Rapat besar kedua para pengusaha keturunan Cina di Hong Kong belum lama ini menjadi fenomena yang dipergunjingkan. Surat Junus Jahja pada TEMPO, 11 Desember, mencerminkan pandangan sempit yang justru merumitkan persoalan. Junus Jahja melihatnya secara bias negatif. Tampaknya ia mencampuradukkan politik dan bisnis, wawasan taktis dan strategis. Ingat, dalam jalur bisnis, apalagi dalam era globalisasi ini, segala cara "kreatif" ditempuh untuk memenangkan kompetisi (bukan konkurensi). Soal mengelompoknya orang-orang "sesumber" atau "seminat" atau "selingkung" atau "sejenis" sudah puluhan tahun silam diramalkan oleh Alvin Toffler, ahli pembaca tanda zaman. Sama halnya fenomena globalisasi, fenomena pengelompokan pun tak perlu menjadi objek fobia. Saya melihat pengelompokan itu lebih sebagai taktik bisnis. Buktinya, yang hadir dan berkumpul adalah para pelaku bisnis dengan motor penggeraknya orang kreatif seperti Menteri Senior Lee Kuan Yew. Logikanya, bagi pengusaha, waktu adalah uang. Untuk itulah mereka berkumpul. Soal pengelompokan "sejenis" yang lain, itu pun lumrah dan wajar. Mereka akan bekerja sama demi tujuan sejenis, misalnya untuk bisnis. Atau, untuk pengembangan iptek seperti yang dilakukan ICMI.DR. WILLIE JAPARIESPeneliti Utama Badan Riset Medis Divisi Kesehatan SosialJalan Cempaka Putih Tengah II/1 Blok D-23 Jakarta 10510
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini