Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dualisme kepemimpinan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berulang.
Kisruh PPP menegaskan buruknya sistem kelembagaan partai politik dalam menyelesaikan konflik.
Tersebab praktik klientelisme yang mementingkan kekuasaan.
APA yang terjadi pada Partai Persatuan Pembangunan adalah potret bobroknya sistem kepartaian di Indonesia. Terus-menerus didera konflik internal dan skandal korupsi yang menyeret kader hingga ketua umum, PPP melempem karena elitenya terperosok pragmatisme kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa mutakhir adalah pencopotan Suharso Monoarfa sebagai ketua umum oleh sebagian pengurus dan kader melalui musyawarah kerja nasional (mukernas) di Banten, 4 September lalu. Menjadi ketua umum pada Desember 2020, Suharso menggantikan Muhammad Romahurmuziy alias Romy yang tersandung perkara suap di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di era Romy, partai terbelah. Kubu Romy, yang merapat ke koalisi Joko Widodo, dibayangi kubu Djan Faridz, yang disokong Suryadharma Ali dan sejumlah pengurus pendukung Prabowo Subianto. Suryadharma adalah Ketua Umum PPP 2007-2016. Saat masa jabatannya tersisa dua tahun, ia dilengserkan Romy. Belakangan, Suryadharma menjadi tersangka KPK dalam kasus korupsi haji saat menjabat Menteri Agama.
Pengurus partai menuntut Suharso mundur karena ia dianggap tak cakap meningkatkan perolehan suara partai. Pada 2024 nanti perolehan suara PPP diperkirakan tak bisa melampaui ambang batas undang-undang untuk bisa masuk parlemen. Alasan lain: Suharso dianggap melecehkan ulama ketika menyebut ada budaya amplop di kalangan kiai.
Perolehan suara PPP memang terus merosot. Pada Pemilihan Umum 2019, partai Ka’bah memperoleh 4,52 persen atau setara dengan 19 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Angkanya turun dibandingkan dengan perolehan pada 2014 yang mencapai 6,53 persen atau setara dengan 39 kursi DPR. Pada Pemilu 2024, sejumlah hasil survei memprediksi PPP hanya akan memperoleh 2-3 persen suara. Padahal di awal reformasi, pada Pemilu 1999, partai itu mendapat 11 persen suara atau 58 kursi parlemen.
Mukernas Banten mencopot Suharso dan menunjuk anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Muhamad Mardiono, sebagai pengganti. Suharso melawan dan menyatakan dirinya masih ketua umum.
Undang-Undang Partai Politik sebetulnya sudah mengatur penyelesaian konflik internal, yakni melalui Mahkamah Partai. Tapi para elitenya mengabaikan mekanisme itu. Anggaran dasar ataupun anggaran rumah tangga partai dalam hal pemilihan dan pemberhentian ketua umum juga ringkih. Dalam kasus PPP, misalnya, ketua umum dipilih melalui muktamar, tapi secara sewenang-wenang bisa dicopot ketika dianggap merusak nama partai.
Kisruh PPP menegaskan buruknya sistem kelembagaan partai politik dalam menyelesaikan konflik. Hampir semua partai, baik kecil maupun besar, didera penyakit yang sama: elitenya bersaing secara tidak sehat, berlomba menjilat kekuasaan dan berebut posisi di pemerintahan.
Setelah pemilu usai, kerap kita lihat partai yang dalam pemilihan raya menentang presiden terpilih akan masuk koalisi pemerintah. Jika tidak, ketua umumnya didongkel oleh elite yang bermain mata dengan kekuasaan. Dalam pragmatisme politik, menjadi oposisi dianggap bukan pilihan yang tepat.
Sebaliknya, pemerintah pun berkubang dalam pragmatisme yang sama. Partai hanya dianggap sebagai alat untuk menopang kekuasaan lewat dukungan di DPR. Proses checks and balances tidak terjadi dan presiden, sebagai imbalan atas dukungan partai, tanpa malu-malu menjadikan pimpinan partai sebagai pembantunya di kabinet. Saat ini ada empat ketua umum partai politik yang menjadi menteri dalam pemerintahan Jokowi.
Artikel liputan:
- Bagaimana Elite PPP Mendongkel Suharso Monoarfa
- Dua Karib yang Saling Dongkel
- Nasib Koalisi Indonesia Bersatu Setelah Konflik PPP
- Wawancara Suharso Monoarfa
- Wawancara Muhamad Mardiono
Praktik klientalisme ini terjadi karena ketua umum partai dengan sukarela menjadi bawahan presiden. Mereka telah menanggalkan muruah ketua partai yang seharusnya berdiri sejajar dengan pemerintah. Kondisi ini diperburuk oleh partai yang kehilangan ideologi serta maraknya budaya patronase di lingkungan internal mereka. Saat ini pada umumnya proses pengambilan keputusan dimonopoli elite.
Mekanisme organisasi acap dikesampingkan. Partai yang didirikan tokoh menjadikan anak keturunan tokoh itu sebagai penerus. Orang di luar garis keturunan menghamba agar bisa terus berada di dalam lingkaran kekuasaan sang patron. Regenerasi tak terjadi. Kaderisasi dihambat elite partai sendiri.
Dengan kata lain, partai politik yang sejatinya merupakan perangkat penting demokrasi kini terjerat kartel, patronase, dan pragmatisme kekuasaan. Fungsi partai sebagai saluran aspirasi publik menjadi hilang. Para juragan partai sibuk bermain politik transaksional dengan pemerintah. Adapun pemilih cuma penggembira yang perannya hanya dibutuhkan pada hari pencoblosan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo