Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konflik Modal

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri Kandidat doktor bidang ekonomi Universitas Nasional Australia, Canberra Sekitar lima tahun lalu, ada sebuah buku yang terbit tanpa banyak dicaci atau dipuja. Buku yang ditulis oleh John Kenneth Galbraith itu barangkali dianggap tak terlalu mengesankan. Judulnya The World Economy Since The Wars: A Personal View. Buku karya guru besar ekonomi dari Universitas Harvard ini tidaklah menimbulkan kontroversi seperti buku Clash of civilization, buah karya Huntington yang "meledak" dua tahun lalu. Namun, ada satu pesan menarik bisa "dipetik" dari situ, yang kira-kira intinya seperti ini: di masa depan nanti, konflik politik bukan terjadi antara buruh dan pemilik modal, tapi antara mereka yang berkelimpahan (comfortably endowed) dan mereka yang kekurangan (specifically deprived). Galbraith memang tak merumuskannya dengan tajam. Ia hanya mengendus. Tapi perkiraannya terasa konkret ketika melihat wajah kusam republik kita. Di media massa kita membaca perihal tekanan IMF dan Bank Dunia atas Indonesia, soal penghentian bantuan ekonomi, atau lemahnya pemerintah terhadap IMF. Di sisi lain kita juga melihat komentar yang seakan menggemakan pesan "awas konspirasi asing" atau bahaya "modal global". Tak teramat salah, mungkin. Tapi mungkin lebih baik tak terburu-buru menyimpulkan. Ada dua pertanyaan penting di sini: bagaimana peta pertarungan kapital di Indonesia? Lalu di mana negara harus berdiri? Mungkin akan lebih baik jika kita melihat beberapa hal dengan hati-hati. Pertama, ada semacam anggapan umum bahwa arus kapital global akan berhadapan dengan sikap menentang atau resistensi buruh. Tapi mungkin ada variasi lain yang akan muncul di negeri ini. Tekanan IMF dan Bank Dunia untuk liberalisasi akan membuka ruang bagi modal global untuk masuk ke pelbagai sektor ekonomi di Indonesia. Kita bisa memperkirakan bahwa investor asing—jika pada akhirnya masuk ke Indonesia—akan memilih berusaha di sektor yang padat tenaga kerja.Alasannya, biaya buruh yang murah memungkinkan mereka meraup keuntungan maksimal. Dalam situasi krisis, ketika kapital domestik lumpuh, pilihan bagi buruh pun tak terbuka luas. Dan dengan "kesadaran kelas" yang relatif lemah, bukan tidak mungkin resistensi buruh terhadap modal global akan terbatas pada soal kepentingan ekonomi saja. Jika ini terjadi, modal global jauh lebih siap untuk mengantisipasi ketimbang modal domestik yang hampir lumpuh. Konsekuensinya, tidak terlalu mengejutkan jika penolakan buruh terhadap modal global akan relatif lemah, bahkan mungkin terjadi the unholly alliance atau "persekutuan yang tak suci" antara kepentingan buruh untuk hidup dalam situasi krisis dan kepentingan modal global. Sehingga, bukan tidak mungkin kaum buruh akan lebih memihak kapital global yang bisa menyediakan lahan kerja buat mereka ketimbang kapital domestik yang lumpuh. Yang menarik, resistensi terhadap modal global justru datang dari pemilik modal domestik, yang terancam keberadaannya. Gejala ini sebenarnya sudah mulai terlihat dalam banyak kasus. Kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya, menunjukkan bagaimana pengusaha domestik berupaya menekan skema pengembalian aset konglomerat. Atau bagaimana penyelesaian di luar sidang (out of court settlement) acap dilakukan sehingga undang-undang kepailitan pun tak terlalu efektif. Kita juga bisa melihat bagaimana "nasionalisme ekonomi" tumbuh subur dalam kasus menyelamatkan bank milik pribumi. Aburizal Bakrie, misalnya, bahkan dalam salah satu pernyataannya juga menyebut bahwa pemerintah terlalu banyak mengalah kepada IMF. Semuanya seperti mengacu kepada resistensi terhadap modal global. Dan ini justru datang dari kapitalis pribumi--seandainya kita bisa menyebutnya demikian. Karena itu, konflik kapital terjadi lebih pada modal global dan domestik ketimbang modal global dan buruh. Di sini persoalannya mungkin masuk dalam dataran soal kelompok kepentingan ketimbang pengklasifikasian buruh-modal. Kedua, implikasi dari hal ini akan menjadi sangat menarik untuk diamati. Pertanyaannya adalah di mana pemerintah Indonesia atau negara akan berdiri. Negara akan menempatkan posisinya dengan kalkulasi ekonomi politik. Artinya, kebijakan akan dibuat untuk memaksimumkan dukungan politik. Ada dua pendulum di sini; di satu sisi pemerintah yang berkuasa _siapa pun dia—tentu tidak bisa menafikan IMF dan Bank Dunia begitu saja. Sehingga, harus ada akomodasi bagi kapital global, sesuatu yang rasanya sulit dihindarkan. Kita bisa melihat bagaimana kebijakan "ramah pasar" hadir dalam setiap platform partai atau menjadi bahasa pengantar di surat kabar. Bila ini terjadi, secara tak langsung akan memperkuat "persekutuan tak suci" antara buruh dan modal global. Namun, di sisi lain, kepentingan kapital domestik juga kuat. Dan tidak bisa dimungkiri bahwa mesin dukungan politik juga banyak dipengaruhi oleh kapital domestik. Republik kita adalah contoh terbaik tentang peran dari kelompok kepentingan domestik dalam kebijakan ekonomi. Kasus Bank Bali, misalnya, adalah ilustrasi sempurna tentang pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan kelompok. Ada sebuah relasi saling menguntungkan antara pembuat kebijakan dan modal domestik, terutama pada saat regulasi dan kekuasaan menjadi komoditas yang paling laris di negeri ini. Di sini posisi negara akan menjadi dilematis dan pendulum akan terus bergerak dari satu sisi ke sisi lain. Lalu di mana kepentingan masyarakat berdiri? Tak jelas benar, tapi saya khawatir ia hanya direduksi menjadi ikon politik pemanis retorika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus