"Setinggi-tinggi bangau terbang, hinggapnya ke kubangan juga." Pepatah ini menjadi persoalan jika menyangkut kepergian para konglomerat Indonesia ke perhelatan para hoakiau dari seluruh dunia di Hong Kong berapa waktu lalu. Adalah wajar jika persoalan ini muncul. Sebab, sadar atau tidak, mereka telah "dipersaudarakan" dengan kita melalui sejumlah upaya formal yang lazim disebut pembauran. Baik itu melalui penggantian nama, busana, kerja sama di sektor ekonomi, perkawinan campuran, maupun karena secara alamiah lewat beragam kontak sosial. Kita bangga telah merasakan adanya penghayatan yang kian intens tentang nilai-nilai kesamaan antara pri dan nonpri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, seiring dengan itu, kita pun masih sering mendengar tuntutan agar nonpri tidak hanya berkiprah di sektor ekonomi. Sekadar contoh, tulisan Christianto Wibisono (TEMPO, 4 Desember, Kolom) menyiratkan tuntutan ini. Sayang, tuntutan ini terasa kurang pada tempatnya. Sebab, kalau mau jujur, seperti halnya kita, mereka pun telah memperoleh lebih dari yang diminta. Tambahan pula, tindakan "meminta" atau "memohon izin" amat terkesan simbolis, sebab ia hanya mewakili jarak. Padahal, yang kita perlukan adalah tindakan nyata yang didasari oleh panggilan hati untuk menghapus sekat-sekat pri dan nonpri. Menanggapi persoalan ini amat terpuji, kiranya, jika kita mengarifi langkah-langkah cerdas yang telah ditempuh oleh saudara-saudara kita. Misalnya oleh H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien yang bersahabat karib dengan Bung Karno. Atau keteladanan H. Junus Jahja (Lauw Chuan Tho) yang tampil sebagai pemimpin, setidak-tidaknya menurut analisa Dr. Leo Suryadinata (Liauw Kian Djoe), dalam memecahkan masalah Cina di Indonesia. Atau boleh juga berkaca pada figur Haji Masagung yang mengesankan. Haji Masagung amat mengesankan, bukan hanya dalam keberhasilannya mengelola puluhan toko bukunya, tapi yang lebih penting, seperti juga yang pernah dipuji oleh Jenderal (Purn.) A.H. Nasution, ia mengesankan karena keteladanannya sebagai WNI "turunan" yang secara penuh mengintegrasikan diri dalam bangsa, masyarakat, dan umat. Akhirnya warna kulit, kelopak mata, dan perbedaan bentuk-bentuk fisik lainnya hanya terasa sebagai kebetulan. Yang substansial adalah perasaan sama-sama memiliki Indonesia.KARIM SURYADIJalan Jayengrana 4 Kompleks IKIP Bandung Bandung 40154
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini