Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK kata memiliki lebih dari satu arti. Dalam perjalanannya, salah satu arti kata tertentu menjadi lebih banyak digunakan secara luas oleh berbagai kalangan. Bahkan salah satu arti membuat kata itu demikian memungkinkan berkesan identik dengan antonimnya. Salah satu kata yang sudah setahun lebih mengalami hal itu, di masa pandemi Covid-19, adalah positif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, positif berarti: 1 pasti; tegas; tentu, 2 bersifat nyata dan membangun, 3 yakin, 4 menunjukkan adanya penyakit, kondisi tertentu, dsb (tt hasil pemeriksaan, 5 lebih besar dp nol, 6 potret yang sudah jadi (bukan klise atau film), 7 bermuatan listrik lebih tinggi dp yang lain (tt kutub), yang merupakan arus listrik, 8 tidak menyangkal (membantah, dsb), mengiakan (tt kalimat, ucapan, pernyataan, dsb), kalimat yang tidak mengandung kata sangkalan (spt tidak, bukan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari satu tahun terakhir, arti positif yang lebih banyak digunakan dan lebih populer adalah arti keempat, yakni “menunjukkan adanya penyakit, kondisi tertentu, dsb (tt hasil pemeriksaan)”. Hal ini terkait dengan pandemi Covid-19, yang resmi diumumkan pemerintah mulai masuk ke Indonesia pada 2 Maret 2020 menyusul dua warga Depok, Jawa Barat, yang terjangkit virus corona.
Sejak saat itu, positif dengan arti tersebut menyebar terus. Setiap hari lembaga pemerintah yang dibuat khusus untuk menangani pandemi Covid-19 menggunakannya dalam pengumuman resmi mengenai pandemi, yang disampaikan melalui televisi, radio, media cetak, situs web, Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya. Lembaga non-pemerintah pun banyak yang melakukan hal sama dengan sedikit cara berbeda. Orang-orang juga tak henti-henti mengisi media sosial dengan kata positif yang mengacu pada arti keempat.
Positif pun sekarang menjadi kata yang berkesan identik dengan kata negatif, yang dalam KBBI daring berarti: 1 tidak pasti; tidak tentu; tanpa pernyataan, 2 kurang baik; menyimpang dari ukuran umum, sedikitnya bagi yang terjangkit Covid-19 serta keluarganya dan orang-orang dekatnya. Padahal, berdasarkan wacana pemerintah dan wacana medis, setiap orang sekarang mendambakan “negatif”, yang berarti tidak terjangkit Covid-19 atau terbebas darinya.
Dari situ saja teranglah bahwa pandemi Covid-19, seperti pandemi-pandemi lain, mempengaruhi perjalanan bahasa. Namun bahasa pun, seperti telah diperlihatkan sejarah berbagai pandemi, mempengaruhi jalannya pandemi. Hal ini tidaklah mengherankan karena pandemi Covid-19, seperti pandemi-pandemi lain, terjadi tidak di luar bahasa. Penamaan penularan Covid-19 yang melintasi perbatasan negara-negara sebagai pandemi Covid-19 saja adalah praktik berbahasa.
Penamaan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) tersebut ditujukan agar semua negara sama-sama mengetahui berbagai segi mengenai Covid-19 dan peta sebarannya serta sama-sama berusaha mengatasinya. Usaha mengatasinya menuntut setiap negara memungkinkan setiap warganya memahami penyakit menular baru yang mematikan itu sekaligus memenuhi konsekuensinya, yakni memenuhi protokol kesehatan.
Proses demikian memperlihatkan betapa penting cerita yang faktual, menerangi, serta mudah dan enak dikunyah mengenai pandemi Covid-19. Tentu saja untuk itu diperlukan para ahli medis, epidemiolog, dan sejenisnya. Namun, untuk menyusun cerita faktual dan menerangi dengan—meminjam moto majalah Tempo—“enak dan perlu”, diperlukan para penekun seni bahasa. Dalam kesehariannya, mereka menekuni seluk-beluk kebahasaan dan berkeras mengaktualisasi berbagai potensi dengan imajinasi dan kreativitas masing-masing. Dan, di negara ini, mereka ini tak hanya berlimpah, tapi juga tersebar di setiap kabupaten/kota. Kecuali itu, kebanyakan dari mereka adalah penggiat komunitas budaya di daerah masing-masing.
Jika sedari mula mereka dilibatkan dalam penanganan pandemi Covid-19, sangat mungkin kita tak akan sampai kebanjiran istilah miring seperti “harga Covid”, “Lebaran Covid”, “silaturahmi Covid”, “di-Covid-kan“, dan “krisis oksigen”. Namun, meskipun sudah setahun setengah lebih pandemi Covid-19 menjalar di negara ini, para penekun seni bahasa tampak masih belum diajak ambil bagian dalam menanganinya. Lazim jika sampai hari ini masih belum pula terbentuk persepsi kolektif mengenai pandemi Covid-19 dan berbagai konsekuensinya. Bahkan di ruang publik, mengenai pandemi tersebut, masih kerap kita saksikan debat kusir di antara aparat pemerintah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo