Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bak Menyimpulkan bahwa demokrat kritis telah lahir.
Bak misteri yang menarik untuk dikuak, perilaku memilih senantiasa mengusik rasa ingin tahu banyak kalangan. Bagi para politikus atau konsultan politik, itu dapat menjadi basis untuk merumuskan strategi memenangi pemilihan. Industri survei menambangnya sebagai data yang bisa dijual. Adapun ilmuwan politik menjadikannya bahan telaah untuk menilik partisipasi politik dan perubahan rezim atau meramal nasib demokrasi perwakilan.
Buku yang ditulis tiga ilmuwan politik, yakni Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, ini merupakan ikhtiar membabarkan perilaku memilih serta pertautannya dengan masa depan demokrasi Indonesia. Basis penulisan buku ini adalah enam survei nasional pemilihan anggota legislatif serta presiden selama 15 tahun (1999-2014) atau empat kali pemilihan umum.
Buku ini menimbang konsep Pippa Norris (2009, 2011) tentang demokrat kritis dan menguji prognosisnya ihwal defisit demokrasi. Sejumlah pertanyaan yang menjadi titik tolak buku ini adalah mengapa tingkat partisipasi pemilih cenderung menurun, mengapa pilihan terhadap partai tidak ajek, dan mengapa keterikatan pada partai cenderung longgar dalam pemilihan presiden.
Berangkat dari temuan survei, trio penulis berargumen: telah lahir demokrat kritis di Indonesia. Sang demokrat kritis berkomitmen tinggi pada demokrasi, tapi amat kritis terhadap pengejawantahannya (halaman 24). Tak aneh jika mereka menuntut kualitas demokrasi dan kinerja pemerintah yang lebih baik. Jika harapan itu tak terpenuhi, demokrasi bakal melemah karena merosotnya dukungan publik.
Tentu kita bisa mengajukan pertanyaan kritis: apakah kekecewaan terhadap kinerja demokrasi selalu berujung pada lahirnya demokrat kritis? Atau justru melahirkan pemilih yang merindukan rezim populis tapi otoritarian yang ditandai oleh pemimpin yang kuat serta kerap mengabaikan hukum?
Berbeda dengan anggapan jamak, temuan buku ini mengindikasikan faktor agama, etnisitas, dan kelas sosial kurang berpengaruh pada perilaku memilih. Yang lebih berpengaruh adalah faktor ekonomi-politik: evaluasi pemilih terhadap kinerja pemerintah dalam menangani masalah ekonomi. Evaluasi positif menguntungkan partai atau presiden yang berkuasa; evaluasi negatif memberi partai oposisi angin segar.
Ihwal defisit demokrasi yang ditandai ketidakacuhan pada politik dan tergerusnya partisipasi politik serta ancaman legitimasi rezim, para penulis buru-buru memberikan catatan. Indonesia terbilang muda dalam mempraktikkan demokrasi. Maka survei buku ini hanya sebatas menunjukkan tren, belum bisa diekstrapolasi untuk membuktikan ada atau tidaknya defisit demokrasi.
Trio penulis tak menampik pandangan bahwa kondisi demokrasi Indonesia bisa menerbitkan kecemasan. Misalnya kecenderungan turunnya partisipasi pemilih, terutama di kalangan muda perkotaan, terdidik, serta warga yang banyak terpapar media. Begitu pula kecenderungan turunnya identifikasi terhadap partai tertentu dan sistem kepartaian yang masih goyah. Hal ini bisa mempengaruhi jatuh-bangunnya pemimpin serta bakal mendisrupsi proses penentuan kebijakan publik.
Kondisi itu tak menyurutkan optimisme ketiga penulis terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Alasannya, selain masyarakat sipil yang aktif terlibat dalam penentuan kebijakan publik dan perang melawan korupsi, pemilu telah melahirkan kepemimpinan nasional yang menyumbang bagi konsolidasi dan transisi demokrasi. Bagi trio penulis, pemilih Indonesia telah memperagakan “tingkat rasionalitas yang tinggi, terbuka, dan berpikiran kritis”.
Pemilih rasional dan berpikiran kritis itu justru problematik dalam buku ini. Jika menyimak pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, agaknya argumen pemilih rasional mesti ditimbang ulang. Kendati tingkat kepuasan publik pada kinerja inkumben menurut survei terbilang tinggi (73,5 persen), toh Basuki Tjahaja Purnama bisa ditumbangkan lewat mobilisasi sentimen etnis dan agama oleh penantangnya. Identitas minoritas ganda sang inkumben rupanya ikut menentukan perilaku pemilih.
Buku ini luput memberikan perhatian pada sisi lain perilaku memilih, misalnya praktik pembelian suara. Disertasi Burhanuddin Muhtadi (2018) mengungkap praktik itu jamak dilakukan oleh calon anggota legislatif karena kompetisi sengit antarkandidat dalam partai yang sama dan tipisnya selisih kemenangan. Bagi Muhtadi, pembelian suara dilakukan demi meraih loyalitas personal pemilih pada calon legislator ketimbang pada partainya.
Meruyaknya Internet dan media sosial yang turut membentuk perilaku memilih tak cukup diulas buku ini. Kita tahu, selain menjadi sumber informasi politik bagi pemilih, Internet dan media sosial menjadi sumber hoaks dan penyebaran kampanye hitam yang mewarnai pemilihan presiden 2014 serta pemilihan Gubernur DKI 2017. Apa boleh buat, pemilu serentak tahun depan bakal menjadi batu ujian apakah kesimpulan buku ini masih berlaku atau mesti ditimbang ulang.
BUDI IRAWANTO, PENELITI TAMU PADA ISEAS-YUSOF ISHAK INSTITUTE SINGAPURA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo