KERIBUTAN hampir terjadi. Ratusan buruh berjajar menutup rapat
pintu gerbang percetakan PT Al Maarif yang dikenal banyak
mencetak dan menerbitkan buku buku agama, untuk menghalangi
petugas Pengadilan Negeri Bandung yang hendak melakukan eksekusi
penyitaan mesin-mesin percetakan itu. Para buruh itu
berteriak-teriak menantang petugas dipimpin direkturnya, H.M.
Baharthah. "Saya akan mempertahankan gedung ini, demi nasib
buruh-buruh saya," ujar Baharthah.
Untunglah Wakil Juru Sita Pengadilan Negeri Bandung, Bernard
Simatupang, cukup dingin menghadapi situasi itu. Apalagi ketika
Baharthah menyerahkan sepucuk surat yang ternyata penangguhan
eksekusi dari Mahkamah Agung (MA). Pada saat yang sama,
Pengadilan Negeri Bandung mendapat telepon dari MA di Jakarta,
agar menunda pelaksanaan eksekusi itu. Bernard terpaksa kembali
pulang bersama truk-truk yang semula disiapkan untuk memboyong
mesin-mesin percetakan itu.
Eksekusi yang mengundang keributan Selasa pekan lalu itu
dilakukan Pengadilan Negeri Bandung atas permintaan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soedijono. Pada 29 April lalu,
Soedijono menetapkan, eksekusi penyitaan mesin-mesin Al Maarif
bisa dilaksanakan atas permohonan PT Paramount Jakarta melalui
kuasanya, Soenarto Soerodibroto. Dasar permohonan itu Al Maarif
dinilai telah ingkar janji untuk melunasi pembayaran pembelian 7
unit mesin percetakan dari Paramount senilai Rp 303 juta.
Menurut Soenarto, tahun 1976 dan 1977 Al Maarif bersama kliennya
Paramount telah melakukan jual beli 7 buah mesin. Sebagian
pembayaran akan dicicil oleh Al Maarif selama 2 tahun 6 bulan.
Kedua pihak menandatangani Grosse akta, semacam perjanjian
utang-piutang yang berkekuatan hukum, dengan jaminan fiduciar
berupa mesin-mesin itu.
Artinya, kalau pembayaran tidak dilaksanakan, semua mesin yang
dijaminkan bisa disita kembali oleh si berpiutang. tanpa
melalui proses pengadilan. "Akta itu sama kuatnya dengan putusan
pengadilan, hanya eksekusinya harus melalui pengadilan," ujar
Soenarto lagi.
Ternyata sampai waktu yang ditentukan tiba, tahun 1980, Al
Maarif tidak melaksanakan isi perjanjian itu. Sebab itu, kata
Soenarto, ia memohon penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, 16 Juli tahun lalu. Permohonan itu dikabulkan
Soedijono. Hakim itu meminta Pengadilaa Negeri Bandung
melaksanakan eksekusi itu.
Namun seperti diakui juga oleh Soenarto, eksekusi itu kekurangan
syarat, yaitu harus ada acara penyitaan lebih dulu -- semacam
penyegelan. Akibalnya, Mahkamah Agung menangguhkan eksekusi
sampai waktu yang tidak ditentukan. "Karena tidak didahului
penyitaan, eksekusi itu batal demi hukum," ujar Minang Warman,
kuasa Al Maarif.
Baharthah, pengusaha kelahiran Yaman Selatan pemilik percetakan
Al Maarif membenarkan mempunyai utang kepada Paramount. Namun,
ia membantah jumlahnya mencapai Rp 303 juta. "Itu termasuk rente
setelah kami menyetop pembayaran," ujarnya. Menurut dia
pembayaran pembelian mesin-mesin yang belum ia lunasi hanya
sekitar Rp 100 juta.
Penyetopan pembayaran utang-utang itu, kata Baharthah,
disengaja, karena ia merasa Paramount tidak memenuhi janji.
"Saya terjebak karena janji muluk dan tawaran pembayaran ringan
dari mereka," ujar Baharthah. Ternyata, setelah mesin dibelinya,
ia tidak mendapatkan spare part dari mesin-mesin itu. Jadi,
"bukan kami tidak mau membayar, yang kami inginkan Paramount
menetapi janjinya lebih dulu," kata Baharthah. Akibat tidak
dikirimkannya spare part yang diminta itu, menurut Baharthah
berapa mesin yang dibelinya tidak bisa berproduksi. Ia tak
menyebutkan apakah dalam perjanjian tercantum juga soal spare
part.
Minang Warman, pengacara Baharthah, mengaku kliennya pernah
menjanjikan akan membayar cicilan sisa utang sebanyak Rp 30 juta
asal Paramount melengkapi spare part mesin-mesin itu. "Orang
bule itu (orang asing yang memimpin Paramount) bilang okey, tapi
hasilnya nol," ujar Minan,. ebab itu, ia memasukkan gugatan
balik terhadap Paramount, 7 Oktober lalu .
Tapi benarkah mesin-mesin dari Paramount itu rusak karena kurang
spare part? "Itu tidak benar, kalau mesin itu tidak lengkap
komponennya mesin itu tidak akan jalan. Nyatanya Al Maarif tetap
berproduksi," kata seorang staf Paramount. Seorang karyawan Al
Maarif membenarkan pula, mesin-mesin yang dikatakan rusak itu
sampai sekarang masih memproduksi buku-buku agama dan Al Quran.
"Hanya mesin-mesin itu perlu diservis," ujar karyawan itu.
Soenarto menilai gugatan balik dari lawannya itu mengada-ada
saja. Ia merasa yakln Paramount dalam posisi yang kuat, karena
isi Grosse akta yang tidak boleh dilanggar Al Maarif. "Kalau
mereka mau gugat balik, silakan kami akan layani," ujar
Soenarto. Siapa yang benar dari kedua pihak yang sama-sama
merasa dirugikan ini, tentunya wewenang pengadilan yang akan
memeriksanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini