Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pengusutan Kasus Korupsi Setelah KPK Tak Independen

Kewenangan pimpinan dalam penyelidikan dan penyidikan berkurang karena revisi UU KPK. Pegawai tak berani lagi mengkritik.

22 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pimpinan KPK dan penyidik acap bentrok dalam menangani perkara yang melibatkan tokoh terkenal.

  • Kekalahan dalam gugatan praperadilan hanya konsekuensi ketidakkompakkan pimpinan KPK.

  • Beberapa kasus besar dengan bukti telak tak kunjung disidik kembali.

MILIS internal pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi mendadak ramai pada pertengahan November 2024. Gara-garanya, sejumlah pegawai mengirimkan surat elektronik yang berisi kerisauan terhadap penyidikan KPK yang berkali-kali kandas lewat gugatan praperadilan para tersangka. Wakil Ketua KPK kala itu, Alexander Marwata, ikut merespons surat tersebut. “Saya bilang kalian terlambat. Kenapa baru sekarang bersuara?” ujarnya kepada Tempo pada Rabu, 18 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keriuhan para pegawai bermula dari putusan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan sebagian gugatan mantan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, pada Selasa, 12 November 2024. Akibat putusan itu, Sahbirin batal menjadi tersangka suap proyek Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Hakim menganggap KPK terburu-buru menetapkan Sahbirin sebagai tersangka karena belum pernah memeriksa paman kandung pengusaha batu bara Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukti awal untuk menjerat Sahbirin bermula dari operasi tangkap tangan KPK di Kalimantan Selatan pada 6 Oktober 2024. Sebanyak 17 orang ditahan, termasuk orang dekat Sahbirin. Dua hari kemudian, KPK mengumumkan tujuh tersangka. Salah seorang di antaranya adalah Sahbirin. KPK menduga ada uang Rp 13 miliar dan kardus berisi Rp 800 juta yang akan disiapkan untuk Sahbirin. Kuasa hukum Sahbirin, Agus Sudjatmoko, mengatakan KPK menyalahi prosedur karena penyidik baru mencari bukti setelah penerbitan surat perintah penyidikan atau sprindik.

Alexander Marwata mengatakan pimpinan KPK sebenarnya juga risau terhadap kekalahan berulang saat melawan tersangka korupsi. Sebelum kasus Sahbirin, penyidikan KPK juga pernah kandas setelah menjerat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2020-2023, Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, pada akhir Januari 2024. Eddy lolos dari penetapan status tersangka suap dan gratifikasi sengketa kepemilikan perusahaan tambang nikel PT Citra Lampia Mandiri.

Alex mengklaim sebenarnya pimpinan KPK sudah menyiapkan skenario untuk menjerat kembali Eddy Hiariej dan Sahbirin. Selama ini mereka kalah di pengadilan karena urusan prosedur penyidikan. Maka mereka meminta pejabat Kedeputian Penindakan dan Eksekusi melanjutkan proses hukum dengan menambal celah penanganan perkara, dari sisi prosedur hingga penerbitan sprindik baru. “Opsi itu dimungkinkan secara hukum lantaran putusan pengadilan belum masuk ke substansi perkara,” ucapnya.

Edward Omar Sharif Hiariej menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 4 Desember 2023. Tempo/Imam Sukamto  

Masalahnya, perintah pimpinan KPK tak dipatuhi petinggi di Kedeputian Penindakan dan Eksekusi. Seseorang yang mengetahui penyelidikan kedua kasus itu mengatakan pimpinan sebenarnya sudah pernah meminta pejabat di Kedeputian Penindakan dan Eksekusi menerbitkan sprindik baru. Tapi permintaan itu acap ditolak. Alasannya pun bermacam-macam, antara lain urusan teknis hukum. “Pimpinan tak lagi berkuasa penuh seperti dulu,” ujarnya.

Pegawai KPK pun ditengarai berani pasang badan melawan pimpinan. Ketua KPK saat itu, Nawawi Pomolango, pernah mengatakan sebenarnya penyidik sudah memiliki bukti telak peran Sahbirin. Jumlah barang buktinya bahkan disebut mencapai 152. Informasi lain menyebutkan, dalam rapat bersama pimpinan KPK, sejumlah petinggi Kedeputian Penindakan dan Eksekusi bahkan menyampaikan akan mengundurkan diri jika kasus Sahbirin tetap nekat diteruskan. Hingga kini, kasus Sahbirin dan Eddy Hiariej masih mengambang tanpa kepastian.

Perlawanan penyidik dan penyelidik kepada pimpinan KPK juga pernah terlihat saat terjadi polemik kasus Formula E yang menyeret mantan Gubernur Jakarta, Anies Rasyid Baswedan. Ketua KPK kala itu, Firli Bahuri, meminta kasus tersebut dinaikkan ke tahap penyidikan, yang berarti sudah ada penetapan tersangka. Tapi sejumlah pejabat Kedeputian Penindakan dan Eksekusi menolaknya. Kasus ini sempat ramai karena berujung pengembalian Deputi Penindakan dan Eksekusi serta Direktur Penyelidikan saat itu, Karyoto dan Endar Priantoro, ke institusi awal, yaitu Kepolisian RI.

Deputi Penindakan dan Eksekusi saat ini, Inspektur Jenderal Rudi Setiawan, membantah kabar bahwa anak buahnya pernah melawan pimpinan KPK. Dia menjelaskan, tim di Kedeputian Penindakan merupakan bagian integral dari pimpinan. Ia memastikan timnya tidak mungkin mengambil keputusan tanpa persetujuan pimpinan. Ia mengatakan penyidik dan penyelidik juga bagian dari pimpinan KPK. “Saya mendengar dan menjalankan semua arahan pimpinan. Itu saya sampaikan kepada beliau-beliau,” ucapnya.

Dosen hukum dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengatakan tumpulnya taji pimpinan KPK ini merupakan dampak penghilangan Pasal 21 ayat 4 Undang-Undang KPK lama. Sebelumnya, pasal itu memberi kewenangan pimpinan KPK sebagai penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Pasal itu dihapus di Undang-Undang KPK anyar. “Akibatnya, pimpinan KPK sering kali hanya menjadi tukang stempel karena urusan teknis penanganan perkara selesai di tingkat kedeputian,” katanya.

Feri menduga penghapusan kewenangan itu merupakan skenario untuk mengontrol KPK. Selama ini penyidik, penyelidik, dan penuntut umum biasanya berasal dari lembaga di luar KPK, yaitu Polri dan Kejaksaan Agung. “Itu sebabnya pimpinan KPK lama pernah menyinggung sikap loyalitas ganda pegawai KPK,” ujarnya.

Status kepegawaian penyidik dan penyelidik juga dituding menjadi biang keladi loyonya KPK. Sejak Undang-Undang KPK revisi, persisnya Pasal 1 ayat 6, semua pegawai KPK berubah status menjadi aparatur sipil negara (ASN). Padahal mereka sebelumnya adalah pegawai KPK yang bernaung di bawah Wadah Pegawai. Dulu Wadah Pegawai bisa ikut mempengaruhi kebijakan karena kekompakan pegawai. “Wadah Pegawai ini sejatinya pemimpin keenam KPK,” tutur Feri.

Wadah Pegawai lantas bubar dan digantikan Korps Pegawai Republik Indonesia. Mereka menginduk kepada sekretariat jenderal sebagai pejabat pembina kepegawaian. Akibatnya, tak ada lagi pegawai yang berani bersikap kritis kepada atasannya. Sementara itu, kritik penting untuk menjaga transparansi aktivitas KPK. “Pegawai tak lagi berani bersuara mengkritik keputusan karena sebagai ASN mereka harus patuh kepada atasan,” ujar Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito. IM57+ merupakan komunitas mantan pegawai KPK yang dipecat karena tak lulus tes wawasan kebangsaan.

Lakso mengatakan status ASN membuat para pegawai KPK tak independen dan rentan terhadap berbagai risiko. Jika dianggap “nakal”, mereka bisa mendadak dipindahkan ke lembaga negara lain. Alasan ini bisa digunakan karena semua ASN sejak direkrut sudah menyatakan siap ditempatkan di mana saja. “Gaji mereka pun ikut turun saat ditugasi di tempat baru,” ucapnya.

Ketua KPK saat ini, Setyo Budiyanto, menyatakan sudah memetakan masalah di lingkup internal KPK. Menurut dia, pekerjaan besar pimpinan baru adalah mengkonsolidasikan peran semua kedeputian agar sejalan dengan visi lembaga dan kebijakan pimpinan. Ia menganggap tiap perbedaan mesti dicarikan jalan tengahnya. “Pimpinan tidak boleh merasa berkuasa penuh, sementara bawahan jangan merasa lebih tahu,” tuturnya.

Fajar Pebrianto dan Lani Diana berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Pimpinan Merangkap Tukang Stempel

Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus