R. William Liddle
Profesor ilmu politik The Ohio State University, Columbus OH, Amerika Serikat
DI Timor Timur, selama beberapa bulan sebelum jajak pendapat, kita menyaksikan—lewat berita koran dan siaran televisi—tindakan-tindakan yang sangat memprihatinkan. Pelakunya adalah milisi-milisi lokal yang prointegrasi bersama polisi, prajurit, dan perwira TNI yang ditugasi di daerah itu. Masyarakat Timor Timur yang prokemerdekaan diintimidasi dan diteror supaya mereka tidak mau ikut dalam jajak pendapat atau takut menolak alternatif otonomi.
Sehari setelah jajak pendapat, orang-orang milisi mengamuk—tanpa ada hambatan yang berarti—dan dalam perbuatan yang tidak terpuji itu mereka mendapat bantuan langsung dari pihak Indonesia, khususnya polisi dan TNI Angkatan Darat. Pusat Kota Dili dibakar, sementara pendukung kemerdekaan dibunuh, dikeroyok, atau diusir dari rumah dan desa mereka. Sekitar 200 ribu orang terpaksa mengungsi ke Kupang dan daerah lain untuk mencari keselamatan.
Bagaimana kita bisa menjelaskan perilaku yang sangat merusakkan reputasi TNI dan pemerintah Indonesia di mata dunia itu? Baru-baru ini—beberapa hari sebelum Presiden Habibie menyetujui penggantian pasukan TNI dengan pasukan PBB—saya diundang ke Washington untuk ikut dalam sebuah seminar sehari mengenai masalah tersebut. Penyelenggara seminar itu adalah United States-Indonesia Society (Usindo), sebuah lembaga swasta yang, meskipun pro-Indonesia dalam arti luas, selalu berusaha menampilkan pembicara yang mewakili berbagai segi pandangan.
Pada hari itu, saya tampil sebagai pembicara yang keempat dan terakhir. Saya diperkenalkan sebagai pakar TNI oleh Ed Masters, bekas duta besar Amerika di Jakarta yang kini memimpin Usindo. Ketika saya mulai berbicara, suara saya terasa bergetar. Sebab, saya tahu, meskipun pengetahuan saya tentang TNI sebetulnya minim, saya harus mengemukakan dan mempertahankan sebuah pendapat mengenai masalah yang sangat serius. Sebagai pembicara terakhir, saya bisa tahu bahwa pendapat saya berbeda dengan pendapat semua pembicara terdahulu.
Para pembicara itu percaya bahwa para pemimpin TNI, termasuk Panglima TNI Jenderal Wiranto, bertanggung jawab langsung atas apa yang sedang terjadi di Timor Timur. Mereka yakin bahwa perilaku milisi dan TNI di lapangan memang direncanakan, didanai, dan diarahkan dari Markas Besar TNI di Cilangkap. Bukti utama yang mereka paparkan adalah fakta-fakta di lapangan setelah Presiden Habibie mengeluarkan pernyataan pada Januari 1999, yang intinya memberikan kesempatan kepada rakyat Timor Timur untuk menentukan masa depan mereka melalui jajak pendapat. Fakta-fakta itu mengungkap hal tentang milisi-milisi yang merajalela—padahal, sebelum 1999, jumlahnya kecil dan tidak memiliki dana atau senjata modern. Para pembicara itu juga menunjukkan konsensus pemberitaan wartawan asing dan domestik bahwa milisi-milisi tersebut sering didampingi perwira TNI. Mereka menyebutkan nama beberapa jenderal—dengan latar belakang intelijen—yang dikirim Jenderal Wiranto ke Dili. Dengan keberhasilan pelaksanaan jajak pendapat pada 30 Agustus tanpa gangguan yang berarti dari pihak prointegrasi, kenyataan ini mereka anggap sebagai bukti bahwa Cilangkap betul-betul menguasai para milisi. Pendek kata, keran kekerasan bisa dibuka dan ditutup atas kemauan penguasa di atas.
Saya sendiri memilih penjelasan incompetence, yakni ketidakmampuan Markas Besar TNI untuk menguasai kaum milisi ataupun pasukan TNI sendiri di lapangan. Saya tidak mencoba membantah fakta-fakta yang memang dalam banyak kasus hampir tak terbantahkan. Lagi pula, saya mengakui bahwa tampaknya tidak ada political will atau kemauan politik dari para pengambil keputusan di pusat untuk mengendalikan milisi dan pasukan di lapangan. Hal itu disebabkan oleh hubungan emosional antara TNI dan milisi yang sulit dilepaskan (alasan ini kemudian dipakai oleh Jenderal Wiranto sendiri) dan oleh keyakinan para perwira bahwa pihak prointegrasi akan memenangi jajak pendapat.
Di hadapan peserta seminar, saya ceritakan betapa kenalan-kenalan saya di kalangan tentara percaya betul dengan penilaian mereka tentang keinginan mayoritas rakyat Timor Timur. Akhirnya, saya membandingkan fakta-fakta lapangan di Timor Timur dengan beberapa kejadian yang hampir serupa di Aceh dan khususnya di Ambon. Di sana, yang kita lihat dengan jelas adalah ketidakmampuan dan bukan kesengajaan dari Markas Besar TNI.
Namun, yang saya tekankan dalam seminar di Washington itu—dihadiri ratusan orang dari kalangan pers, pemerintah, dan lembaga swasta yang menaruh perhatian pada Indonesia—bukanlah tafsiran mengenai fakta, melainkan kesimpulan mengenai logika politik TNI. Menurut pendapat saya, sama sekali tidak masuk akal bahwa para pemimpin TNI akan mengambil kebijakan yang disengaja untuk memperalat milisi dan menyabot perintah presiden yang mengizinkan jajak pendapat di Timor Timur diselenggarakan di bawah pengawasan PBB. Pertama, mereka pasti tahu—karena mereka cukup berpengalaman sejak peristiwa Dili pada 1991—bahwa semua tingkah laku mereka akan disoroti oleh dunia internasional melalui para wartawan asing yang dikirim ke Timor Timur.
Yang lebih pokok, menurut analisis saya, Jenderal Wiranto dan para pemimpin TNI lainnya sejak awal sudah sepakat untuk mendukung proses demokratisasi dan civilianization atau pemberdayaan masyarakat madani. Mereka sadar bahwa posisi TNI kini sangat lemah, sebagai akibat dari serentetan peristiwa yang dimulai dari masa awal Orde Baru sampai pembunuhan mahasiswa di Semanggi tahun lalu. Mereka mengerti bahwa pola praktek dwifungsi Orde Baru tidak bisa dipertahankan lagi. Mereka menerima kebijakan pembebasan pers yang diprakarsai oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah dan mereka juga mendukung keputusan untuk mengadakan pemilu yang betul-betul demokratis. Perilaku TNI dalam pemilu 1999 memang jauh berbeda dengan perilakunya pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Kebijakan yang baru ini tentu tidak berarti bahwa para pemimpin TNI sudah meninggalkan ambisi politik mereka. Mereka masih mempertahankan kursi di MPR, DPR, dan DPRD-DPRD serta masih aktif di belakang layar di Golkar. Kebijakan teritorial masih dipertahankan, malah belum diakui sebagai bagian dari dwifungsi. Mereka juga beraliansi dengan Presiden Habibie, dengan pertimbangan bahwa Habibie adalah presiden yang sah menurut UUD 1945, bahwa Habibie dan Golkar lebih mampu memerintah ketimbang PDI-nya Megawati Sukarnoputri, dan bahwa ada unsur "merah" di PDI Perjuangan yang mencemaskan. Bukankah pepatah Inggris mengatakan bahwa lebih baik memilih setan yang sudah dikenal daripada memilih setan yang belum dikenal?
Menjelang sidang umum MPR, tujuan utama para pemimpin TNI adalah menempatkan Jenderal Wiranto sebagai wakil presiden, dengan Habibie sebagai presidennya. Tapi mereka tidak terikat secara mutlak kepada Habibie. Seandainya Habibie pada akhirnya tidak viable sebagai calon presiden, mereka bersedia mendukung Megawati atau calon lain asalkan Wiranto dipilih sebagai wakil presiden.
Bagi saya, logika politik ini sulit sekali disesuaikan dengan suatu kebijakan TNI di Timor Timur yang dengan sengaja membantu milisi untuk mempersulit pelaksanaan jajak pendapat oleh petugas PBB. Reputasi TNI yang sudah rusak pastilah menjadi semakin buruk. Reputasi Wiranto sendiri, sebagai panglima TNI dan penanggung jawab atas semua kebijakannya, pasti ikut terpuruk. Aliansi Habibie-Wiranto akan terganggu dan pencalonan Habibie sebagai presiden untuk masa jabatan 1999-2004 akan dihambat—seperti yang bisa kita lihat sekarang. Apakah para pemimpin TNI bersedia mengorbankan semua ini—maksud saya, mengorbankan reputasi Indonesia di dunia dan peran mereka di Indonesia pada masa depan—demi mempertahankan Timor Timur sebagai provinsi ke-27, sesuatu yang harus diakui sudah tidak mungkin lagi?
Setelah saya pulang dari Washington, jawaban saya terhadap pertanyaan itu tidak berubah. Saya masih percaya kepada logika ini. Namun, ada beberapa masukan baru yang cenderung meyakinkan saya bahwa alasan incompetence tidak cukup untuk menjelaskan perilaku milisi dan TNI di lapangan, bahwa unsur kesengajaan dari atas terlalu mencolok untuk ditolak begitu saja. Masukan pertama saya peroleh dari kenalan-kenalan yang bekerja di pemerintah Amerika, khususnya di badan-badan intelijen yang tersebar di berbagai departemen. Mereka sudah bertahun-tahun menjadi pengamat TNI atau politik Indonesia. Kesimpulan mereka dulu biasanya sangat konservatif, hati-hati, dan malah cenderung bersimpati kepada pemerintah Indonesia dan TNI, misalnya mengenai IMET atau program bantuan militer Amerika.
Sekarang mereka semua menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh milisi dan TNI di Timor Timur tidak bisa dijelaskan tanpa unsur kesengajaan dari atas. Kesimpulan itu—saya kutip salah satu di sini—di antaranya berasal dari seorang pensiunan perwira tentara Amerika yang pada awal tahun lalu masih mencoba meyakinkan saya bahwa kebijakan TNI di Timor Timur makin lama makin berhasil. Sekarang dia bilang, "Sudah jelas bahwa satu-satunya hari yang aman itu—yaitu hari pelaksanaan jajak pendapat—diperintahkan dengan sengaja oleh siapa saja di tentara Indonesia yang menguasai kekuatan-kekuatan milisi". Setelah menguraikan beberapa alasan untuk menjelaskan keterlibatan Markas Besar TNI, dia menyimpulkan, "Kombinasi faktor-faktor ini, dan mungkin faktor lain, ternyata sangat kuat sampai tentara memperbolehkan dirinya diidentifikasi begitu dekat dengan perilaku brutal dan jahat dari milisi propemerintah di Timor Timur".
Masukan lain saya dapat dari berita koran dan majalah yang saya baca setiap hari melalui internet. Tentu saja kita harus hati-hati dengan informasi itu karena pers internasional sering salah atau terlalu cepat mengambil kesimpulan yang kemudian ternyata tidak benar. Tapi saya sering sekali membaca laporan yang mengutip pengakuan pemimpin milisi sendiri tentang hubungannya dengan perwira TNI, atau laporan yang menjanjikan data yang lebih konkret, hitam di atas putih, bahwa salah satu kelompok milisi dibiayai atau dikuasai dari atas. Surat kabar USA Today edisi 20 September 1999, misalnya, memuat keterangan Inge Lempp, seorang anak pendeta yang dibesarkan di Jakarta dan kini menjadi pemantau di Same, Timor Timur. Inge mengaku merekam beberapa percakapan yang terjalin antara perwira Kopassus dan orang milisi. Katanya, "Milisi-milisi mendapat semua instruksi dari Kopassus". Seorang perwira Kopassus direkam mengatakan, "Orang bule sebaiknya dibuang ke sungai". Seorang pemimpin milisi menjawab, "Akan dilakukan".
Akhirulkalam, saya harus mengakui bahwa saya belum bisa menyimpulkan sejauh mana kebenaran berita-berita ataupun analisis yang saya kutip di atas. Saya cenderung percaya bahwa penjelasan tentang adanya kesengajaan lebih meyakinkan daripada penjelasan tentang ketidakmampuan (incompetence)—jadi, terbalik dengan pendapat saya di Washington. Tapi sebaiknya kita menunggu dulu hasil pengusutan yang baru dimulai oleh berbagai lembaga hukum internasional.
Apakah ada pelajaran dari kasus TNI dan Timor Timur yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia yang ingin mempertahankan kesatuan nasional dan mengembangkan pemerintahan demokratis? Bagi saya, dua penjelasan di atas, kesengajaan dan ketidakmampuan, tidak banyak berbeda dalam implikasinya bagi peran tentara dalam pembentukan masa depan politik Indonesia. Terus terang saja, tidak banyak yang bisa diharapkan, baik dari TNI yang inkompeten maupun dari TNI yang yakin bahwa tindakan militer akan menyelamatkan bangsa Indonesia dari musuh-musuh dalam negeri. Giliran politisi sipil, yang syukur alhamdulillah telah dipilih oleh rakyat dalam pemilu demokratis, kini telah tiba. Apakah mereka mampu? Wallahualam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini