Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilihat manfaat ekonominya saja atau diposisikan sebagai perusak lingkungan dan sosial belaka.
Dalam banyak kasus yang saya temukan, keduanya bisa benar tapi bisa juga salah karena sawit tidak bisa digeneralisasi di semua wilayah. Sebab, akar masalah sebenarnya adalah tata kelola perizinan yang buruk (bad governance) yang tak pernah dibahas dan diselesaikan secara serius.
Kolom ini mencoba mengupas lima hal akar masalah tersebut, yang bisa menjadi agenda pemerintah selama pelaksanaan moratorium izin perkebunan kelapa sawit melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018.
Pertama, perbedaan luas perkebunan kelapa sawit menggambarkan rendahnya fungsi izin sebagai instrumen pengendalian serta resolusi persoalan tumpang-tindih area izin di lapangan. Secara nasional, sampai akhir 2017, dalam Statistik Perkebunan Kelapa Sawit 2015-2017 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perkebunan, izin kebun sawit tercatat seluas 12,3 juta hektare. Sedangkan menurut Auriga Nusantara luasnya 16,8 juta hektare.
Direktorat Perkebunan mendasarkannya pada daftar isian. Artinya mereka lebih merujuk pada dokumen administrasi. Sedangkan Auriga menggunakan citra SPOT 6 dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan verifikasi lapangan memakai drone. Sejauh ini belum ada penjelasan mengenai selisih luas kebun sawit sekitar 4,5 juta hektare tersebut dan apa implikasinya terhadap potensi kehilangan pendapatan negara bukan pajak ataupun pajak.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2016 juga menjelaskan adanya kebun sawit seluas 2,5 juta hektare yang berada di kawasan hutan. Dua tahun kemudian, penelitian Auriga menyebutkan data 3,4 juta hektare. Data keduanya tak ada dalam statistik Direktorat Perkebunan, sehingga menghapus masalah kebun sawit yang seharusnya ditangani pemerintah. Hal-hal demikian menimbulkan spekulasi dan menyulut reaksi pro-kontra seperti disebutkan di awal.
Kedua, ketertutupan informasi perizinan. Pada 2016, Forest Watch Indonesia (FWI) memakai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menggugat Kementerian Agraria dan Tata Ruang agar membuka informasi perizinan. Komisi Informasi Pusat memenangkan gugatan FWI. Namun Kementerian Agraria berkeberatan dan mengajukannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. PTUN justru menguatkan putusan KIP.
Tak puas dengan putusan tersebut, Kementerian Agraria mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Tapi MA pun menolaknya. Meski putusan sudah berkekuatan hukum tetap, Kementerian Agraria belum bersedia membuka dokumen hak guna usaha (HGU) sampai akhirnya FWI mengadukannya kepada Ombudsman. Hingga kini belum jelas bagaimana putus-annya. Alotnya sengketa hukum ini menimbulkan pertanyaan, sebenarnya siapa yang sedang dilindungi hingga begitu alot proses membuka informasi HGU?
Ketiga, temuan saya dalam perbaikan sistem perizinan, baik dalam penelitian mandiri maupun bersama-sama dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang dikoordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi, menunjukkan adanya dualisme dalam penggunaan unit kerja atau lembaga perizinan fasilitas negara. Terdapat struktur birokrasi pengawas perizinan yang menimbulkan “kesetiaan” pemberi-penerima-pengawas izin, yang kemudian menjadi kebiasaan dan melekat secara institusional. Misalnya fasilitas kerja yang minimal dan rendahnya gaji membuat para pengawas perizinan itu seperti dijebak melakukan kesalahan, terutama dijebak dengan gaji bulanan oleh pihak-pihak yang diawasi.
Problem sawit sama dengan masalah utama pemanfaatan sumber daya alam lain, yaitu ketertutupan informasi yang menghadirkan kecurigaan serta bentuk-bentuk perizinan koruptif, yang berakhir pada pemusatan kekayaan alam di kelompok-kelompok tertentu. Padahal, di era keterbukaan informasi, hampir mustahil menutupi keburukan atau kebaikan yang telah menjadi fakta.
Dengan wujud jaringan pseudo-legal pemberi-penerima-pengawas izin itu, kecil kemungkinan mereka melaporkan kesalahan penerima izin karena sifat kesetiaan memunculkan sikap saling merahasiakan informasi. Kajian saya mengenai biaya transaksi perizinan di Kalimantan Tengah dan Riau pada 2014, 2016, serta 2017 menunjukkan kenyataan itu. Mereka harus setia tidak hanya kepada pihak yang diawasi, tapi juga kepada perintah atasan, walaupun keliru.
Dengan kenyataan seperti itu, di lapangan, orang-orang yang sedang mempertahankan kejujuran adalah orang-orang yang sedang mempertaruhkan posisinya tanpa perlindungan. Mereka punya jarak cukup jauh dengan regulasi formal (rule in form) dan, sebaliknya, sudah terikat oleh “regulasi” yang mendorongnya menjadi praktik (rule in use). Di situlah jargon pembangunan kebun sawit berkelanjutan dipertaruhkan, karena penyelesaian masalahnya sejauh ini terbatas hanya dengan regulasi formal.
Karena itulah tak pernah terungkap secara terbuka praktik-praktik di dalam institusi pseudo-legal tersebut. Jaringan seperti itu bisa dengan sengaja dipelihara oleh kekuasaan tertentu dan secara de facto melebihi kekuasaan legal negara. Di area Taman Nasional Tesso Nilo di Riau, misalnya, terdapat kebun sawit di sekitar 152 lokasi dan beberapa di antaranya dikuasai institusi pseudo-legal. Awal tahun lalu, di Pekanbaru, beberapa polisi yang mengikuti evaluasi pelaksanaan revitalisasi taman nasional itu menyatakan tidak mungkin bisa menegakkan hukum tanpa ada operasi gabungan dari pusat karena kuatnya jaringan organisasi pseudo-legal di dalamnya.
Kenyataan seperti itu mengkonfirmasi bahwa, di balik sikap pro-kontra mengenai kebun sawit, ada korupsi dengan jaringan transaksional yang berjalan secara sistematis dan melibatkan kepercayaan, pengkhianatan, penipuan, subordinasi untuk kepentingan tertentu, kerahasiaan, serta keterlibatan beberapa pihak, juga saling menguntungkan.
Transaksi itu bahkan terjadi pula dalam soal izin-izin yang sudah dikeluarkan. Di Papua dan Papua Barat pernah ada perusahaan yang menjual izin pelepasan kawasan hutan untuk kebun sawit yang mereka peroleh kepada pihak lain. Perusahaan-perusahaan itu diduga hanya memanfaatkan kayu tanpa membangun kebun sebagai dasar permohonan izin yang mereka dapatkan.
Keempat, praktik pseudo-legal tersebut secara umum dikuatkan oleh hasil survei penilaian integritas (SPI) yang dilakukan KPK pada 2018. Indikator SPI adalah budaya organisasi, sistem antikorupsi, serta pengelolaan sumber daya manusia dan anggaran daerah. Survei dilakukan terhadap 6 kementerian, 15 pemerintah provinsi, dan 15 pemerintah kota. Hasilnya menunjukkan di 15 lembaga seluruhnya terdapat perantara dalam pelayanan publik dan 17 persen pegawai di lingkungan itu melihat kerja perantara tersebut. Sepuluh pemerintah daerah penerima gratifikasi/suap tertinggi dengan frekuensi makin meningkat ada di Provinsi Sumatera Utara dan Papua. Adapun pemerasan pengguna layanan dengan frekuensi makin meningkat terjadi di Provinsi Riau, Papua, Banten, dan Aceh.
Dalam penilaian integritas itu juga terungkap pengalaman pegawai yang terkait dengan kecenderungan penyalahgunaan wewenang oleh atasan mereka, yaitu di Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Papua Barat. Ada anggapan di kalangan pegawai pemerintah provinsi bahwa pelapor kejadian korupsi tidak terjamin dikucilkan, tidak akan diberi sanksi, serta kariernya di-hambat.
Hasil SPI bisa dilihat dari temuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau yang dipaparkan dalam kegiatan GNPSDA KPK di Pekanbaru pada 2016. Ada 1,8 juta hektare kebun sawit ilegal, baik yang tidak memiliki izin, tidak lengkap izinnya, maupun kebun sawit di luar HGU oleh pemilik HGU. Problem--problem ini tak pernah diselesaikan secara sungguh-sungguh.
Kelima, Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan menunjukkan upaya politik menetapkan fasilitas dan insentif yang memungkinkan penanam modal kebun kelapa sawit bisa mengalihkan beban risiko usahanya menjadi beban sektor publik. Rancangan itu juga tidak berpihak pada kepentingan sawit rakyat dan masyarakat adat. Hal itu menunjukkan indikasi kuat adanya korupsi politik.
Problem sawit sama dengan masalah utama pemanfaatan sumber daya alam lain, yaitu ketertutupan informasi yang menghadirkan kecurigaan serta bentuk-bentuk perizinan koruptif, yang berakhir pada pemusatan kekayaan alam di kelompok-kelompok tertentu. Padahal, di era keterbukaan informasi, hampir mustahil menutupi keburukan atau kebaikan yang telah menjadi fakta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo