Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah komisi yang bisa mandiri

Indonesia membentuk komisi hak asasi. dipertanyakan kemandiriannya karena dibentuk oleh pemerintah. ali said ketua. lopa, sunny, dan mulya lubis akan menjadi anggota?

19 Juni 1993 | 00.00 WIB

Sebuah komisi yang bisa mandiri
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
INDONESIA memasuki babak baru dalam hal hak asasi manusia. Pekan lalu, menurut penjelasan Menteri Negara Sekretaris Negara Moerdiono, Presiden telah memutuskan membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pembentukan komisi itu, kata Moerdiono, merupakan langkah nyata keputusan 31 negara yang mengikuti Lokakarya Hak Asasi Manusia se-Asia Pasifik, di Jakarta, Januari lalu. Perutusan negara-negara Asia Pasifik tersebut merekomendasikan pembentukan komisi semacam itu di tingkat nasional dan regional. Indonesia merupakan negara kedua di ASEAN, setelah Filipina, dan keenam di Asia Pasifik, setelah Selandia Baru, Australia, India, dan Sri Lanka, yang membentuk komisi seperti itu. Ada empat tugas pokok komisi yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 50 ini. Di antaranya: memberikan rekomendasi kepada Pemerintah tentang kemungkinan meratifikasi instrumen hak asasi yang dikeluarkan PBB, memantau dan menyelidiki pelaksanaan hak asasi di Indonesia, menyebarluaskan wawasan mengenai hak asasi itu kepada masyarakt Indonesia dan dunia, serta mengadakan kerja sama internasional untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Tugas merekomendasi untuk ratifikasi konvensi hak asasi itu mungkin akan menjadi prioritas pembahasan di komisi nanti. Sebab, Indonesia boleh dibilang termasuk yang tak terburu-buru melakukannya, paling tidak jika dibandingkan dengan Filipina, yang telah meratifikasi dua konvensi penting: hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Memang, kalau suatu negara telah meratifikasi konvensi hak asasi itu, negara tersebut harus terbuka bagi PBB untuk diawasi pelaksanaannya. Todung Mulya Lubis, doktor ''hak asasi manusia'' dan penulis buku In Search of Human Rights, pernah mengungkapkan betapa repotnya negara bila telah meratifikasi konvensi PBB itu. ''Pemerintah wajib melaporkan pelaksanaan hak asasi itu tiap tahun, dan PBB berhak melakukan supervisi,'' katanya. Hingga kini, Indonesia memang baru meratifikasi tiga dari 22 konvensi hak asasi manusia yang diputuskan PBB. Tiga konvensi itu pun bukan tergolong yang punya dampak politik penting. Ketiganya adalah konvensi tentang hak politik wanita, hak anak- anak, dan penghapusan diskriminasi wanita. Indonesia belum meratifikasi konvensi tentang anti-penyiksaan dan kekejaman lainnya. Konvensi ini, menurut bekas Ketua Kelompok Hak Asasi Manusia DPR, Marzuki Darusman, merupakan salah satu kesepakatan yang paling mendesak untuk disahkan. Kata Marzuki, aparat keamanan sering tak punya kemampuan memadai dalam melakukan interogasi. Karena itu, tak jarang penegak hukum mengambil jalan pintas: menguras pengakuan tersangka dengan penyiksaan atau penekanan. Ini tentu termasuk melanggar hak asasi perorangan. Tugas lain, memantau dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, akan menjadi tugas yang pelik bagi komisi. Sebab, biasanya, pelanggaran hak asasi lebih banyak ditudingkan kepada mereka yang berdekatan dengan kekuasaan. Apalagi, bila ingin berfungsi penuh, kiranya komisi mesti melakukan penyelidikan menyeluruh atas praktek pelanggaran hak asasi, tanpa membeda-bedakan pelakunya. Menurut Marzuki, komisi harus mampu menjelaskan duduk perkara kasus yang ditangani. ''Apa yang terjadi di Aceh, Timor Timur, atau Irian Jaya harus sudah jelas duduk soalnya bagi komisi, sebelum dunia mempertanyakan,'' kata bekas anggota komisi hak asasi persatuan parlemen dunia ini. Belum lagi kasus-kasus kecil yang berhubungan dengan perampasan hak seseorang, seperti penggusuran dan penindasan buruh. Agar bisa bertugas optimal, menurut Todung Mulya Lubis, komisi harus memiliki kemampuan investigatif yang mandiri. Kemampuan komisi yang dibentuk dan didanai oleh Pemerintah ini, dikhawatirkan oleh sementara pengamat, justru akan menjadi lembaga yang ''mengabsahkan'' pelanggaran hak asasi. Pemerintah, tentunya, akan minta pertimbangan komisi mengenai bagaimana menangani suatu pelanggaran hak asasi. Namun, bila komisi itu kurang independen, apalagi sekadar mengikuti keinginan Pemerintah, mungkin hasilnya tak bakal mencerminkan penghargaan hak asasi itu. Tuduhan dan kecurigaan semacam itu tentu dianggap Moerdiono berlebihan. ''Tak usah dicurigai dulu. Komisi sendiri lahir juga belum, kok sudah dicurigai,'' katanya kepada TEMPO. Ia mengambil contoh Komisi Penyelidik Nasional (KPN) untuk insiden 11 November 1991 di Dili, yang juga dibiayai Pemerintah. ''Toh ia bisa mandiri,'' katanya. Ia yakin, komisi hak asasi manusia yang akan dipimpin bekas Ketua Mahkamah Agung Ali Said itu bisa berfungsi semestinya. ''Selama saya jadi menteri, saya jamin komisi ini bakal independen,'' katanya. Bisa jadi, kemandirian kerja komisi itu juga akan bergantung pada siapa yang menjadi anggotanya. Beberapa nama mulai disebut-sebut di bursa calon anggota komisi itu, misalnya Dirjen Pemasyarakatan Baharuddin Lopa, Dirjen Politik Departemen Luar Negeri Wiryono Sastrohandoyo, Ketua Komisi I DPR Ny. Aisyah Amini, pakar politik Prof. Miriam Budiarjo, dan Prof. Ismail Sunny. Di luar itu, ada nama seperti Todung Mulya Lubis. Namun, konon, ada beberapa orang yang menyatakan tak bersedia. Dan Moerdiono sendiri juga mengaku belum punya daftar nama komplet para calon anggota komisi itu. ''Kalau Anda punya calon, usulkan saja lewat surat kepada saya,'' katanya kepada wartawan Jumat pekan lalu. Sebenarnya, ada yang khas dari komisi hak asasi Indonesia itu. Di negara lain, komisi serupa tak mesti dibentuk pemerintah. Di Filipina, misalnya, komisi lahir atas perintah konstitusi setelah gagal dengan komisi bentukan Presiden Cory Aquino (lihat: Kolom: Pelajaran dari Filipina). Di India, komisi dibentuk parlemen. Dan apa pun jadinya komisi itu nanti, kiranya tak akan beranjak jauh dari siapa yang melahirkannya. Dwi Setyo Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus