Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini Timor Timur pun meneriakkan kemerdekaan. Kemerdekaan yang belum pernah mereka rasakan. Kemerdekaan yang dibayar dengan harga mahal. Namun, kita kiranya masih bertanya-tanya apakah kemerdekaan yang mereka peroleh dengan hasil jajak pendapat—yang dimenangi prokemerdekaan—akan benar-benar membebaskan rakyat Bumi Loro Sa’e dari rasa ketakutan terhadap ancaman, pembunuhan, pembantaian, yang sudah begitu lekat bagai parasit di dalam tubuh.
Kita mungkin akan dicap pesimistis bila menjawabnya tidak. Tetapi terlalu naif kalau kita mengatakan bahwa kemerdekaan rakyat Tim-Tim telah di ambang pintu. Dan dengan mengutip pepatah Cina bahwa kesabaran adalah kekuatan.
Kemerdekaan bukan cuma memenangi peperangan dan kemudian menyanyi sambil mengibarkan bendera kebangsaan. Kemudian membaptis sang hero untuk menjadi pemimpinnya. Kemerdekaan adalah terlepasnya kita dari rasa takut untuk makan dan minum, tertawa dan menangis. Di sana pula kita bebas berjalan dengan kaki, menunjuk dengan tangan, berlari tanpa batas, dan berhenti bila kita lelah/ingin tanpa harus memikirkan di halte mana kita turun. Namun, hal itu masih berwujud fatamorgana bagi rakyat Timor Timur.
Hasil akhir dari jajak pendapat, sebagaimana dikhawatirkan Xanana Gusmao—orang yang memberikan kontribusi besar atas kemerdekaan ini—bahwa akan terjadi kaos, pembunuhan besar-besaran dan kehancuran total, kiranya telah menjadi kenyataan. Pengungsian besar-besaran yang dilakukan rakyat Tim-Tim telah membuktikan bahwa kemerdekaan yang baru mereka peroleh belum bisa memerdekakan mereka.
Untuk itu, kita berkewajiban membantu saudara-saudara kita tersebut agar penderitaan yang mereka alami tidak melahirkan rasa frustrasi mereka akan kehidupan. Bahwa nyawa, siapa pun pemiliknya, tetaplah mahal harganya. Mereka yang panik, yang bernapas dari asap mesiu, yang berlari di antara desing peluru, yang bagi mereka kematian bagai jarak dari detik ke detik. Kiranya nurani kita yang akan menjawabnya. Bantuan kita berupa makanan, pakaian, dan tempat berteduh adalah bukti bahwa kita tetap bersaudara dengan mereka.
Ada bekas majikan, bekas suami/istri, tapi tidak dengan bekas saudara. Persaudaraan bukan ikatan bisnis yang putus apabila urusan sudah selesai. Ia lahir dari rasa kemanusiaan akibat ketanahairan yang kita miliki. Dan saudara yang baik adalah mereka yang mau mengerti apa yang diingini saudaranya. Saudara kita di Tim-Tim menginginkan berpisah, walaupun berat, selama itu untuk kebaikan mereka, marilah kita merestuinya.
Terlepas dari kesalahan Habibie yang telah memutuskan dengan tergesa-gesa opsi otonomi luas atau merdeka sendiri bagi rakyat Tim-Tim, atau menghujat keputusan Soeharto yang telah memerintahkan ABRI masuk ke Tim-Tim pada 1975. Sebaiknya kita belajar menerima kenyataan walaupun pahit. Karena bubur tak akan menjadi nasi.
Sudahlah, hentikan tuding-menuding, cukup sudah penyesalan, cukup sudah gerutuan yang akan membawa kita ke jurang kepanikan. Jadikanlah Timor Timur suatu kecelakaan sejarah yang mengingatkan kita akan kebodohan kita sendiri.
Reni Wahyuni Bahar
Jalan Muara 52F, Padang 25118
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo