Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pimpinan KPK diisi oleh para elite polisi dan jaksa serta hakim.
Komposisi aparatur hukum di KPK menjadi ironis karena lembaga ini didirikan karena penegak hukum tak bisa memberantas korupsi.
Intervensi elite asal lembaga pimpinan KPK bisa menjadi intervensi penuntasan kasus korupsi besar.
SULIT berharap komposisi baru pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bisa membawa perbaikan bagi komisi antirasuah. Dominasi aparat penegak hukum membuat mereka rawan ditekan pihak luar, yang berujung menguapnya sejumlah perkara besar yang belum tuntas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Prabowo Subianto telah melantik lima pemimpin KPK periode 2024-2029. Mereka yang terpilih lewat proses seleksi yang dilakukan Joko Widodo adalah Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcahyanto, Johanis Tanak, Ibnu Basuki Widodo, dan Agus Joko Pramono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komposisi komisioner baru juga berbeda dengan periode sebelumnya karena banyak diisi “utusan” lembaga penegak hukum lain. Setyo Budiyanto, yang terpilih menjadi Ketua KPK, adalah jenderal polisi bintang tiga yang sebelumnya menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian. Adapun komisioner dengan latar belakang jaksa adalah Fitroh Rohcahyanto dan Johanis Tanak. Sementara itu, Ibnu Basuki Widodo adalah hakim dan Agus Joko Pramono adalah mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
Dominannya wakil lembaga penegak hukum amat janggal dan bisa memantik kecurigaan. Apalagi salah satu alasan pendirian KPK adalah macetnya pemberantasan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan. Walhasil, ketika wakil kepolisian, kejaksaan, dan lembaga negara lain mendominasi di struktur pimpinan, ini bisa dicurigai sebagai upaya menguasai KPK atau untuk mengamankan institusi asal mereka.
Absennya elemen sipil, seperti aktivis dan profesional, juga akan menyebabkan minimnya kontrol di jajaran pimpinan KPK. Kondisi ini akan makin menjauhkan KPK dari masyarakat sipil. Imbasnya, isu pemberantasan korupsi hanya akan menjadi milik elite.
Pemberantasan korupsi di bawah lima pemimpin baru tersebut makin suram jika melihat rekam jejak mereka selama ini. Johanis Tanak, yang merupakan komisioner periode lalu, pernah menjalani sidang etik pada 2023 karena berkomunikasi dengan pihak yang sedang beperkara di KPK. Ibnu Basuki Widodo pernah memvonis bebas terdakwa korupsi pengadaan alat laboratorium ilmu pengetahuan alam madrasah tsanawiyah di Kementerian Agama. Sementara itu, nama Agus Joko Pramono pernah disebut oleh Benny Tjokrosaputro, terpidana kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya, karena melindungi kelompok tertentu dalam penghitungan kerugian negara oleh BPK.
Adapun Setyo Budiyanto dapat dipastikan meneruskan dominasi polisi di KPK setelah sebelumnya dipimpin Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Firli Bahuri yang juga dari kepolisian. Sama halnya dengan kehadiran Fitroh Rohcahyanto yang makin menguatkan cengkeraman kuku kejaksaan di KPK. Sebelumnya, sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan serta hakim dan auditor BPK pernah ditangkap KPK karena menerima suap.
Besarnya potensi konflik kepentingan pimpinan KPK juga akan berdampak pada penuntasan perkara kakap di KPK yang masih berjalan saat ini. Sebut saja dugaan korupsi yang menyeret mantan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor. Setelah Sahbirin menang di sidang praperadilan, KPK tidak kunjung menetapkan dia kembali sebagai tersangka kendati sudah memiliki bukti-bukti kuat. Kondisi yang sama terjadi pada Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej, yang terseret perkara suap Rp 8 miliar dari Helmut Setiawan, Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri.
Perkara terbaru adalah dugaan penyimpangan dana program sosial Bank Indonesia yang ditengarai menjadi bancakan anggota Komisi bidang Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024. Proses hukum yang awalnya lurus mendadak berbelok-belok karena menyeret sejumlah politikus partai koalisi pendukung pemerintah.
Perkara-perkara besar ini hanya bisa dituntaskan oleh pimpinan lembaga antikorupsi yang independen dan sigap menangkis intervensi pihak luar, bukan oleh mereka yang memiliki potensi konflik kepentingan besar. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo