Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROFESOR Budiono, Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014, didaulat untuk memberikan pidato pembukaan pada konferensi tahunan Indonesia Update akhir tahun lalu yang mengangkat tema dimensi ekonomi dari pandemi Covid-19. Pada konferensi tersebut, Budiono menganalogikan krisis 1997/1998 sebagai “badai yang sempurna” (the perfect storm). Istilah “badai yang sempurna” umumnya diberikan untuk sebuah fenomena yang merupakan kombinasi dari berbagai peristiwa yang secara simultan terjadi dan berkontribusi menghasilkan sesuatu yang buruk. Dalam konteks krisis 1997/1998, “badai” itu adalah rangkaian peristiwa yang berawal dari krisis finansial, diikuti oleh krisis ekonomi yang bereskalasi menjadi krisis sosial-politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Krisis 2020 yang dipicu oleh pandemi Covid-19 memang tidak separah krisis 1997/1998 dari segi jatuhnya pertumbuhan ekonomi atau membengkaknya angka kemiskinan. Tapi tak berlebihan jika Profesor Hal Hill, dalam buku bertajuk Economic Dimensions of Covid-19 in Indonesia (buku yang belakangan dipublikasikan oleh penyelenggara konferensi tersebut), tak ragu menyebut krisis pandemi Covid-19 sebagai salah satu krisis terburuk yang dialami Indonesia sepanjang 75 tahun kemerdekaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontraksi produk domestik bruto (PDB) kita sebesar 2,07 persen pada 2020 tentu tak seberapa dibanding kontraksi 13 persen pada krisis 1997/1998. Tapi ini adalah pertama kali kita mengalami resesi setelah lebih dari dua dekade. Pertumbuhan ekonomi negatif tersebut bukan hanya berpotensi membuat orang yang sudah bekerja menjadi menganggur, tapi juga mengurangi kesempatan para pekerja baru masuk ke pasar kerja. Setiap tahun angkatan kerja kita bertambah 1,7 persen (2010-2020), dan ini tidak terinterupsi oleh pandemi Covid-19. Jika tidak diikuti dengan pemulihan ekonomi secara penuh dan segera, ini akan menghasilkan konsekuensi sosial-ekonomi serius.
Dalam ingatan kita, pada awal masa pandemi, berbagai analisis memperkirakan dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi kita tidak akan begitu parah. Berpegang pada sejarah bahwa krisis ekonomi yang dipicu oleh bencana alam biasanya cepat pulih, banyak yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan negatif pada 2020. Sepanjang 2020, proyeksi-proyeksi tersebut terus direvisi dengan angka yang makin lama makin buruk. Mengena sepertinya candaan Mochamad Chatib Basri yang mengatakan bahwa ekonom yang melakukan proyeksi ekonomi di tengah pandemi Covid-19 sepertinya ekonom yang sedang “bercanda”. Pandemi Covid-19 memang penuh dengan ketidakpastian. A crisis like no others.
Berbagai analisis sampai akhir 2020, seperti juga yang ditulis dalam buku Economic Dimensions of Covid-19 in Indonesia, mengandalkan data yang terbatas. Data-data sosial ekonomi yang surveinya oleh Badan Pusat Statistik dilakukan pada akhir 2020 baru tersedia atau hasilnya akan dipublikasikan pada awal 2021.
Data-data tersebut di antaranya mengungkapkan hal-hal berikut ini. Persentase penduduk miskin pada September 2020 tercatat sebesar 10,2 persen, meningkat hampir 1 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Ini setara dengan 2017, tiga tahun sebelumnya. Artinya tambahan bantuan sosial sebesar lebih dari 150 triliun rupiah, yang tentunya membantu meredam dampak kemiskinan yang lebih parah, tidak cukup untuk mencegah bertambahnya angka kemiskinan.
Tingkat ketimpangan juga meningkat pada 2020, terutama di perkotaan. Walaupun sekilas tidak begitu besar, saat koefisien Gini nasional meningkat dari 0,380 menjadi 0,385, ini membalikkan tren perbaikan selama beberapa tahun terakhir dan mengembalikan tingkat ketimpangan ke 2018.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak krisis terhadap kualitas modal manusia (human capital). Tingkat malnutrisi, misalnya, tercatat meningkat dari 7,7 persen pada 2019 menjadi 8,6 persen pada 2020. Ini ekuivalen dengan tingkat malnutrisi pada 2016-2017. Sebuah kemunduran hampir empat tahun.
Sisi ketenagakerjaan juga perlu perhatian. Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2020 memang hanya meningkat 1,8 persen poin dibanding pada Agustus 2019. Tapi ini hanya fenomena gunung es. Di Indonesia, penganggur tidak lantas diproteksi negara. Karena itu, menganggur adalah pilihan terakhir. Yang justru berkurang drastis adalah pekerjaan berkualitas. Angka pekerja setengah menganggur bertambah hampir 4 persen dan pekerja informal bertambah 4,6 persen. Selain itu, survei BPS yang sama melaporkan setidaknya 29 juta pekerja di Indonesia terkena dampak pandemi Covid-19.
Fenomena lain yang tampak dari hasil survei ketenagakerjaan ini adalah begitu berbedanya dampak pandemi Covid-19 terhadap pekerja formal dan informal. Pekerja formal mengalami penurunan jam kerja lebih banyak daripada pekerja informal. Ini memang menunjukkan bahwa mengurangi jam kerja adalah sebuah pilihan sulit untuk para pekerja informal. Tapi, walaupun jam kerja berkurang lebih sedikit, pekerja informal mengalami pengurangan penghasilan yang jauh lebih besar. Sebagai dampak, kelompok pekerja dengan penghasilan 20 persen terbawah mengalami penurunan penghasilan dua kali lipat lebih banyak daripada pekerja lain. Ini mengkonfirmasi data yang menunjukkan ketimpangan bertambah sebagai dampak pandemi Covid-19.
Berbagai fakta tersebut tampaknya memperkuat dugaan bahwa pandemi Covid-19 datang pada saat yang tidak tepat. Kondisi struktural ekonomi Indonesia ada pada situasi sangat rentan diterjang krisis seperti pandemi Covid-19.
Pertama, sebagai dampak pesatnya laju urbanisasi selama beberapa dekade terakhir, lebih dari setengah penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, ground zero dari Covid-19. Dampak Covid-19 tentu akan sangat berbeda kalau itu terjadi pada 1990-an ketika tingkat urbanisasi belum setinggi ini.
Kedua, selama dua dekade terakhir, industrialisasi kita terhenti, yang terjadi adalah tersiarisasi semu. Tenaga kerja beralih dari sektor pertanian ke sektor jasa dengan tingkat produktivitas rendah dan informalitas yang tinggi, terutama di perkotaan. Pembatasan mobilitas di perkotaan menghantam keras pekerja sektor tersier informal. Mereka yang berpenghasilan harian terkena dampak paling parah.
Ketiga, walau tingkat kemiskinan kita sudah di bawah dua digit, kerentanan kita sangat tinggi. Bank Dunia pernah mendefinisikan penduduk yang secara ekonomi secure sebagai mereka yang hidup di atas US$ 5,5 (purchasing power parity) per orang per hari. Pada 2019, 53 persen penduduk Indonesia masih di bawah itu.
Keempat, walaupun selama lebih dari sepuluh tahun terakhir sudah banyak kemajuan dari sistem perlindungan sosial, data penerima bantuan sosial kita belum termutakhirkan dengan baik ketika krisis pandemi Covid-19 datang. Bantuan sosial dengan menggunakan data ini mempunyai peluang 50 persen bocor ke mereka yang tidak berhak, sehingga mengurangi efektivitas penanganan Covid-19. Berbagai kerentanan struktural ini tampaknya cukup untuk menganalogikan lagi krisis pandemi Covid-19 ini sebagai sebuah “badai yang sempurna” untuk Indonesia.
Data terbaru menunjukkan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2021 masih mengalami kontraksi sebesar 0,74 persen. Walau belum masuk ke zona positif, dalam artian ekonomi kita masih resesi, tampaknya ada harapan bahwa fase terburuk dari krisis sudah terlampaui. Kondisi ketenagakerjaan juga sudah mengalami sedikit perbaikan. Tingkat pengangguran terbuka dan proporsi pekerja informal ataupun setengah penganggur mulai sedikit berkurang pada Februari 2021 dibanding pada Agustus 2020. Hal ini tentunya seiring pula dengan kondisi pandemi Covid-19, seperti penambahan kasus harian, yang walau perlahan menunjukkan pengurangan.
Tanda-tanda positif ini tentunya sedikit-banyak adalah buah dari respons kebijakan selama krisis Covid-19. Memang kebijakan kesehatan relatif kurang sigap dan penuh keraguan di awal-awal pandemi, tapi ini diimbangi kebijakan ekonomi makro yang responsif. Peran Bank Indonesia dalam defisit financing, walaupun tidak umum, patut diapresiasi. Demikian pula dengan kebijakan fiskal, terutama berbagai upaya serius menutupi berbagai kelemahan sistem bantuan sosial yang ada.
Tentunya krisis belum berakhir. Tantangan berat kita dalam pemulihan ekonomi bukan hanya membuat pertumbuhan ekonomi kita kembali ke track prakrisis, tapi juga memastikan mereka yang terkena dampak lebih parah setidaknya dapat kembali ke posisi semula atau lebih baik. Kita tidak mengharapkan pemulihan berbentuk huruf K (K-shaped recovery), ketika mereka yang terkena dampak lebih parah justru lebih pelan pulihnya sehingga membuat ekonomi pasca-Covid-19 menjadi lebih timpang. Untuk ini, dalam mengarungi “badai yang sempurna” ini, kita tidak hanya memerlukan “nakhoda” yang cekatan, tapi juga yang mempunyai keberpihakan. (*)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo