Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMILIKI nama dengan arti “teratai”, Kamala Harris tak hanya indah, tapi juga meteor dalam politik Amerika Serikat. Ia wakil presiden Joe Biden yang melambung menjadi kandidat presiden, setelah sekondannya itu mundur dalam pencalonan periode kedua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamala adalah perempuan kulit berwarna. Ia tumbuh dalam keluarga kelas menengah Amerika. Ibu dan ayahnya perantau dari India dan Jamaika. Kamala belajar di Howard University, Washington, DC, sekolah yang dekat dengan perjuangan hak-hak sipil orang kulit berwarna. Ia perempuan kulit berwarna pertama yang menjadi Jaksa Agung California pada 2010. Koran-koran di Amerika menyatakan menang-tidaknya Kamala bergantung pada kesiapan Amerika menerima perempuan sebagai presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan ekonomi yang akan diambil Kamala, demikian editorial The Economist 24 Agustus 2024, hanya akan sedikit ke kiri dari sikap sentrisme Partai Demokrat. Misalnya ia akan berupaya mencegah “price gouging” yang kerap dilakukan pemilik pasar swalayan dengan menaikkan harga barang dari stok di gudang. Tapi, menurut majalah Inggris yang pro-pasar bebas ini, Kamala tidak akan berani melawan korporasi besar Amerika.
Hal yang sama terjadi saat Kamala menjelaskan kebijakan pemerintahannya dalam menghadapi krisis Palestina. Ia hanya mengatakan mendukung solusi dua negara yang belum terwujud sejak perjanjian damai Oslo 1993. Ia memang mendesak Israel agar tidak mengebom warga sipil. Namun, saat konflik meluas karena melibatkan Iran, Kamala tak bisa mencegah pengiriman senjata canggih anti-peluru kendali THAAD untuk melindungi Israel.
Ia tak mudah ke luar dari bayang-bayang Joe Biden. Ia berkali-kali mengatakan bahwa ia seorang pragmatis dan realis. Ia mengakar pada model berpikir khas Amerika tersebut. Semua hal dikerjakan agar masalah teratasi—“getting things done” dengan hasil yang tidak ideal. Ia sadar bahwa ia tidak bisa revolusioner dalam mengelola Amerika. Ia hanya ingin memaksimalkan institusi-institusi Amerika agar bekerja lebih baik. Termasuk di dalamnya adalah institusi demokrasi, hukum, dan perpajakan.
Maka seruan yang berulang-ulang ia katakan adalah “We are not going back”. Ia menantang Amerika agar mau melihat masa depan dengan ceria, sebagaimana gaya kampanye dan kepribadiannya.
Ia kebalikan dari Donald Trump yang bergaya maskulin dan melihat segala hal dengan sikap frustrasi. Trump, misalnya, mengatakan gen kriminal pengungsi telah merasuki orang Amerika. Dalam kesempatan lain: pengungsi gelap Haiti telah memakan kucing atau anjing piaraan penduduk di Ohio.
Trump memanfaatkan frustrasi kaum laki-laki Amerika. Kepada Richard Reeves dalam wawancara CNN 27 Oktober 2024, kolumnis Fareed Zakaria menjelaskan pembelahan gender dalam pemilihan Presiden Amerika. Laki-laki cenderung memilih Partai Republik dan perempuan memilih Demokrat.
Ada krisis maskulinitas di Amerika, demikian Reeves mencatat. Angka bunuh diri laki-laki Amerika belakangan meningkat salah satunya karena mereka merasa tak berguna. Di era perempuan yang makin mandiri dan liberal, dan situasi pendapatan kelas pekerja yang tak naik dari generasi ke generasi, maka banyak laki-laki merasa sia-sia. Trump memanfaatkan sentimen itu dengan gaya machismo-nya—tampak dari kehadiran pegulat Hulk Hogan bertelanjang dada saat kampanye.
Kamala bergegas menghadang ide kejantanan ini dengan hak perempuan yang tak boleh ditawar dalam memutuskan apa yang terjadi pada tubuh mereka. Sebagai ahli hukum, Kamala tanpa henti menguraikan hak-hak reproduksi serta aborsi perempuan Amerika.
Kamala punya kekuatan lain: sumbangan dana kampanye yang besar dari berbagai perusahaan raksasa Amerika. Sumbangan itu bertambah banyak karena perubahan demografi dan sikap para CEO di Amerika yang kini makin ke kiri.
Financial Times 10 Oktober 2024 membahas riset unik Reilly Steel atas data sumbangan 97.469 pemimpin dari 9.005 korporasi Amerika kepada dua kandidat yang bertarung. Koran itu melihat ada kecenderungan pergerakan sikap politik “ke kiri” dan liberal. Saat ini tiap sen uang yang mereka sumbangkan mereka kaitkan dengan isu hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan. Sebelumnya para direktur perusahaan besar dikenal konservatif.
Pergeseran ini diukur sepanjang 2001-2022, dan sikap yang makin ke kiri ini dekat dengan prinsip Partai Demokrat. Terutama gerakan “woke capitalism”, yang mendorong korporasi turut membiayai upaya-upaya gerakan anti-rasisme dan pembayaran utang ekologis. Sikap baru para pemimpin perusahaan tersebut ditengarai terkait dengan makin majemuknya asal-usul ras ataupun etnisitas mereka.
Amerika makin majemuk secara agama dan kultural serta makin sekuler secara politik. Kamala Harris dan Tim Walz tampaknya cocok memimpin bangsa semacam itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo