DUA peristiwa dengan perkara sama: memasang bendera terbalik.
Inilah sisa pemilu lalu yang masih menyangkut di Pngadilan
Negeri Banyuwangi, Jawa Timur. Tujuh terdakwa diajukan ke
pengadilan sejak Agustus lalu, gara-gara membawa bendera
"putih-merah". Peristiwanya terjadi tatkala lagi ramai kampanye
5 April 1982 dan sepuluh hari kemudian.
Setelah 8 kali sidang, pengadilan mcngangap cukup memeriksa
tertuduh dan saksi. Rencananya, Jaksa Budi Soedjana 811, akan
membacakan tuntutannya 23 Oktober ini. "Tuduhan saya sudah
terbukti. Para terdakwa telah mengakui," kata jaksa itu kepada
TEMPO.
Peristiwa pertama 5 April petang, sebuah pikap bak terbuka
meluncur dari tempat kampanye di Desa Alivan. Kecamatan
Rogojampi. Polisi menghadang dan memeriksanya. Mobil yang
dijejali 20 peserta kampanye dari desa Rarasgempal, Sumberberas,
Kecamatan Muncar itu memang memasang bendera terbalik di pojok
bak depan kanan dan panji-panji ka'bah di sebelah kiri. Tidak
ada yang mengaku, siapa yang bertanggung jawab. Polisi terpaksa
menggiring mereka ke Kosek Brono untuk pengusutan.
Baru kemudian Tohir, 26 tahun, guru ngaji Pondok Pesantren
Minjahud Tolah mengaku sebagai pemimpin rombongan. "Semua
anggota anak-anak dan pemuda, tidak ada yang berani bertanggung
jawab. Sebagai yang tertua, saya mereka suruh mengaku saja
sebagai ketua," kata Tohir, terdakwa 1, kepada TEMPO di
rumahnya. "Sungguh mati, saya tidak tahu kalau bendera terbalik.
Konsentrasi cuma pada kampanye."
Menurut pengakuan Tohir di depan hakim, beberapa kali bendera
menabrak dahan di pinggir jalan. Tali bendera bagian atas putus
dan bambu muda sebagai tiangnya roboh. Melihat keadaan itu,
Muzayin, 20 tahun -- tertuduh II -mengikatkannya kembali. "Saya
tidak memperhatikan, tali mana yang seharusnya di atas karena
kendaraan berjalan tepat dan kami asyik berteriak-teriak," tutur
Muzayin kepada TEMPO.
Di depan sidang, ketiga tertuduh mengaku bersalah. Tapi mereka
berkilah sama: "Kami tidak sengaja." Sedang polisi bersikeras
menganggap perkara itu layak diajukan ke pengadilan. Soalnya,
jarak antara Muzayin mengikatkan kembali sampai tempat
penangkapan cukup jauh, sekitar 5 km. Kata Lettu Soewarno dalam
penyidikannya: "Maka mustahil kalau mereka tidak tahu bendera
itu terbalik."
Peristiwa sama yang juga sedang ditangani Pengadilan Negeri
Banyuwani dialami Mohammad Musa, 27 tahun dari Desa Barurejo,
Kecamatan Kalibaru 15 April. Ia memang sudah siap memimpin
rombongan desanya untuk menghadiri kampanye PPP di Jember yang
menampilkan Oma Irama itu. "Saya tergesa-gesa karena rombongan
sudah menunggu di depan rumah," kata petani itu kepada TEMPO.
Tanpa mengamati perlengkapan kampanye, termasuk bendera "putih
merah", ia meloncat ke atas pikap yang ia sewa. Setelah meluncur
4 km, rombongan petani itu disetop polisi. "Saya mengakui salah
kalena bendera memang terbalik," tulurnya.
Tapi tidak ada yang mengaku, siapa yang membalik bendera itu,
"kami baru tahu bendera terbalik setelah ditangkap polisi," ujar
Musa yang diperkuat 3 tertuduh lainnya.
Apapun yang bakal diputuskan pengadilan, nampaknya para petani
dan orang kampung itu tidak akan bertele-tele. Kenyataannya,
bendera yang mereka bawa memang terbalik dan dianggap "telah
menodai bendera kebangsaan."
Keteledoran memasang bendera ternyata terjadi juga
dilingkungan Pengadilan Negeri Banyuwangi. Ketika berkas perkara
Talin dkk serta Musa dkk siap dilimpahkan dari kejaksaan ke
pengadilan, di halaman instansi terakhir ini berkibar bendera
merah putih terbalik. Setelah berkibar antara pukul 7.00-10.00
tanggal 11 Agustus 82, para hakim baru mengetahuinya .
Pemasangnya ialah Wariyo, penjaga malam kantor pengadilan itu.
"Karena pagi itu sudah terpasang, saya langsung saja duduk di
meja penerima tamu," kala Soeprapto, pesuruh yang sehari-hari
seharusnya mengerek merah-putih ke puncak tiang. "Kalau
masalahnya samasama tidak sengaja, mengapa kasus bendera
terbalik di halaman kantor pengadilan itw tidak diusut?" kata
pembela Tohir dan Musa cs yang dipimpin Ismail Ridwan. Ismail
mempersoalkan, keteledoran di pengadilan lebih lama dibanding
yang dilakukan peserta kampanye yang dibelanya--paling banter 15
menit.
Nampaknya Jaksa Budi Soedjana juga memahami alasan pembela itu.
"Secara pribadi, saya bisa memaafkan semua kejadian itu Toh
tidak menyebabkan kkacauan. katanya. "Tapi secara hukum memang
alah." Karena itu, katanya, ia masih perlu berkonsultasi dulu
dengan berbagai pihak sebelum mengajukan tuntutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini