Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMBILAN tahun lalu, masyarakat menyambut awal kepresidenan Joko Widodo dengan banyak harapan. Apalagi ketika ia melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dalam penentuan anggota kabinetnya. Kini, menjelang akhir dua periode kepemimpinannya, harapan terselenggaranya pemerintahan yang bebas dari korupsi itu hancur lebur tak bersisa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 2014, sejumlah menteri Jokowi masuk bui akibat berbagai kasus korupsi. Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian sejak 2019, adalah anggota kabinet kelima yang akan segera menjadi pesakitan. Komisi antikorupsi menuduhnya terlibat perdagangan jabatan dan beberapa kasus lain. Dito Ariotedjo, yang belum setahun menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, pun kini disebut-sebut dalam perkara dugaan makelar kasus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlu dicatat, Syahrul menjadi tersangka pada era KPK baru, yang sebagian besar kewenangannya telah dikebiri sejak akhir periode pertama Jokowi. Adapun Johnny Gerard Plate, eks Menteri Komunikasi dan Informatika, dituduh melakukan korupsi pengadaan menara pemancar sinyal Internet oleh Kejaksaan Agung. Keduanya politikus Partai NasDem. Karena itu, sekaligus menjadi catatan kedua, muncul tuduhan “politisasi” dan “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi. Jika tuduhan itu benar, boleh jadi daftar menteri yang korup bisa lebih banyak.
Jelas, Jokowi gagal dalam memilih anggota kabinet pada dua periode kabinetnya. Politik akomodatif terhadap pendukungnya, terutama dari latar belakang partai, boleh disebut sebagai penyebab. Kendati di awal menyatakan “tidak akan bagi-bagi kekuasaan”, ia menerima begitu saja perwakilan partai untuk mengisi sejumlah kursi menteri—terutama pada pos yang dianggap “basah”. Ia tidak memberi batasan ketat sebagai alat penyaringan calon menteri.
Akibatnya, meski pada awalnya dia melibatkan KPK dan PPATK untuk menyusun kabinet 2014, dua menteri periode 2014-2019 masuk bui lantaran kasus korupsi. Keduanya wakil dari Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa. Pada periode kedua, Jokowi tak lagi melibatkan kedua lembaga tersebut dalam penunjukan menteri. Hasilnya, hanya dalam beberapa bulan, seorang menteri dari Partai Gerakan Indonesia Raya masuk penjara.
Baca liputannya:
- Bagaimana Modus Dugaan Pencucian Uang Syahrul Yasin Limpo
- Selangkah Lagi Firli Bahuri Jadi Tersangka Pemerasan
Kemunduran besar dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di era Jokowi terkonfirmasi pada angka survei. Posisi Indonesia anjlok dalam Indeks Persepsi Korupsi 2022 yang dilansir Transparency International Indonesia. Dengan penurunan empat poin dari 38 menjadi 34, peringkat Indonesia terjun dari ke-96 ke ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Tingkat korupsi politik di Indonesia, menurut penelitian yang sama, juga masih tinggi.
Koreksi terhadap kelemahan itu tampaknya sulit dilakukan dalam setahun sisa pemerintahan Jokowi. Apalagi semua penopang kekuasaan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu kini disibukkan dengan persiapan pemilihan presiden dan Pemilihan Umum 2024. Maka harapan tersebut mau tak mau perlu dipindahkan ke calon penggantinya. Publik perlu mengingatkan sejak awal: siapa pun yang terpilih untuk memimpin Indonesia pada periode 2024-2029 harus merekrut anggota kabinetnya dengan standar antikorupsi yang tinggi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kegagalan Rekrutmen Menteri Jokowi"