Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
Celetukan dalam logat arèk di antara anak-anak muda pemilik kedai itu memperjelas bahwa mereka berasal dari Jawa Timur. Akan halnya pramusaji dan pembakar ikan, dilihat dari profil fisiknya, menampakkan ciri penduduk lokal yang berbeda asal. Mereka sebagian kecil dari wujud etnisitas yang heterogen di Pulau Timor—dua orang mengaku asli Kupang, seorang dari Belu, dan seorang dari Rote. Masing-masing memiliki bahasa ibu sendiri.
Maka bukan hal aneh jika di kedai itu—seperti kelaziman di tempat umum—bahasa Indonesia berlaku sebagai talimarga bersama, sementara bahasa-bahasa ibu praktis “terlipat”. Namun bahasa yang diniatkan untuk mengatasi kemungkinan “salah sambung” di kedai itu ternyata beragam pula. Pemilik kedai condong berbahasa Indonesia standar, kadang-kadang terselip Jawa Timuran, sementara para awak mencampurnya dengan dialek setempat. Misalnya, pemakaian kata ganti orang pertama kerap berselang-seling antara saya, aku, dan béta; kata ganti pertama jamak kita, kétong atau katong; dan kata ganti kedua lu, serupa dengan Betawi. Untuk mengatakan tidak, sang majikan bilang ndak, tapi kata pramusaji sondé.
Awak kedai itu memakai bahasa Melayu Kupang untuk berkomunikasi dengan pemilik kedai ataupun teman kerja, juga dengan pengunjung. Bahasa Melayu Kupang merupakan varian Melayu Pasar yang umum dikenal di kawasan Indonesia timur. Cukup jelas, bahasa itu dihajatkan untuk mengatasi diversitas linguistik di Bumi Cendana. Diperkirakan lebih dari 50 bahasa etnik hidup di alam Nusa Tenggara Timur dengan status berbeda-beda. Begitu beraneka warna bahasa-bahasa itu sehingga tidak selalu bisa dimengerti oleh satu dan lainnya.
Sebenarnya Melayu Kupang tak jauh menyimpang dari bahasa Indonesia standar. Bedanya, terdapat bentuk penggalan beberapa kosakata Indonesia baku. Misalnya sudah jadi su saja, pergi cukup dikatakan pi, dan punya jadi pu atau pun. Melayu Kupang juga terbiasa meringkas beberapa bentuk kata ganti persona, seperti katong, yang diperas dari kita orang; batong, yang merupakan akronim béta orang; dan dong dari dia orang. Perbedaan lain Melayu Kupang dan bahasa Indonesia ada dalam pengimbuhan, seperti ber- jadi ba- (misalnya bertelur jadi batalor); me- jadi ma- (mamasak); dan ter- jadi ta- (tabalik).
Joseph Errington, profesor antropologi Yale University, Amerika Serikat, menyebut bahasa Melayu Kupang sebagai koiné yang baru berkembang di kawasan NTT, khususnya di daerah Timor (lihat esainya dalam In Search of Middle Indonesia, editor Gerry van Klinken dan Ward Berenschot, 2014). Koiné adalah bahasa lisan campuran yang terbentuk dari proses dialect leveling atawa “penyetaraan dialek” yang beraneka ragam secara terus-menerus sehingga tercipta varian tunggal yang tipikal tampak sebagai simplifikasi. Di Eropa, akar-akar koiné telah muncul sejak zaman Yunani Kuno dan disuburkan oleh peradaban Hellenistik sekian abad lampau (J. Siegel, Koinés and Koinéization, 1985).
Masuk akal jika koiné Melayu Kupang merupakan turunan Melayu Pasar, yang menjadi bahasa dagang kelompok heteroglot (Cina, Bugis, Jawa, Melayu, dan lain-lain) di Indonesia timur sejak abad ke-17. Kegiatan missie Katolik Belanda dua abad kemudian juga menyumbang dalam penyebaran Melayu Pasar melalui pencetakan Injil dan kamus bahasa Melayu. Komunitas Misi Rotterdam di Negeri Belanda tercatat sebagai pengirim pertama mesin cetak ke Kupang (Eduard Kimman, Indonesian Pub-lishing, 1981). Beberapa materi katekismus juga ditulis dalam Melayu Pasar, misalnya Djalan Salip (1857), Tjerita Soerat Perdjandjian Baroe (1861), dan Pengadjaran Pendek Jesus Elmeseh (1865).
Penutur Melayu Kupang diperkirakan setengah juta orang—jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan pengguna bahasa Indonesia resmi yang total mencapai 131 juta (dari 157 juta penduduk Indonesia) pada 1990. Keberadaannya seakan-akan menjadi “sempalan” kecil dari kebulatan bangunan besar bahasa nasional. Namun Melayu Kupang pun bisa lentur bersambung dengan ragam resmi bahasa Indonesia, seperti tampak dalam ekspresi penolakan warga desa di NTT terhadap politik pembangunan Orde Baru masa lalu, “. . . kita disuruh kerja untuk proyek tetapi tidak dibayar koo. Béta sondé mau” (lihat dalam Kemiskinan dan Pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur, suntingan Sayogyo, 1994).
Melayu Kupang adalah bahasa kontak pergaulan yang santai—bahkan juga berlaku di kantor-kantor pemerintah daerah. Di sudut-sudut kota dan kampung di Kupang, anak-anak muda biasa ngobrol dalam bahasa itu sembari ngopi atau nyopi hingga larut malam. Generasi menengah urban, atau mereka yang belum lama lepas dari pedalaman kering di Tanah Timor, menjadi bagian utama penutur koiné baru itu.
*PENGAJAR FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo