sekantor". Dalam formulir angket yang disiapkan grup Profesor Kanegae, celetukan tentang perawakan cewek sudah cukup masuk daftar sekuhara. Misalnya, "kamu kontet, kok". Atau pecapai yang artinya payudara mirip telur ceplok dalam istilah Jepang. Jadi, janganlah sampai pria menanyakan warna celana dalam si cewek meski berolok-olok. Hasil riset itu juga menyigi perasaan wanita ketika ditimpa sekuhara. Ternyata, ada yang menyatakan tak merasa apa-apa, sekalipun mengalami tingkat paling parah, yakni digagahi secara paksa. "Kalau mereka menyebutnya sebagai sekuhara, tentu semua harusnya menjawab sangat tak senang," bunyi laporan itu terheran-heran seraya menyimpulkan, "Tapi bisa dimengerti, kasus itu terjadi dalam situasi, mungkin, wanita itu tak sampai merasa tak senang." Sejauh mana sudah perilaku huru-hara yang hampir tak bersuara ini merasuki perkantoran, menurut Kanegae, sulit dijawab. "Tapi, dalam berbagai angket, boleh jadi menimpa 70% wanita pekerja," katanya kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Memang, ada beda situasinya dengan di AS, yang justru mempromosikan wanita pada jabatan penting di perusahaan. Di Jepang wanita masih dianggap pelengkap dalam perusahaan, sesuai dengan pandangan tradisi yang menganggapnya lebih sebagai pelayan pria. Kaum pria diterima bekerja berdasarkan kemampuan kerja, sedangkan wanita diterima seraya mengutik-utik daya tarik seksualnya, dan bukan kebolehan kerjanya. "Nah, ini penyebab tim bulnya sekuhara di Jepang," kata Kanegae-san. Belum usai aneka cerita sekitar sekuhara, eh, belakangan ini kaum wanita Jepang dilanda demam komik porno juga. Dalam laporan Lembaga Penerbitan Sains di Tokyo, kini tercatat 45 jenis majalah khusus untuk wanita -disebut lady's comic. Ditambah komik yang tak rutin terbit, seluruhnya mencapai 100 jenis, dan semua berbau pornografi. Oplahnya mencapai 127 juta eksemplar setahun, atau senilai 40 milyar yen per tahun. Ini berarti tiap orang Jepang membeli satu komik porno itu tiap tahun. Tapi, karena pasarnya khusus wanita, artinya adalah tiap wanita Jepang melahap dua komik porno per tahun. Komik itu laris bak kacang goreng karena penyajiannya dalam bentuk gambar kartun yang sangat detail, dan dilukis oleh wanita. Misalnya, Yayoi Watanabe, kartunis yang tersohor dengan gambar-gambar hangat yang radikal. Publiknya, ya cewek remaja, ya ibu rumah tangga. Komik yang membuat pembacanya ngos-ngosan ini sangat mudah dibeli dan murah pula. Terbit sebulan sekali setebal 360 halaman, harganya 280 yen per buku. Dikemas dengan sampul bergaya fashion, sepintas kesannya jauh dari urusan mesum. "Gambarnya memang cabul, tapi ya romantis juga," komentar Megumi Nakamori, 21 tahun. Menurut mahasiswi sebuah akademi musik di Tokyo ini, komik itu enak dibaca dan perlu. Aneh kelakuan wanita Jepang, memang. Di satu pihak ribut urusan sekuhara, tapi dalam waktu bersamaan keranjingan jenis hura-hura ini. "Mereka membacanya sekadar hiburan, kok," ujar Naohisa Majime, 43 tahun, pemimpin redaksi You, yang ratunya lady's comic. Lebih aneh lagi, yang lebih risau ihwal nasib kaum wanita ini justru pria, yakni Prof. Kanegae. "Kaum pria harus menilai karyawan wanitanya sebagai buruh," ujarnya, dan wanti-wanti agar jangan memindahkan kebiasaan di rumah ke kantor. Yaitu, jika di rumah pria boleh saja menuntut pelayanan seksual dari istrinya, di kantor jangan lagi memperlakukan wanita sebagai target seks. Sebab, kantor adalah periuk nasi. Jadi, seperti diingatkan sebuah nasihat tua: "Jangan buang hajat di periuk nasi sendiri." Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus