SEORANG musafir datang ke sebuah koloni hukuman. Seorang opsir menunjukkan dengan bangga sebuah mesin untuk menyiksa seorang terpidana: sebuah garu dengan gigi-gigi tajam. Garu itu akan mengguratkan, di jangat si terhukum, sebuah kalimat yang menyatakan apa kesalahannya .... Kafka menuliskan karyanya yang masyhur itu pada tahun 1914. Ternyata, novel pendek yang ganjil itu mengungkapkan apa yang terjadi pada hari ini. Gayanya bertutur seperti sebuah reportase yang tenang tentang kejadian sehari-hari: seakan-akan cara menghukum yang sekeji itu adalah sesuatu yang lazim dan mudah dimaklumi. Sang musafir pun memandang ke si terpidana, yang sebentar lagi akan dibaringkan telanjang untuk disiksa pelan-pelan sampai mati. ''Tahukah dia apa hukumannya?'' ''Tidak,'' jawab sang opsir. ''Tak ada perlunya ia diberi tahu. Ia akan mengetahuinya sendiri dari tubuhnya.'' Kemudian kita tahu bahwa si terpidana dianggap tak menghormati atasan. Ia diberi tugas untuk tidur di depan pintu seorang kapten. Tiap kali jam berdenting, ia harus berdiri dan menghormat. Tapi kemarin malam sang kapten mendapatkan si pelayan tertidur. Maka, diambilnya cambuk dan dipecutnya wajah si lalai. Orang itu terbangun dan memegangi kaki tuannya, berteriak, ''Buang cambuk itu atau kumakan kau hidup-hidup.'' Maka, ia diadukan. Langsung hukuman pun jatuh dan ia di- rantai. Kata sang opsir, ''Seandainya ia saya panggil menghadap dan saya interogasi lebih dulu, perkaranya akan jadi berbelit- belit membingungkan. Ia akan berbohong ....'' Memang sang opsirlah yang diangkat oleh komandannya menjadi hakim. ''Prinsip yang saya anut adalah ini: kesalahan sama sekali tidak boleh diragukan.'' Sang musafir tak banyak berkomentar. ''Ia bukan anggota koloni hukuman itu ataupun warga dari negara yang empunya tempat itu. Sekiranya ia akan mengecam cara eksekusi itu atau bahkan mencoba menghentikannya, mereka akan dapat mengatakan kepadanya: ''Kau seorang asing, urusilah urusanmu sendiri!''. Tiga perempat abad lebih setelah Kafka menulis itu, masalah sang musafir menjadi masalah yang nyata dan pelik. Terutama dalam elan ''pascamodernisme'', ketika orang mencoba menampik untuk memandang dunia sebagai suatu keseluruhan yang universal, ketika sentrum yang tunggal kian melenyap, ketika berbagai satuan budaya, agama, dan bangsa mengibarkan diri masing- masing, bangga bila berbeda dari yang lain. Paradoks hari ini: elan pembebasan itu, yang menginginkan 1.000 jenis bunga, datang bersamaan dengan semangat pembebasan di sisi lain pembebasan manusia sebagai individu-individu yang punya hak yang asasi, kapan dan di mana pun ia berada, dan siapa pun tak boleh mengalami nasib si terpidana ala Kafka. Si terhukum dalam cerita In der Strafkolonie itu juga bukan orang luar biasa ia bahkan tokoh yang tampak goblok dan akhirnya juga tak acuh terhadap tindakan kejam. Sebuah paradoks yang merisaukan. Mungkin kita telah mengacaukan ''universalisme'' dengan ''internasionalisme'', dan memandang keanekaragaman nilai sebagai perbedaan ciri nasional. Artinya: yang menjadi inti adalah nasion, bukan individu orang seorang yang justru secara universal merupakan calon korban kesewenang-wenangan. Edward Said berpidato untuk The Oxford Amnesty Lectures 1992 dan menunjukkan betapa tendensi nasionalistis itu terasa di mana-mana, juga di Amerika Serikat (yang sering berbicara tentang ''hak asasi yang universal''), dan juga di dunia non- Barat yang bangkit dengan ''nasionalisme yang reaktif''. Edward Said pun bertanya: bisakah kenyataan adanya nasionalitas, dan bukan individualitas, menyediakan kemungkinan agar individu atau kelompok bisa dilindungi dari nasionalitas itu? Bagaimana bila pemerintah nasional kita mengirim Anda ke koloni hukuman, karena Anda dianggap berada di luar konsensus nasionalis? Seorang manusia dan sebuah nasion: saya ingat apa yang dikatakan Dr. Mumtaz Ahmad dalam sebuah konferensi tentang hak asasi manusia dalam Islam di Selangor Darul Ehsan, tahun 1989. Ada kontradiksi sejak mula antara negara-kebangsaan modern dan penghormatan kepada hak-hak asasi dalam arti moral yang benar. Sebab, bagi Mumtaz Ahmad, hak itu datang dari Tuhan, sedangkan negara-kebangsaan baru lahir pada abad ke-17. Pada akhirnya, bagi seorang muslim, manusia memang hadir sebagai individu ketika menghadap Sang Hakim yang Terakhir. Si terpidana dan si opsir di koloni hukuman punya status sama. Bahkan dalam novel Kafka itu, sang opsirlah yang akhirnya binasa. Tak ada yang menolong: mesin kekejaman berbalik gagang. Setiap orang daif dan selalu menjadi calon korban, bukan? Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini