Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konstitusi 2002 dan Dua Perkara

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rizal Mallarangeng Direktur Freedom Institute, Jakarta Saya senang bahwa tiga aktivis Koalisi Ornop, yaitu Bambang Widjojanto, Todung Mulya Lubis, dan Mochtar Pabottingi, menanggapi kolom Goenawan Mohammad dan kolom saya dengan antusias. Dari mereka bertiga, kalau kita sederhanakan, ada dua soal yang menjadi biang perkara, yaitu masalah prosedural dan substansial. Yang pertama berhubungan dengan metode pengambilan keputusan yang merumuskan dan mengesahkan Konstitusi 2002 dengan empat amandemennya, sementara yang kedua berkaitan dengan substansi yang ada dalam amandemen tersebut. Dalam soal prosedur, ketiga aktivis Koalisi Ornop ini berpandangan bahwa mekanisme perumusan dan pembahasan amandemen konstitusi di Panitia Ad Hoc I serta pengesahannya dalam sidang-sidang MPR bukanlah mekanisme yang tepat. Menurut Mochtar Pabottingi, misalnya, dalam mekanisme ini terkandung apa yang disebutnya sebagai "irasionalitas prosedural". Tanpa bersandar pada argumen legal-formal, penolakan ketiganya lebih bertopang pada tudingan miring terhadap kualitas moral-personal dari kaum politisi yang duduk di lembaga MPR kita sekarang. Mereka menganggap kaum yang terakhir ini sebagai kaum partisan dengan kepentingan sempit, jangka pendek, yang tidak mewakili bangsa secara keseluruhan, dan karena itu tidak layak diberi kewenangan merumuskan konstitusi. Argumen semacam ini agak mengherankan. Sebab, kaum aktivis di Koalisi Ornop sebenarnya meminta mandat dari MPR untuk membentuk komite konstitusi. Dan juga kita tahu bahwa selama beberapa tahun terakhir ini Koalisi Ornop cukup aktif melobi dan mempengaruhi kaum politisi di Senayan untuk menerima ide-ide mereka. Saya sebenarnya khawatir bahwa tudingan miring tadi lebih disebabkan oleh ketidakberhasilan mereka untuk secara sepenuhnya menyuntikkan konsepsi mereka kepada kaum politisi di MPR. Jika sejumlah wakil rakyat tidak setuju pada konsepsi yang datang dari Koalisi Ornop, mengapa mereka harus dituding sebagai orang berpikiran sempit? Bukankah yang terjadi di sini adalah perbedaan konsepsi yang wajar adanya antara pihak yang satu dan yang lainnya? Terus-terang, di sini saya mencium aroma Brahminisme politik yang berlebihan. Bambang Widjojanto, misalnya, berkata bahwa "koalisi kami adalah Koalisi untuk Konstitusi Baru, karena melibatkan banyak pihak di luar komunitas LSM seperti kaum intelektual dan para guru besar yang menggunakan rasionalitas politik dan nurani keberpihakannya tidak pada kepentingan politik jangka pendek dan keinginan `sesembahan' politiknya." Pandangan semacam ini dalam substansinya bersifat otoritarian, sesuatu yang ironis dikatakan oleh tokoh-tokoh yang ingin mengusulkan konstitusi demokratis. Soeharto dan kaum militer pada era Orde Baru, serta Sukarno pada zaman Orde Lama, pada dasarnya berpandangan sama: kaum politisi di partai dan parlemen berpikiran sempit, karena itu kewenangan mereka harus dilucuti. Masyarakat harus dipimpin oleh kaum terpilih—pemimpin revolusi, jenderal, intelektual, guru besar, teknokrat, dan semacamnya—yang "rasional", berpikiran jauh ke depan, tanpa kepentingan politik sesaat. Dalam hal inilah sebenarnya terletak salah satu perbedaan antara saya serta Goenawan Mohamad dan ketiga aktivis Koalisi Ornop tersebut. Kami tidak berpikir bahwa ada satu golongan pun yang berhak mengatakan bahwa dirinya adalah pihak yang mewakili nurani dan kebenaran (atau, dalam istilah favorit Mochtar Pabottingi cs., "kepentingan jangka panjang"). Para guru besar dan kaum intelektual pun bisa berpikiran sempit, dengan moral yang bobrok. Titik berangkat kami berdua adalah Pemilu 1999. Dengan segala kekurangannya, pemilu ini adalah pemilu yang sah, yang menghasilkan sekian banyak politisi di parlemen yang berhak mengatakan bahwa merekalah wakil rakyat yang legitimate. Dan dalam sistem hukum kita, salah satu kewenangan mereka adalah mengubah dan merumuskan konstitusi. Tentu saja, aspek legal-formal dan prosedural semacam ini bukanlah akhir dari semua argumen. Bisa saja sebuah metode pengambilan keputusan yang benar dan sah menghasilkan sebuah hal yang secara substantif keliru, serta dalam konsekuensinya berbahaya secara ekstrem bagi rakyat banyak. Jika hal ini terjadi, terbuka kemungkinan untuk mengkritik, bahkan menolak metode yang sah tersebut. Karena itu, hasil atau produk keputusan yang dihasilkan oleh suatu prosedur yang benar juga perlu dikaji. Jadi, dalam hal ini yang harus dilihat bukanlah kualitas para perumusnya (kaum politisi di parlemen, misalnya) tetapi produk-produk konkret yang mereka hasilkan. Di sinilah biang perkara berikutnya yang dipersoalkan oleh Bambang Widjojanto, Todung Mulya Lubis, dan Mochtar Pabottingi harus dipersoalkan. Betulkah, seperti yang dikatakan oleh Mochtar Pabottingi, misalnya, bahwa secara substansial "[h]asil rangkaian amandemen atas UUD 1945 sama sekali tidaklah memodali negara kita untuk melangkah lebih maju…"? Dalam konteks transisi demokrasi, apakah Konstitusi 2002 dengan empat amandemennya sepenuhnya merupakan langkah mundur, atau sebaliknya? Untuk mendukung pendapat yang sama sekali negatif, seperti yang dilontarkan oleh Mochtar Pabottingi, harus ada susunan argumen yang logis yang menerangkan bahwa pemilihan langsung presiden dengan dua tahap, misalnya, atau pelucutan wewenang MPR dalam menunjuk presiden sebagai mandataris adalah hal-hal yang akan meruntuhkan atau mengacaukan proses transisi demokrasi. Sayangnya, Mochtar Pabottingi cs. tidak kunjung membangun argumen semacam itu. Yang muncul adalah argumen-argumen yang mencampuradukkan antara apa yang ada dalam aturan-aturan tertulis yang merupakan produk hukum tertinggi (konstitusi) dan kenyataan bobroknya situasi politik kita sekarang ini. Kita bisa sepaham bahwa situasi politik sekarang sedang dalam krisis yang menyedihkan, tetapi kita bisa berbeda soal dalam melihat apakah sebuah aturan merupakan aturan yang baik dan ideal untuk membantu menyelesaikan krisis tersebut. Selain itu, ada pula argumen-argumen mereka yang menyamakan begitu saja kelemahan yang merupakan bagian dari ketidaksempurnaan dengan kekeliruan yang secara ekstrem berbahaya bagi perikehidupan demokrasi. Dalam soal hubungan DPR dan presiden, misalnya, seperti yang saya singgung dalam kolom saya sebelumnya, sayang sekali bahwa prinsip check and balance tidak tampak secara eksplisit. Bagi Bambang Widjojanto dan Mochtar Pabottingi, kelemahan semacam ini menandakan bahwa langit sudah runtuh. Mereka lupa bahwa prinsip itu tetap terkandung dalam Konstitusi 2002, walau secara implisit. Bahwa hal ini bisa membawa konflik kelembagaan di masa depan, tentu saja. Tapi konflik semacam ini, kalau toh terjadi, tetap bisa dihadapi secara kreatif dalam aturan-aturan yang ada (oleh Mahkamah Konstitusi, misalnya). Dalam hal ini harus diingat bahwa di Amerika Serikat hingga hari pun ini ketegangan kelembagaan dalam kasus-kasus tertentu, antara lembaga presiden dan Kongres dalam memutuskan tindakan ekstrem seperti perang, masih tetap terjadi. Jadi kelemahan memang ada, tetapi Goenawan Mohamad dan saya melihatnya lebih sebagai bagian dari ketaksempurnaan yang mungkin tidak dapat dihindari dari proses politik demokratis, setidaknya untuk saat ini. Singkatnya, buat kami, langit belum runtuh. Malah sebaliknya. Dari segi substansinya, empat amandemen yang dikandung dalam Konstitusi 2002 adalah sebuah lompatan ke depan dalam konteks transisi demokrasi. Sejak awal kemerdekaan, salah satu soal besar yang ada dalam sistem ketatanegaraan kita adalah masalah yang berhubungan dengan hak-hak politik individu dan kewenangan negara. Kemerdekaan berpendapat, misalnya, diakui secara malu-malu, yang membuka kemungkinan bagi aparat negara untuk mengesahkan secara hukum tindakan mereka yang merampas kebebasan berpendapat. Sukarno melakukan hal ini, demikian pula Soeharto. Mereka dapat melakukan hal demikian tanpa jelas-jelas dianggap melanggar UUD 1945. Sekarang semua itu sudah berbeda, karena pengakuan terhadap hak-hak politik individu ditulis secara eksplisit, tidak lagi malu-malu. Kalau Mochtar Pabottingi cs. mengatakan bahwa tidak ada paradigma baru yang tampak dalam Konstitusi 2002, saya kira mereka keliru: pergeseran perimbangan legal antara negara dan individu, antara otoritas publik dan batas kebebasan, adalah pergeseran paradigmatik yang tidak kecil artinya. Kaum politisi, kata Alexander Pope, penyair Inggris abad ke-18, tak mungkin terhindar dari kearifan-kearifan masa silam. Kalimat-kalimat yang tertulis dalam Konstitusi 2002 mungkin memang cukup sederhana, tapi ia adalah hasil pergulatan panjang dalam sejarah, yang dari segi konseptual perdebatannya sudah dimulai bukan hanya sejak adanya Panita Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tiga tahun silam, tetapi sudah ada sejak awal kemerdekaan, bahkan sejak awal pergerakan kebangsaan kita. Demikian pula dengan beberapa pasal lainnya, seperti bertahannya hubungan agama dan negara sebagaimana yang selama ini telah kita kenal, bergesernya kekuasaan pusat ke daerah, munculnya lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah serta Mahkamah Konstitusi, serta diterimanya metode pemilihan presiden secara langsung. Semua ini adalah unsur kelembagaan baru yang telah hadir dalam bentuk gagasan di masyarat bukan hanya dalam era reformasi dalam empat tahun terakhir ini. Bahwa semua itu tidak otomatis akan membuat kita lebih demokratis secara seketika, saya kira kita semua sepakat. Tetapi pandangan yang mengatakan bahwa unsur-unsur baru itu sama sekali tidak berguna, atau justru akan menghambat proses demokrasi, pada hemat saya adalah pandangan yang terlalu pesimistis. Karena itulah mungkin tidak berlebihan jika peran MPR dalam mengetuk hasil akhir rangkaian perubahan konstitusi pada Agustus silam diberi apresiasi yang layak. Apa yang perlu dikecam harus dikecam. Demikian pula, jika sesuatu yang baik muncul, seharusnya kita bisa berkata, our compliment is in order. Dan yang menarik buat saya adalah sebuah fakta bahwa pembaruan penting bisa juga dilahirkan oleh sebuah lembaga perwakilan yang tak berisi tokoh pendiri bangsa sekaliber Sukarno, Hatta, Sjahrir. Para politisi di Senayan saat ini hanyalah sejenis aktor di panggung publik yang dengan mudah padanannya dapat kita temukan di lembaga parlemen di negeri demokratis mana pun. Sebagian orang mungkin menangis sedih, dan sebagian lagi meluapkan kecaman, terhadap ketiadaan tokoh-tokoh besar tersebut. Tapi bagi saya justru di situlah salah satu kelebihan Konstitusi 2002: ia lahir lewat tangan-tangan kaum politisi yang, seperti kata Goenawan Mohamad, bukanlah wakil Tuhan, dan bukan pula wakil para setan. Dari tangan-tangan seperti itu tak terhindarkan adanya berbagai kelemahan. Tapi republik kita memang bukan republik Plato, di mana kesempurnaan datang dalam sebuah paket besar sekaligus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus