Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Racikan Bahasa Kopi

Bahasa kopi terseduh bersama aneka perasaan manusia menghadapi realitas hidup: patah hati, merasa dicintai, kebingungan dikejar tenggat....

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setyaningsih*

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEDAI-KEDAI kopi futuristis di sekitar kita tidak hanya menawarkan jelajah rasa dan suasana, tapi juga jelajah bahasa. Sebagai ruang persinggahan di tengah situasi serba cepat, kedai-kedai kopi justru memilih penamaan yang bersifat melamban, kontemplatif, komunal, hangat, dan cukup sering puitis. Salah satunya adalah yang menyapa setiap kali kita menaiki tangga berjalan menuju lantai 4 salah satu mal di Solo, yakni Kopi Kenangan. Dengan penataan apik dan perangkat serba modern, Kopi Kenangan jelas menegasi nuansa bising dan kerakyatan dari kebanyakan warung kopi (jalanan).

Sekalipun kedai dan warung sama-sama mewadahi komunalitas, ada strata yang terbangun lebih eksklusif di kedai kopi modern. Adapun warung kopi jalanan menampung siapa saja untuk saling mengenal dan duduk bersama—tanpa simbolisasi kebersamaan.

Para pengunjung kedai kopi futuristis biasanya berasal dari latar pendidikan dan pekerjaan lebih mapan. Ada anak-anak kuliahan yang takzim di depan laptop sembari berselancar di dunia maya, kaum pegawai kantoran yang bertemu dengan kolega, para pekerja lepas tanpa kantor, anak-anak muda sefrekuensi yang sekadar mengobrol dan berswafoto, ada pula pasangan yang ingin terprovokasi kata magis nan melenakan sekaligus menguatkan: kenangan. Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Eko Endarmoko, 2016) mengartikan kenangan sebagai “bayangan, kesan, memori, nostalgia”. Mengenang tidak bisa dilakukan terburu-buru. Kenangan harus dinikmati dengan lamban selayaknya kopi dan es kopi yang tidak elok diseruput atau disedot lekas-lekas.

Pelbagai kedai pun tersebar di kota-kota Indonesia, yang tentu menapak jejak digital lewat akun Instagram: Kopi dan Cerita, Kopi Mantul (Mantap Betul), Kopi Manji (Mantap Jiwa), Kopi Janji Jiwa, Kopi Terang, Bicara Kopi, Kopi Lain Hati, Saestu Kopi, Kopi Kebersamaan, Kopi Susu Baper, dan lain-lain. Istilah “mantap” sering digunakan untuk mengekspresikan kepuasan bersantap seolah-olah itulah pernyataan paling puncak. Dalam Tesamoko, mantap juga berarti “kuat, kukuh, pagan, konsisten, percaya diri, tebal tegas, teguh, tetap hati”. W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1966) mengartikan mantap dengan “1. tabah; tetap hati; tetap setia; kukuh kuat; 2. tetap; setabil; kompak”.

Arti dalam kamus mengesankan mantap cenderung lekat dengan kekukuhan jiwa manusia. Istilah itu segera dialihkan ke rasa kopi yang menjanjikan “mantap” bagi lidah. Selayaknya manusia yang bisa setia, kompak, konsisten, dan teguh, kopi yang terseduh juga mendaku mantap. Bahkan bagi calon atau sepasang kekasih, misalnya, menyantap (bahasa) kopi sekaligus memantapkan hati masing-masing. Namun di sini juga tersembunyi kontradiksi atas godaan jagat pemasaran, ketika manusia bisa berkhianat dan ingkar janji, (rasa) kopi akan selalu kukuh dan tetap hati.

Strategi kebahasaan kopi tidak selalu berbanding lurus dengan situasi. Misalnya pada kedai kopi rintisan selebritas Raffi Ahmad, Kokali atau Kopi Kaki Lima, yang secara keruangan, cara pengolahan, dan pilihan menu sama sekali tidak ala kaki lima atau trotoar. Kokali memiliki bangunan minimalis, tatanan modern nan apik, dan pasti berpenyejuk udara. Pengunjung bisa memesan Es Keren (kopi campur durian), KoRANS (kopi susu gula aren racikan Raffi dan Nagita), atau Pablo Eskoba (kopi dengan boba). Meski strategi penamaan menggiring penikmat kopi untuk berpikir bahwa harga kopinya terjangkau atau setara dengan dagangan kaki lima, arti “terjangkau” tetap disesuaikan dengan kantong kelas urban menengah ke atas. Memang, Kokali memainkan persepsi publik untuk menghalau ketakutan atas harga sejak dalam pikiran.

Dirujuk dari penamaan yang hendak mengikat suasana hati penikmat atau calon penikmat kopi, diupayakan tercium racikan optimisme, nostalgia, kebersamaan, ataupun melankolia. Bahasa kopi terseduh bersama aneka perasaan manusia menghadapi realitas hidup: patah hati, merasa dicintai, kebingungan dikejar tenggat skripsi, penyegaran dari rutinitas kerja, atau kebersamaan yang hendak diimitasi secara memuaskan. Mereka yang melow pun terwakili oleh istilah “baper” atau “lain hati” dan mendapat ruang memulihkan diri sembari teringat pada sebait puisi “Ibu Kopi” dari Joko Pinurbo (2017), “Minumlah kopiku sebagai kenangan akan daku.”

Jika seorang terkasih tidak lagi mengerti, (bahasa) kopi dipersiapkan untuk lebih memahami realitas menyakitkan umat manusia. Sukses move on belum? Ngopi dulu yuk!

*) Esais, anggota tim penulis buku Semaian Iman, Sebaran Pengabdian (2018)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus