WAKTU itu tahun 1796, dan rupanya manusia sudahmampu berembuk
sesamanya untuk suatu perkara. Tidak hilir mudik sesuka hati.
Golongan Republiknya Jefferson punya pikiran bagus membentuk
caucus (bukan caucus) untuk menetapkan siapa gerangan yang
punya potongan cukup jadi calon wakil presiden maju bersama
Jefferson selaku presiden. Kendati tidak ada persetujuan yang
bisa disepakati dalam pertemuan caucus itu, setidaknya sudah
jadi preseden. Hingga di tahun 1800 para anggota Kongres bertemu
dan saling sepakat, bahwa pasangan yang bakal maju adalah Thomas
Jefferson dan Aaron Burr. Rupanya mula pertama caucus mencari
seorang presiden dan wakil presiden yang mengena.
Kalau pihak Republik bisa membikin caucus, mengapa kita tidak.
pikir kaum federalis. Lagi pula berapa sih ongkos bikin caucus
itu. Cukup selusin dua kursi, meja panjang, es sirup yang
dituang di cangkir dan sepotong palu. Berhubung dulu kala belum
ada mikropon, hadirin sebaiknya setengah berteriak hingga tidak
ada kalimat terlewat.
Dalam tahun 1800 itu pula caucus pihak federalis berhasil
sepakati calon presiden dan wakil. Masing-masing John Adams dan
Charles C. Pinckney. Kendati sekarang ini kata caucus dikacaukan
begitu saja dengan konperensi, sebutan caucus selain punya makna
lebih historis, juga kedengaran lebih mendirikan bulu roma. Dan
tentu saja lebih sulit diingat.
Keaksian caucus tidak awet, tak lama kemudian memudar. Apa pula
arti caucus (di Amerika, Iho) bila politisi yang berhadir tidak
semuanya wakil rakyat terpilih, atau berasal dari daerah yang
tidak kebagian kursi? Meski dicoba saja semacam caucus-campuran
antara politisi terpilih dan politisi tak terpilih di dewan
perwakilan, merosotnya bobot caucus tidak ketulungan lagi.
Dan sebagai gantinya muncullah forum konvensi dalam dunia
politik Amerika. Tak salah lagi, konvensi politis ini merupakan
sistem alternatif yang baru dikenal di abad XIX. Caucus atau
konvensi, urusannya itu-itu juga: menetapkan siapa calon
presiden dan wakilnya yang bakal maju. Caucus atau konvensi
keduanya tidak termaktub dalam konstitusi.
Orang Badui tidak kenal caucus. Mendengar pun belum. Tapi mereka
kenal konvensi. Bila satu suku menyerbu suku lain, mereka tidak
diperkenankan menggondol barang, tidak diperkenankan menyaut
kompor, atau mengganggu wanita. Mereka boleh mengambil unta,
karena kalau tidak boleh juga maka kata serbuan akan kehilangan
makna.
MEREKA dilarang membikin ribut antara mentari terhenam hingga
fajar, karena perbuatan ini hanya akan bikin kaget. Kalau saja
suku yang bermusuhan itu datang bagai tamu, bukan bikin onar,
mereka akan disambut baik-baik selama tiga hari, kopi di cangkir
kecil dihidangkan, domba piaraan akan tergorok lehernya, jadi
hidangan sesudah dikecroti bumbu ala kadarnya. Ini juga
konvensi.
Di negeri kita kata caucus sudah dikenal 5 tahun lampau. walau
mulanya menjadi tanda tanya semata-mata karena bunyinya yang
ganjil. Kini juga barisan caucus sudah siap di tempat tinggal
menyuarakan pikiran mereka yang penting, jadi pegangan
berjuta-juta orang, termasuk mereka yang belum paham betul apa
sebetulnya arti caucus. Paham tidak paham bukan soal, karena
makin besar masalah makin kecil lingkaran pengambil keputusan.
Dan yang lebih menarik, caucus yang sudah melenyap di negeri
tempat asalnya dan digantikan tempatnya oleh konvensi, di
Indonesia bisa hidup tegak berbarengan. Barisan caucus untuk
persiapan sidang umum MPR, dan konvensi (seperti kata Amin
Iskandar) buat memantapkan calon wakil presiden. Kalau lima
tahun lalu ketua DPR/MPR jadi wakil presiden, bagaimana jika hal
itu dimasukkan saja ke dalam kotak konvensi. Apa susahnya. Ya,
apa pula susahnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini