FASILITAS bebas bea dan pajak, yang sering dituntut calon investor asing, akhirnya diluluskan juga oleh pemerintah Indonesia. Akan tetapi, fasilitas tersebut tidak diberikan untuk sembarang kawasan. Melalui paket deregulasi yang baru diumumkan 10 Juni lalu, Pemerintah menawarkan peluang investasi bebas bea dan pajak di kawasan EPTE (entrepot produksi untuk tujuan ekspor). Di situ investor bisa menikmati bebas bea masuk untuk impor barang modal dan bahan baku penolong. Di sini juga tidak dikutip cukai dan pajak penghasilan. Sedangkan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPn BM) di tangguhkan. Semua fasilitas seperti itu sebenarnya juga telah diberikan untuk industri yang mengambil lokasi di kawasan berikat alias EPZ (export processing zone). Tapi, EPZ yang ada terbatas hanya di beberapa tempat yang telah ditunjuk Pemerintah sebagai kawasan berikat, seperti Bonded Ware House di Tanjungpriok, Kawasan Berikat Nusantara di Cakung (Jakarta Timur), Kawasan Industri Rungkut di Surabaya, serta kawasan berikat di Batam. Semua kawasan berikat itu berada di bawah naungan BUMN (badan usaha milik negara). Sedangkan EPTE, menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/ KMK.01/1993, bisa dibangun oleh perusahaan swasta, baik dalam rangka PMA (penanaman modal asing) maupun dalam bentuk PMDN (penanaman modal dalam negeri). Lokasinya pun bisa di kawasan industri ataupun di luar kawasan industri, asalkan merupakan wilayah yang terjamin keamanan dan keselamatannya. Selain itu, mudah diawasi oleh petugas Direktorat Bea dan Cukai. Tujuan beleid ini tentu untuk menggairahkan para investor yang menghasilkan komoditi ekspor nonmigas. Kawasan EPTE jelas juga merupakan jalan pintas yang tidak perlu direpotkan oleh urusan berbagai meja perpajakan. Penciptaan entrepot ekspor tampaknya juga dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya kemacetan (kongesti) arus barang ekspor di pelabuhan. Andai kata segalanya lancar, boleh jadi kantor BKPM dan Departemen Keuangan akan semakin sibuk melayani permintaan investasi dari negara-negara industri baru (Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura). Ini mungkin juga menjadi peluang kerja yang bergairah bagi aparat Bea dan Cukai yang selama ini kurang kesibukan. Maklum, barang-barang yang telah diproduksi atau masuk ke situ harus 100% diekspor. ''Kalau ketahuan dibocorkan ke pasar dalam negeri, mereka harus membayar semua pajak dan pungutan yang diwajibkan ditambah denda 100%,'' kata Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad. EPTE tidak sama dengan terminal peti kemas seperti di Gedebage, Bandung. Soalnya, barang-barang yang masuk Gedebage sama dengan masuk pelabuhan ekspor Tanjungpriok di Jakarta. ''PPN dan lain-lain sudah dipungut di perusahaan, bukan ketika diekspor. Sedangkan pungutan lain, ya tarif angkutan ekspor itu sendiri,'' kata Abdullah Fagih dari PT Harost Irmi, produsen mebel dari Bandung yang biasa mengekspor ke Eropa. EPTE juga berbeda dengan kawasan berikat. Barang-barang yang diproduksi di kawasan berikat sebagian boleh dipasarkan ke dalam negeri. Kawasan berikat kali ini ternyata juga mendapat kemudahan baru. Dulu, cuma 15% dari produksi kawasan berikat boleh dipasarkan di dalam negeri, tapi sekarang lebih banyak. Menurut SK Menteri Keuangan Nomor 649/ KMK.01/1993, barang yang akan dimasukkan ke dalam daerah pabean Indonesia sebanyak- banyaknya harus berjumlah sepertiga dari realisasi ekspor. ''Itu berarti, 25% dari produksi kawasan berikat bisa dipasarkan di dalam negeri,'' kata Mar'ie Muhammad. Produk kawasan berikat yang dipasarkan di dalam negeri tentu saja terkena bea masuk, bea masuk tambahan, serta pungutan pajak lainnya. Perhitungan bea dan pajak didasarkan pada tarif barang dan harga bahan baku yang dipergunakan dalam proses pengolahan barang jadi. Apakah itu berarti produk-produk kawasan berikat akan membanjiri pasar dalam negeri? Ternyata tidak. Beberapa pengusaha di kawasan berikat yang dihubungi TEMPO memastikan bahwa pasar Indonesia belum mampu menyerap produk-produk bermutu kualitas ekspor. Pengalaman PT Maspion bisa dijadikan contoh. Produsen alat- alat rumah tangga di kawasan berikat Surabaya ini antara lain mengekspor alat masak teflon. Begitu pula produk baja antikarat serta kipas angin. ''Pasar dalam negeri umumnya hanya mampu menyerap produk dari plastik,'' kata Soeharto, juru bicara PT Maspion. Michael B. Daniel, Manajer Personalia dan Urusan Umum dari PT Classic Prima Carpet Industries di Surabaya, juga melaksanakan kebijaksanaan yang sama. Perusahaan karpet ini terus berkonsentrasi di pasar ekspor. ''Pembayaran lebih cepat, prosedur ekspornya juga tidak berbelit. Kalau pasar dalam negeri, banyak yang bandel mengulur pembayaran,'' kata Michael. Seorang manajer dari PT Sai Rama Industrial Corp., produsen garmen di kawasan berikat Cakung, juga tak melihat pasar dalam negeri sebagai suatu peluang. ''Produksi Sei Rama 100% diekspor ke Amerika, pesanan K-Mart. Kuota kami saja belum terpenuhi,'' kata manajer Sai Rama yang tak mau disebut namanya. Untuk mencari pasar garmen di dalam negeri tidak mudah. Belum lagi kerepotan mengurus bea masuk dan pajak. ''Untuk pekerjaan pencucian saja, kami harus membayar biaya ke PT Kawasan Berikat Nusantara. Itu saja sudah rumit, karena tidak bisa diangkut sekaligus. Kalau harus mengurus izin pasar ke lokal, tentu akan memakan waktu dan biaya. Kecuali kalau izin-izinnya gampang,'' kata manajer Sai Rama tadi. Lain pula pendapat Tita Isdhiyanti, Manajer Umum PT Konaan Jaya. Perusahaan ini PMA dengan 95% saham dimiliki Koloni Inc. dan Kanaan Company dari Korea Selatan. Saham swasta nasional cuma 5%. Perusahaan ini menghasilkan tas nilon Adidas dan Nike di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, dan belum menggarap pasar dalam negeri. ''Konaan selama ini mengekspor 100% produksinya,'' kata Tita. Kendati begitu, Konaan sudah berniat memanfaatkan kebolehan pemasaran dalam negeri. ''Kalau sekarang boleh 25%, lebih menarik lagi. Pasaran dalam negeri berarti kena bea masuk. Tapi pemasaran ekspor harus juga menanggung biaya angkutan, gudang, dan sebagainya,'' kata Tita. ''EPTE akan mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing. Ada penghapusan bea masuk dan pajak, misalnya bagi industri garmen dan elektronika,'' demikian Menteri Koordinator Perindustrian dan Perdagangan Hartarto menegaskan. ''Kalau mereka tidak bisa juga menurunkan harga ekspor, kita punya jalan untuk menekan mereka. Bagaimana caranya, itu rahasia perusahaan,'' kata Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo. Paket Deregulasi 10 Juni lalu itu tidak hanya memangkas biaya untuk kegiatan ekspor. Ekonomi biaya tinggi di pasar domestik juga kena gunting. Kali ini, benteng penghambat impor yang disebut bea masuk dan bea masuk tambahan untuk beberapa komoditi dipangkas. Dari SK Menteri Keuangan Nomor 641/ KMK.01/1993, terlihat ada 221 pos tarif bea masuk yang diturunkan. Jenis pos yang paling banyak adalah 76 jenis produk kertas dan kertas karton, termasuk di sini kertas stensil, kertas tulis dan cetak HVS dan HVO, kertas toilet, kertas kantong semen, sampai kertas penutup dinding seperti yang dipakai di rumah-rumah negeri empat musim. Pos-pos tarif bea masuk untuk kertas tersebut kini ditetapkan 25%. Bea masuk untuk komoditi yang banyak dipakai untuk kebutuhan perkantoran, buku tulis, dan buku cetak, jelas masih cukup berat untuk dipikul konsumen yang mewakili berbagai lapisan masyarakat itu. Penting juga untuk dikemukakan di sini bahwa berbagai peralatan pembangkit listrik ukuran kecil (di bawah 75 KVA) kini juga boleh diimpor dengan bea masuk 20%. Yang sangat menonjol dari kebijaksanaan Menteri Keuangan ini adalah bea masuk untuk berbagai peralatan pertanian dan peternakan. Kini, mesin-mesin tuai, penabur benih, penebar pupuk, penugal, boleh diimpor dengan bea masuk sangat rendah, yakni 5%. ''Ini penting untuk menunjang pertanian kita,'' kata Menteri Mar'ie Muhammad. Seiring dengan itu, impor kapal pesiar mewah dan kendaraan air lainnya biasa dipakai untuk bersenang-senang kini cuma dikenai bea masuk 10%. Apakah kebijaksanaan ini dimaksudkan agar ada pemerataan bea masuk bagi golongan yang mampu dan tidak mampu? Max Wangkar, Biro Jakarta, Bandung, dan Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini