Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA mengenal Toeti Heraty di tahun 1960. Tak berarti waktu itu ia kenal saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mahasiswa tahun keempat Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, sedang saya hanya baru beberapa bulan sebelumnya diterima. Saya berkisar di halaman dalam fakultas yang sempit di seberang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu, sementara Toeti lebih sering di salah satu ruang di mana buku tebal ada di meja-meja. (Salah satunya, saya lihat, The Idiot, novel Dostoevsky.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu masa ketika satu suasana intelektual yang menarik hidup di fakultas itu, di mana Toeti, dalam usia 27, hadir.
Pendiri Fakultas Psikologi Prof Slamet Iman Santoso, rektor pertama dan peletak dasarnya. Guru besar psikiatri ini, seorang “penganut” Immanuel Kant, tampak berharap akan bisa membangun kader ilmuwan yang tak hanya ilmuwan. Psikologi berurusan dengan sesuatu yang pelik—kejiwaan manusia—yang tak bisa dijelaskan hanya dengan sains. Maka, dalam jurusan yang setahun sebelumnya masih merupakan bagian Fakultas Kedokteran itu, mahasiswa—sejak tahun pertama—harus belajar tak hanya histologi, fisiologi, dan statistika, tapi juga filsafat.
Jalan masuk ke sana ada beberapa lapis. Selain tes IQ dan serangkaian tes untuk melihat profil kepribadian, ada wawancara orang per orang. Yang pertama kali mewawancarai saya Fuad Hassan; salah satu pertanyaannya tentang Pierre Bezukhov, tokoh utama War and Peace Leo Tolstoy. Wawancara berikutnya dengan Prof Slamet in person. Dia minta pendapat saya tentang Kumbakarna, tokoh yang ambigu dalam epos Ramayana. Pengajar filsafat adalah Dr Driyarkara, yang kemudian, setelah almarhum, dikekalkan sebagai nama Sekolah Tinggi Filsafat yang terkemuka di Indonesia. Mata kuliah psikologi Gestalt tentu saja dikaitkan dengan fenomenologi; pengajarnya Dr Lie Pok Liem, yang sering menulis tentang filsafat Husserl itu bersama Wiratmo Sukito (cendekiawan perumus “Manifes Kebudayaan”), misalnya di jurnal kebudayaan Indonesia.
Dari suasana itu bisa dimengerti jika Toeti Heraty masuk ke kancah filsafat, dengan perhatian khusus tentang manusia sebagai subyek dan dunianya. Thesisnya berjudul “Aku dalam Budaya”. Ia didahului Fuad Hassan dengan “Kita dan Kami: an analysis of basic modes of togetherness”, dan disusul Arief Budiman yang menghubungkan Chairil Anwar dengan eksistensialisme. Dari kandungan Fakultas Psikologi UI juga lahir M.A.W. Brouwer, penulis Kepribadian dan Perkembangannya, yang bisa disebut sebuah telaah fenomenologis tentang manusia sebagai “misteri”.
Toeti kemudian tak berada di Fakultas Psikologi. Saya tak tahu apakah ini karena ditinggalkannya orientasi “Eropa” (fenomenologi dan lain-lain) dan diadopsinya orientasi “Amerika” (Behaviorisme, misalnya) dalam pendidikan psikologi. Pengetahuan saya terbatas tentang ini. Yang pasti, Toeti kemudian aktif melahirkan dan mengelola Fakultas Filsafat di UI, selama sembilan tahun sejak 1991.
Dan dia menulis puisi.
Saya yakin sajak-sajaknya akan lebih dikenang ketimbang karya filsafatnya yang hanya kadang-kadang lewat. Para mahasiswa dan pengajar filsafat di sekitarnya—yang umumnya cuma kenal sedikit sastra dan seni—mungkin tak menyadari pentingnya pengalaman estetik bagi pemikiran; tapi Toeti lain.
Di kediamannya di Jalan Cemara (bertaut dengan galeri) bisa ditemukan sebuah koleksi yang langka: karya para perupa terkemuka—Srihadi, Popo Iskandar, Salim. Dalam beberapa pertemuan seni, apa yang dikatakannya—meskipun tak selamanya gamblang—selalu menarik perhatian. Di tahun 2014 sejumlah wartawan Jerman bertamu ke Jalan Cemara. Mereka dapat surprise: Toeti, dalam usia di atas 80, memainkan sajak Heinrich Heine, “Die Lorelai”, pada piano. Suaranya membawakan lafal Jerman yang lembut: Ich weiß nicht, was soll es bedeuten/Daß ich so traurig bin....
Di akhir sajak itu Sungai Rhein menenggelamkan perahu dan isinya, dan puisi Heine mengabadikan kesedihan itu sebagaimana tiap sajak yang bagus mengekalkan saat yang sejenak. Mungkin sebab itu Toeti menulis puisi.
Tak gampang, jika seorang penyair tegar dalam dunia pemikiran. “Ada permusuhan yang purba antara puisi dan filsafat”, kita ingat kata Plato, di Yunani di zaman sebelum Masehi.
Plato mencita-citakan sebuah negeri yang rapi dengan mengusir para penyair. Baginya, puisi tak membawakan Kebenaran, hanya imitasi atas imitasi. Puisi hanya memperkenalkan kita dengan apa yang tak kekal, tak stabil, mungkin tak faktual: imaji senja di pelabuhan kecil dan bulan di atas kuburan. Maka yang harus berkuasa adalah filosof, yang dengan Logos membawa Tata.
Plato punya pengikut di zaman ini, ketika hidup serba direncanakan dan harus berguna. Puisi mengganggu karena ia pengembaraan kata, bunyi, metafor, suasana. Toeti, dalam salah satu sajaknya, menggambarkan proses yang tak selesai dan tak pasti itu:
mengembara
adalah menanggalkan nama, melepaskan bumi
benda-benda kemilau dipermainkan angin
dan sangsi
mana pula yang lebih nyata, berjalan merunduk karena angin kencang, atau gemerlapan lampu di Amsterdam.
Tapi justru dalam mengembara, puisi menemukan yang luput ditangkap filsafat atau sains: apa yang konkret, pengalaman sebagai proses yang tak bisa diingkari—sebagaimana kefanaan.
Para penyair menganggap ide platonis absurd dan memiskinkan. Filsafat penting, tapi apa jadinya hidup jika hanya filsafat atau sains yang mengisinya. Seperti kata Lara dalam Doktor Zhivago, karya besar penyair Boris Pasternak, hidup yang hanya diisi pemikiran filsafat akan terasa aneh, “ibarat makan hanya dengan lobak”.
Kita berterima kasih, Toeti Heraty tak taklid pada Plato. Ia tak membiarkan kita hidup hanya dengan “lobak”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo