Lagi, masalah kebocoran pembangunan ramai dibicarakan. Itu setelah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo menyatakannya di depan kongres ISEI di Surabaya, belum lama ini. Sumitro menyebutkan dana pembangunan bocor sekitar 30%, sekitar Rp 8 triliun. Kebocoran ini memang sudah lama disinyalir, baik oleh Bank Dunia maupun oleh para pakar di Indonesia. Tapi, hingga kini, tak ada tindakan atau usaha nyata, baik oleh pemerintah, DPR, BPK, DPA, dan lainnya untuk mengatasi atau memperkecilnya. Seolah-olah hal itu sengaja dibuat bocor. Lihat saja gaji pegawai negeri dan pejabat negara itu sangat kecil. Anggaran belanja rutin instansi pemerintah dan lembaga negara cuma pas-pasan. Tapi, dengan segala hambatan itu, kok semuanya dapat terus bekerja dan berjalan? Bahkan, mereka sering membuat acara yang mewah dan hebat. Ada pejabat negara yang mengawinkan anaknya menghabiskan Rp 1 miliar. Ada jenderal purnawirawan yang mampu membelikan sebuah istana Rp 3 miliar untuk istri mudanya. Kebocoran sebesar 30% itu logis saja. Soalnya, sistem dan mekanisme tender pemborongan pekerjaan atau pengadaan barang bagi pemerintah dan BUMN, menurut peraturannya, memang dibuat begitu. Misalnya, ada proyek pembuatan jalan. Jika tender itu dimenangkan oleh seorang pemborong dengan nilai 100%, maka 10% dari jumlah itu dibayarkan kepada para rekanan lain yang dikalahkan dalam tender, 10% untuk pemimpin proyek, 10% untuk biaya administrai termasuk upeti kepada pengawas proyek, 15% untuk bayar pajak-pajak, dan sedikitnya 15% untuk keuntungan pemborong. Sisanya yang 40% untuk biaya material dan ongkos kerja. Jika ada proyek pengadaan barang atau pembebasan tanah, harga yang dibayar oleh bendaharawan instansi pemerintah atau BUMN bisa mencapai 200% dari harga barang atau tanah yang sebenarnya. Itu sudah merupakan rahasia umum karena sudah menjadi kelaziman. Tak mungkin ada risiko, misalnya dilaporkan kepada yang berwajib, jika semua pihak yang berkepentingan sudah mendapat porsinya. Semua hal, apa saja, dapat diatur di Indoneia ini. Sudah lazim setiap pemimpin atau bendaharawan proyek mempunyai sekelompok rekanan tetap. Atau hanya satu rekanan, tapi mempunyai banyak PT atau CV fiktif untuk memenuhi proforma kewajiban tender. Saya tak tahu pasti, apakah yang salah peraturan atau manusianya, atau dua-duanya. Entahlah, kapan dan siapa berani mengubah ini semua.SUHARSONO HADIKUSUMOPensiunan Pegawai Pajak Jalan Pejuangan 2 RT 08/10 Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini