Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Al Maarif Lawan Paramount

Eksekusi penyitaan mesin-mesin al maarif atas permohonan PT Paramount mengundang keributan, dan ternyata ditangguhkan pelaksanaannya atas perintah Mahkamah Agung. (hk)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERIBUTAN hampir terjadi. Ratusan buruh berjajar menutup rapat pintu gerbang percetakan PT Al Maarif yang dikenal banyak mencetak dan menerbitkan buku buku agama, untuk menghalangi petugas Pengadilan Negeri Bandung yang hendak melakukan eksekusi penyitaan mesin-mesin percetakan itu. Para buruh itu berteriak-teriak menantang petugas dipimpin direkturnya, H.M. Baharthah. "Saya akan mempertahankan gedung ini, demi nasib buruh-buruh saya," ujar Baharthah. Untunglah Wakil Juru Sita Pengadilan Negeri Bandung, Bernard Simatupang, cukup dingin menghadapi situasi itu. Apalagi ketika Baharthah menyerahkan sepucuk surat yang ternyata penangguhan eksekusi dari Mahkamah Agung (MA). Pada saat yang sama, Pengadilan Negeri Bandung mendapat telepon dari MA di Jakarta, agar menunda pelaksanaan eksekusi itu. Bernard terpaksa kembali pulang bersama truk-truk yang semula disiapkan untuk memboyong mesin-mesin percetakan itu. Eksekusi yang mengundang keributan Selasa pekan lalu itu dilakukan Pengadilan Negeri Bandung atas permintaan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soedijono. Pada 29 April lalu, Soedijono menetapkan, eksekusi penyitaan mesin-mesin Al Maarif bisa dilaksanakan atas permohonan PT Paramount Jakarta melalui kuasanya, Soenarto Soerodibroto. Dasar permohonan itu Al Maarif dinilai telah ingkar janji untuk melunasi pembayaran pembelian 7 unit mesin percetakan dari Paramount senilai Rp 303 juta. Menurut Soenarto, tahun 1976 dan 1977 Al Maarif bersama kliennya Paramount telah melakukan jual beli 7 buah mesin. Sebagian pembayaran akan dicicil oleh Al Maarif selama 2 tahun 6 bulan. Kedua pihak menandatangani Grosse akta, semacam perjanjian utang-piutang yang berkekuatan hukum, dengan jaminan fiduciar berupa mesin-mesin itu. Artinya, kalau pembayaran tidak dilaksanakan, semua mesin yang dijaminkan bisa disita kembali oleh si berpiutang. tanpa melalui proses pengadilan. "Akta itu sama kuatnya dengan putusan pengadilan, hanya eksekusinya harus melalui pengadilan," ujar Soenarto lagi. Ternyata sampai waktu yang ditentukan tiba, tahun 1980, Al Maarif tidak melaksanakan isi perjanjian itu. Sebab itu, kata Soenarto, ia memohon penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 16 Juli tahun lalu. Permohonan itu dikabulkan Soedijono. Hakim itu meminta Pengadilaa Negeri Bandung melaksanakan eksekusi itu. Namun seperti diakui juga oleh Soenarto, eksekusi itu kekurangan syarat, yaitu harus ada acara penyitaan lebih dulu -- semacam penyegelan. Akibalnya, Mahkamah Agung menangguhkan eksekusi sampai waktu yang tidak ditentukan. "Karena tidak didahului penyitaan, eksekusi itu batal demi hukum," ujar Minang Warman, kuasa Al Maarif. Baharthah, pengusaha kelahiran Yaman Selatan pemilik percetakan Al Maarif membenarkan mempunyai utang kepada Paramount. Namun, ia membantah jumlahnya mencapai Rp 303 juta. "Itu termasuk rente setelah kami menyetop pembayaran," ujarnya. Menurut dia pembayaran pembelian mesin-mesin yang belum ia lunasi hanya sekitar Rp 100 juta. Penyetopan pembayaran utang-utang itu, kata Baharthah, disengaja, karena ia merasa Paramount tidak memenuhi janji. "Saya terjebak karena janji muluk dan tawaran pembayaran ringan dari mereka," ujar Baharthah. Ternyata, setelah mesin dibelinya, ia tidak mendapatkan spare part dari mesin-mesin itu. Jadi, "bukan kami tidak mau membayar, yang kami inginkan Paramount menetapi janjinya lebih dulu," kata Baharthah. Akibat tidak dikirimkannya spare part yang diminta itu, menurut Baharthah berapa mesin yang dibelinya tidak bisa berproduksi. Ia tak menyebutkan apakah dalam perjanjian tercantum juga soal spare part. Minang Warman, pengacara Baharthah, mengaku kliennya pernah menjanjikan akan membayar cicilan sisa utang sebanyak Rp 30 juta asal Paramount melengkapi spare part mesin-mesin itu. "Orang bule itu (orang asing yang memimpin Paramount) bilang okey, tapi hasilnya nol," ujar Minan,. ebab itu, ia memasukkan gugatan balik terhadap Paramount, 7 Oktober lalu . Tapi benarkah mesin-mesin dari Paramount itu rusak karena kurang spare part? "Itu tidak benar, kalau mesin itu tidak lengkap komponennya mesin itu tidak akan jalan. Nyatanya Al Maarif tetap berproduksi," kata seorang staf Paramount. Seorang karyawan Al Maarif membenarkan pula, mesin-mesin yang dikatakan rusak itu sampai sekarang masih memproduksi buku-buku agama dan Al Quran. "Hanya mesin-mesin itu perlu diservis," ujar karyawan itu. Soenarto menilai gugatan balik dari lawannya itu mengada-ada saja. Ia merasa yakln Paramount dalam posisi yang kuat, karena isi Grosse akta yang tidak boleh dilanggar Al Maarif. "Kalau mereka mau gugat balik, silakan kami akan layani," ujar Soenarto. Siapa yang benar dari kedua pihak yang sama-sama merasa dirugikan ini, tentunya wewenang pengadilan yang akan memeriksanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus