Susanto Pudjomartono
Wartawan senior
Kini bukan hanya korupsi, dusta ternyata juga makin bersimaharajalela di antara kita. Jaksa Agung M.A. Rachman dituding telah berdusta dengan tidak melaporkan seluruh kekayaannya. Ketua DPR Akbar Tandjung dipercaya telah melakukan dusta publik dalam kasus penyaluran dana Bulog. Sejumlah anggota DPR diduga telah berbohong dengan tidak mengakui bahwa mereka telah menerima suap.
Dusta hampir sama tuanya dengan umur manusia. Lebih dari seribu tahun silam, Samson, yang sedang tergila-gila pada Delilah, masih juga bisa berdusta. Konon, saat sedang bercinta, Delilah bertanya kepada Samson tentang rahasia kekuatannya. Samson mengaku bahwa bila ia diikat dengan sejenis dedaunan tertentu, kekuatannya akan hilang. Delilah, yang dibayar orang-orang Philistin yang ingin menangkap Samson, lalu mengikat Samson dengan daun-daun tersebut begitu Samson tertidur.
Namun, tatkala sejumlah serdadu Philistin datang untuk menangkapnya, dengan mudah Samson membebaskan diri dan menghajar para serdadu tadi. Delilah tak putus asa. Pada dua kesempatan bercinta lain, ia membujuk Samson untuk mengungkapkan rahasianya. Tapi dua kali lagi pula Samson berdusta kepada Delilah.
Delilah, yang meradang karena tiga kali dibohongi, kembali merayu Samson sebegitu rupa hingga Samson terlena lalu mengaku bahwa rahasia kekuatannya ada pada rambutnya. Sewaktu Samson tidur, Delilah pun memotong rambut panjang Samson hingga dengan mudah tentara Philistin bisa menangkap Samson lalu membutakan kedua matanya.
Kisah itu menunjukkan cinta dan dusta ternyata bisa berpasangan. Maka di kamar tidur pun sering terjadi dusta. Menurut penelitian ahli seksologi Shere Hite, lebih dari separuh perempuan berdusta dengan berpura-pura telah mencapai orgasme begitu selesai bercinta dengan pasangannya. "Umumnya mereka melakukannya agar pasangannya senang," kata Hite.
Pendek kata, dusta mirip coca-cola. Ia bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan bisa dilakukan siapa saja.
Dari segi hukum, yang cenderung mencari "kebenaran", dusta merupakan pelanggaran. Tapi, dari segi etika, tidak banyak tokoh yang secara hitam putih mengharamkan setiap jenis dusta. St. Augustine menganggap bahwa segala macam dusta adalah dosa karena dilakukan dengan tujuan menipu hingga karenanya bertentangan dengan maksud Tuhan memberi kemampuan berbicara pada manusia. Sedangkan Immanuel Kant, dalam Doctrine of Virtue, beranggapan bahwa dengan melakukan dusta seseorang sebenarnya telah membuang sendiri martabatnya sebagai manusia.
Dari sisi sebaliknya, Nietzsche malah menganggap "dusta itu perlu". Agar bisa bertahan hidup, kata Nietzsche, orang perlu berdusta. Machiavelli juga berpendapat, dusta dan penggunaan kekerasan merupakan kombinasi strategi yang tepat untuk menghadapi musuh. Sedangkan Hitler dalam Mein Kampf menegaskan bahwa dusta adalah bagian penting dalam propaganda, dan "massa yang berjumlah besar lebih gampang dibohongi dibandingkan dengan yang lebih sedikit".
Umumnya dusta dibagi dua: dusta putih dan dusta hitam. Dusta putih adalah kebohongan yang dilakukan tanpa maksud jelek. Hampir semua orang pasti pernah melakukannya. Hanya dengan menulis surat dengan awalan "Dengan hormat", yang sebetulnya hanya basa-basi, seseorang sebenarnya telah berdusta.
Bersalahkah seorang dokter yang berdusta pada pasiennya dengan menyuntikkan vitamin tapi mengatakan bahwa itu adalah obat (plasebo)? Apakah orang tua yang berbohong pada anaknya bisa dibilang tidak jujur?
Dusta seperti itu umumnya dianggap dusta putih. Begitu juga dusta yang diucapkan untuk menghibur orang yang sedang sakit atau sekarat.
Sedangkan dusta hitam adalah kebohongan yang sengaja diucapkan dengan tujuan untuk menipu dan didasari pada ketidakjujuran dan menjauhi kebenaran. Bila dusta sudah begitu mendunia, apakah masih mungkin kita bisa menemukan "kebenaran" (the truth, the whole truth and nothing but the truth)? Banyak yang berpendapat kebenaran mutlak memang hampir tidak mungkin didapat, yang mungkin hanya "mendekati kebenaran".
Dusta terkadang begitu absurd sehingga semua orang bisa menciumnya. Tatkala seseorang mengatakan bahwa selama berbulan-bulan ia menyimpan uang puluhan miliar rupiah di rumahnya, dan sesekali "mengangin-anginkannya" agar tidak rusak, maka semua orang pun yakin bahwa ia telah berdusta.
Banyak dusta yang masuk dalam wilayah abu-abu, dianggap salah atau tidak bergantung pada persepsi nilai yang ada pada masyarakat. Apakah berdusta pada seorang pembohong dianggap salah? Apakah berdusta untuk "kepentingan nasional" merupakan dosa?
Di Indonesia, agaknya kita perlu waspada karena makin kuat indikasi bahwa makin banyak pejabat yang menganggap berdusta itu sesuatu yang lumrah hingga karena itu tak perlu malu atau berdosa. Rasanya perlu ada semacam gerakan moral dan gerakan hukum untuk menekan para penegak hukum kita agar bertindak lebih tegas pada penerima suap dan pejabat pendusta.
Soalnya kita sering digolongkan sebagai bangsa pendusta karena punya "pusat latihan" yang bernama pasar tradisional. Di pasar semua orang yang melakukan tawar-menawar berbohong: penjual memuji-muji dagangannya dan sang pembeli menjelek-jelekkannya. Tidak ada rasa bersalah karena bukankah itu dusta putih yang wajar dan memang menjadi bagian dari kebudayaan kita?
Lalu di mana para pejabat kita belajar berdusta? Bukankah mereka tidak pernah menginjakkan kaki di pasar tradisional? Atau mungkinkah karena mereka sering berkaraoke menembangkan"Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati?". Bukankah semestinya yang dinyanyikan adalah "Jangan ada dusta di antara kita"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini