Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Misi Tak Jelas Indonesia di COP29

Indonesia menunda penyerahan dokumen NDC terbaru di COP29. Mengapa kontradiktif dengan rencana aksi iklim?

29 November 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada kesan akan sulit mengakurkan berbagai target aksi iklim itu dengan tujuan pembangunan ekonomi pemerintahan baru.

  • Agar sejalan dengan upaya global, target Indonesia harus lebih ambisius dan memihak hak asasi manusia, hak masyarakat adat, serta transisi energi yang berkeadilan.

  • Tekad pemerintahan baru untuk melambungkan angka pertumbuhan ekonomi ke level 8 persen dalam lima tahun ke depan menimbulkan pesimisme.

BERBAGAI kontradiksi terlihat jelas dalam misi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Conference of Parties 29 (COP29) yang digelar di Baku, Azerbaijan, pada 11-22 November 2024. Aneka kontradiksi yang ironis itu yang kemudian membekas setelah acara berakhir, pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak tiba di Baku, Ketua Delegasi Indonesia yang juga utusan khusus sekaligus adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, mengemukakan agenda “diplomasi” yang dibawa delegasi Indonesia ke forum di Baku Olympic Stadium. Agenda itu antara lain aksi-aksi mitigasi serta adaptasi krisis iklim yang sedang dan akan dilakukan Indonesia. Namun ada kesan akan sulit mengakurkan berbagai target aksi iklim itu dengan tujuan pembangunan ekonomi pemerintahan baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi iklim Indonesia, sesuai dengan komitmen dalam kerangka Perjanjian Paris, berfokus pada hutan dan penggunaan lahan atau forestry and other land use (FOLU) serta energi. Keduanya adalah sektor yang menuntut pengurangan emisi gas rumah kaca—karbondioksida dan lain-lain—secara drastis.

Dari kedua sektor itu, Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca mencapai 94 persen dari total target penurunan emisi dengan upaya sendiri. Adapun, hingga 2030, Indonesia menargetkan pengurangan emisi dari dua sektor itu mencapai 31,89 persen. Target itu tertuang dalam komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca nasional termutakhir atau enhanced nationally determined contribution (NDC).

Saat ini banyak pihak sedang menunggu penerbitan dokumen NDC kedua, yang penyusunannya merupakan mandat Perjanjian Paris—persetujuan yang mengikat negara-negara peserta COP21 di Paris pada 2015. Mulanya Indonesia hendak merilis dokumen rencana pengurangan emisi karbon nasional dan langkah-langkah adaptasi dampak perubahan iklim ini di COP29. Namun rencana itu ditunda, salah satu alasannya adalah akan ada penyesuaian dengan target ekonomi pemerintahan baru.

Penyerahan dokumen NDC kedua kepada Kerangka Kerja Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) harus dilakukan paling lambat pada Februari 2025. Agar sejalan dengan upaya global, target Indonesia harus lebih ambisius dan memihak hak asasi manusia, hak masyarakat adat, serta transisi energi yang berkeadilan.

Namun tekad pemerintahan baru untuk melambungkan angka pertumbuhan ekonomi ke level 8 persen dalam lima tahun ke depan menimbulkan pesimisme bahwa ekspektasi atas target pengurangan emisi Indonesia yang baru dapat terwujud.

Keraguan ini muncul karena pemerintahan Prabowo Subianto telah menetapkan sejumlah tumpuan target pertumbuhan yang bakal dikejar itu. Aneka tumpuan pertumbuhan itu adalah sektor-sektor ekstraktif yang selama ini justru menjadi sumber emisi karbon, di samping faktor perusak lingkungan dan perampas sumber-sumber penghidupan masyarakat adat dan komunitas lokal.

Sudah menjadi aksioma bahwa makin tinggi pertumbuhan ekonomi, bertambah besar pula konsumsi material dan energi—yang digunakan untuk kegiatan produksi maupun konsumsi. Hingga saat ini belum ada cara yang valid—semaju apa pun teknologi yang digunakan—yang dapat melepaskan sepenuhnya keterkaitan di antara dua hal ini.

Berkaca dari hal itulah target pertumbuhan ekonomi pemerintahan baru menjadi problematik. Program penghiliran sumber daya alam, yang terus-menerus digemakan, sudah pasti bakal meningkatkan pengurasan isi bumi, seperti batu bara, nikel, dan bahan-bahan tambang lain. Pembukaan lahan sudah pasti tak terhindarkan. Lalu konsumsi energi untuk smelter yang mayoritas sumbernya masih menggunakan bahan bakar fosil juga akan meningkat.

Rencana lain yang juga problematik adalah rencana perdagangan karbon yang diungkapkan Hashim di COP29. Meski bukan barang baru, menjadikan karbon yang terkandung di area hutan yang dapat dilindungi dan dikelola dengan baik sebagai “komoditas” untuk diperdagangkan melalui skema carbon offset, atau penetral atas emisi yang tak terhindarkan dari kegiatan ekonomi, hanya terlihat indah di atas kertas.

Dalam praktiknya, skema carbon offset hanya akan menguntungkan kalangan tertentu dan cenderung menimbulkan moral hazard. Para “pencemar”, yakni korporasi-korporasi penguras sumber daya alam dan perusahaan penghasil bahan bakar fosil, bisa mudah berdalih, “Tidak apa-apa menjadi penghasil polusi, toh bisa membayar.”

Fakta bahwa hutan, seperti halnya laut dan lahan lainnya, merupakan penyerap karbon—bahkan hingga setengah dari karbon yang dihasilkan manusia—memanglah anugerah. Namun kondisi ini bisa berubah, terutama dengan makin naiknya suhu bumi. Temuan awal dari penelitian berdasarkan kondisi tahun lalu, ketika suhu tercatat mencapai level tertinggi, menunjukkan bahwa hutan hampir tak menyerap karbon. Hal ini pertanda bahwa alam tidak bisa terus-menerus dipaksa untuk menetralkan dampak dari ulah manusia.

Karena itu, rencana pengembangan bisnis karbon saja tidaklah cukup. Hal yang paling mendesak untuk dilakukan adalah penghentian sama sekali deforestasi dan perusakan alam. Situasi krisis iklim saat ini sudah tak bisa lagi menoleransi pengalihfungsian hutan dan ekosistem vital lain seperti lahan basah. Maka, pemerintah wajib mengkaji ulang proyek-proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi dan dam raksasa sebagai opsi transisi ke sumber-sumber energi terbarukan. Begitu pula dengan rencana penggunaan biofuel dan lumbung pangan atau food estate.

Upaya menurunkan emisi adalah hal ihwal alokasi sumber daya. Dalam konteks perundingan mengenai pendanaan, terutama yang berlangsung dan menjadi agenda pokok di COP29, isu ini masih berkenaan dengan dana siapa, ada di mana, bagaimana membaginya, dan siapa yang berhak.

Tapi, bagi Indonesia, satu hal seharusnya jelas: dana untuk perlindungan hutan dan ekosistem harus berupa hibah atau pembayaran berdasarkan hasil (result-based payment). Pendirian ini harus dipertahankan sekalipun COP29 telah menyepakati aliran dana US$ 300 miliar per tahun hingga 2035 ke negara-negara berkembang—sebagai bagian dari US$ 1,3 triliun per tahun dari berbagai sumber yang akan diupayakan melalui kerja sama berbagai pihak.

Utang bukanlah opsi; ironis kalau upaya menghindarkan bencana yang tidak ditimbulkan sendiri itu bergantung pada utang. Kita harus memahami bahwa, dalam urusan perubahan iklim, pihak yang sebetulnya berutang adalah negara-negara maju. Merekalah yang secara historis merupakan penghasil polusi yang paling utama; merekalah yang harus memikul tanggung jawab paling besar. Mereka harus membayar. Dan sekaranglah saatnya membayar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus