Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Taguan dan Keindonesiaan

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seno Gumira Ajidarma Fotografer, pegawai Pusat Dokumentasi Foto Jakarta-Jakarta Taguan Harjo meninggal pada Rabu, 25 September 2002, di Jakarta. Di negeri yang begitu ajaib seperti Indonesia, siapa yang peduli dengan perginya seorang komikus? Seperti juga riwayat komik Indonesia, Taguan pergi seperti bayangan malam yang ditelan matahari pagi—begitu nyata, tapi tiada seorang pun menyadarinya. Disebut nyata karena Taguan adalah bagian dari pembentukan makna yang disebut Indonesia. Tanpa Taguan, sejarah komik Indonesia akan menjadi lain, dan wajah kebudayaan Indonesia tidak akan pernah sama. Riwayat hidup Taguan sendiri menjelaskan bagaimana Indonesia dibentuk oleh berbagai persilangan budaya. Atas jasa Arswendo Atmowiloto, kita bisa mengikuti riwayat Taguan di harian Kompas tahun 1970-an (Tiga yang Berharga: Abdulsalam, Zam Nuldyn, Taguan Harjo). Ia dilahirkan pada tahun 1935 di Suriname, dari seorang ayah berdarah Jawa dan ibu berdarah Belanda. Sulung dari 14 adik ini pulang ke tanah asal pada 1953, setelah orang tuanya berpisah. Ibunya kembali ke Belanda dengan separuh dari jumlah saudaranya. Ayahnya membawa Taguan, yang hanya bisa berbahasa Belanda, ke Sumatera Barat. Maksud sang ayah mengolah tanah seluas 250 hektare, tapi Taguan lebih cocok dengan pekerjaan sebagai "pelukis teknik" pada perusahaan kereta api di Deli, untuk membuat denah. Artinya, sebagai penggambar, Taguan Harjo menjadi bagian dari semangat Cartesian, merepresentasikan realitas dengan prinsip clear and distinct, jelas dan terpilah-pilah. Ia bekerja dengan epistemologi ilmu pengetahuan modern. Taguan, yang saat itu hanya menguasai bahasa Belanda, tentu adalah ilustrasi menarik tentang bagaimana kolonialisme justru menjadi bagian tak terpisahkan dari pasca-kolonialisme. Adalah kolonialisme Belanda yang tanpa dikehendakinya melahirkan Indonesia, dan proses kreatif seorang penggambar seperti Taguan sedikit-banyak memperlihatkan bahwa keindonesiaan itu ternyata tidak dibentuk oleh "puncak-puncak kebudayaan daerah", melainkan hubungan kuasa-kuasa dalam perilaku sosial-ekonomi sehari-hari. Dua tahun kemudian, Taguan Harjo pindah ke Medan, menikah, dan mulai membuat komik. Tokoh pertama yang dibuatnya adalah Tjip Tupai, yang diakuinya sebagai pengaruh Walt Disney—representasi industri hiburan Amerika alias hegemoni politik dagang kapitalisme. Meskipun begitu, dalam karya-karya selanjutnya, dari tahun 1957 sampai 1964—tahun-tahun produktif Taguan—kemampuannya sebagai "pelukis teknik" yang Cartesian itu terjelmakan dalam realisme komik Indonesia yang sangat kental corak kenusantaraannya. Dengan teknik arsir yang canggih, Taguan Harjo melahirkan wajah-wajah yang sangat Indonesia—suatu pencapaian yang bahkan tak pernah diraih para komikus kondang dari generasi kemudian, seperti Jan Mintaraga dan Teguh Santosa, yang sudah lebih dulu almarhum. Dengan komik bersambung seperti Mentjari Musang Berdjanggut (1958) yang sangat populer, Taguan Harjo boleh dicatat ikut menegakkan media komik sebagai legitimasi eksistensi Indonesia. Komik satire-politik inilah yang digambar ulang dan terbit kembali pada 1991. Tindakan ini bisa dibaca sebagai resistansi pendekar tua terhadap gelombang komik Jepang, yang diimpor, diadaptasi, dan dipasarkan para kapitalis Indonesia sendiri. Dari rencana tiga komik, bersama Setangkai Daun Surga dan Di Batas Firdaus, yang terakhir itu tidak jadi terbit kembali. Rupa-rupanya gelombang komik Jepang yang disebut manga itu memang tak tertahankan. Padahal, Di Batas Firdaus membawa Indonesia ke suatu metacultural discourse yang menurut saya sangat penting, seperti bisa diikuti dari sinopsis berikut. "Perang nuklir memusnahkan negara-negara di bumi, menyisakan seorang ayah dan Miranda, anak gadisnya, di sebuah pulau. Demi kelanjutan kemanusiaan, sang ayah bermaksud mengawini anaknya itu, yang menolak atas nama moralitas. 'Nabi Adam pun tidak melakukannya,' kata sang anak. Lantas, terdamparlah manusia lain, yakni Si Hitam, yang buruk rupa dan berbusana lelaki. Bukannya menemukan jalan keluar, si ayah malah merasa Si Hitam jadi saingan. Alhasil, justru Si Hitam menggagalkan usaha pemerkosaan ayah terhadap Miranda. Ternyata, Si Hitam yang busananya terkoyak adalah seorang perempuan." Di tahun 1960, ketika Indonesia hiruk-pikuk dengan pertarungan ideologis yang banal, Taguan telah melompat jauh dengan perbincangan ras dan gender yang mengatasi keindonesiaan. Biografi Taguan memang menggambarkan Indonesia yang lain. Indonesia bukanlah utopia "persatuan dan kesatuan". Indonesia adalah keterpecah-pecahan yang menuntut dialog dalam perbedaan. Nah, masihkah peran seorang komikus bisa disepelekan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus