Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang Cleopatra bertakhta di pucuk Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kita tak tahu mengapa Najjat al-Hajjaji dijuluki Cleopatra oleh para diplomat Eropa, tetapi kita mampu membaca kemarahan negara Barat atas terpilihnya diplomat wanita ini sebagai ketua lembaga yang sangat prestisius itu: dia berasal dari dan mewakili Libya.
Nama Libya, tak bisa tidak, menyarankan sejumlah jejak sejarah; identitas dan reputasi hak asasi manusia. Dipimpin Muammar al-Qadhafi sejak ia menggulingkan Raja Idris I sejak tahun 1969, Libya jauh dari kata demokrasi dan kebebasan berekspresi. Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara itu?antara lain absennya pemilu yang bebas, sistem yudisial yang independen, terjadinya penangkapan sewenang-wenang?sedemikian berakar hingga pemilihan seorang warga Libya untuk menduduki pucuk pimpinan lembaga itu mengobarkan kontroversi: apa kualifikasi Libya untuk bisa duduk pada posisi itu? Meski Najjat "Cleopatra" al-Hajjaji duduk di sana sebagai konsekuensi sistem demokrasi ketika dari 53 anggota Komisi ia dipilih oleh 33 negara (hanya AS, Kanada, dan Guatemala yang menentang, dan 17 negara yang abstain), negara-negara Barat masih sukar menerima kenyataan ini (baca Gagal Menjegal Cleopatra, di rubrik Luar Negeri).
Peristiwa ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, harus dipahami bahwa sejarah dan reputasi Libya baik di dalam negeri maupun di panggung internasional (kasus pengeboman pesawat penumpang Pan Am di Lockerbie tahun 1988, peristiwa penjatuhan pesawat penumpang UTA di Niger tahun 1989, dan serangan di sebuah diskotek di Berlin tahun 1986) memang hitam. Karena itu, secara logis, duduknya Najjat sebagai Ketua Komisi HAM PBB dipertanyakan obyektivitasnya: apakah dia akan menyerukan pemilu bebas di Libya, misalnya? Apakah dia akan menekan negara asalnya itu agar menghentikan penyiksaan atau penangkapan sewenang-wenang? Pemilihan Najjat?sebagai wakil dari Libya?bahkan dianggap sebagai sebuah pengkhianatan terhadap hak asasi manusia, bukan karena posisi Najjat sebagai individu, melainkan karena ia mewakili negaranya yang dianggap berlumur bercak pelanggaran hak asasi manusia.
Kedua, dari spektrum yang berlawanan, seharusnya kita juga bisa memahami bahwa suara 33 negara yang mendukung Najjat (sebagai wakil dari Libya) sesungguhnya bukan ingin memberi glorifikasi kepada Libya, melainkan sebuah protes keras terhadap dominasi AS di panggung internasional. Dominasi AS, yang semakin melesat setelah Soviet dan Eropa Timur runtuh dari peta kekuatan politik, semakin sulit ditoleransi terutama di bawah kepemimpinan Presiden George W. Bush. Keputusan AS untuk menyerang Irak?yang bertindak di luar mandat PBB?dan keputusan AS membuat daftar 25 negara sebagai sarang terorisme semakin menjauhkan AS dari simpati dunia, bahkan dari dalam negaranya sendiri.
Posisi Najjat al-Hajjaji tentu tak mudah karena ia duduk di kursi itu mewakili negaranya tetapi sekaligus ia juga diharapkan akan?seperti diutarakan oleh High Commissioner PBB, Sergio Vieira de Mello?mampu "mewakili kepentingan semua anggota PBB dan tak akan merepresentasikan Libya". Jika De Mello tidak berbasa-basi, artinya salah satu tugas utama Al-Hajjaji di hari-hari awalnya di kursi panas itu adalah menatap ke negerinya sendiri dan mempertanyakan satu per satu prinsip-prinsip dasar hak asasi manakah yang sudah (atau belum) dijalankan oleh negaranya. Artinya, integritas Najjat akan terus-menerus ditantang?akhirnya sebagai individual?untuk mampu menerapkan prinsip hak asasi manusia pertama-tama di negara asalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo