Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH Komisi Pemberantasan Korupsi tak memburu dan menahan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor jelas kesalahan besar. Dengan alat bukti yang telah dimiliki, KPK bahkan bisa langsung memasukkan nama Sahbirin ke daftar pencarian orang. Keputusan tak langsung menjadikan Sahbirin sebagai buron membuat Sahbirin bisa leluasa mengajukan gugatan praperadilan yang besar kemungkinan bakal membebaskannya dari status tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK menetapkan Sahbirin sebagai tersangka pada Selasa, 8 Oktober 2024. Ia diduga menerima fee 5 persen dari sejumlah proyek infrastruktur di Kalimantan Selatan. Sebelumnya, penyidik menggelar operasi tangkap tangan dan menangkap sejumlah anak buah Sahbirin. Politikus Partai Golkar yang belum diketahui keberadaannya itu kemudian mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis, 10 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seandainya KPK segera menetapkan Sahbirin sebagai buron, peluang dia mengajukan gugatan praperadilan otomatis hilang. Namun KPK terlihat enggan segera mencokok Sahbirin. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron malah menyatakan pemeriksaan Sahbirin menunggu putusan praperadilan. Meskipun juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, belakangan membantah pernyataan itu, Ghufron tak selayaknya memberikan keistimewaan kepada Sahbirin.
Alasan Ghufron bahwa lembaganya menunda pemeriksaan karena menghormati hak asasi Sahbirin sungguh di luar nalar. Kalaupun tak menetapkan Sahbirin sebagai buron, KPK bisa tetap memeriksa atau menangkap dia tanpa perlu menunggu putusan gugatan praperadilan. Makin lama KPK tak menahan Sahbirin, paman pengusaha tambang Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam itu makin berpeluang menghilangkan barang bukti atau bahkan kabur ke luar negeri.
KPK jelas membuat blunder dalam menangani kasus Sahbirin Noor. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama ini kerap membebaskan tersangka kasus korupsi. Awal 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penetapan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, sebagai tersangka oleh KPK tak sah. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menerima gugatan mantan Direktur Jenderal Pajak, Hadi Poernomo, dan calon Kepala Kepolisian RI, Budi Gunawan.
Sikap KPK memberikan karpet merah kepada Sahbirin Noor kian menunjukkan lembaga itu tak independen dalam menangani kasus korupsi. Tanda-tanda KPK telah bersikap lembek terhadap mereka yang memiliki pengaruh seperti Sahbirin pun makin jelas. KPK, misalnya, tak berdaya mengusut dugaan gratifikasi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang “nebeng” pesawat jet pribadi sewaan seorang pengusaha ke Amerika Serikat.
Bukan tak mungkin KPK menjadi alat pukul penguasa untuk menghadapi lawan atau melindungi kawan politiknya. Jika itu terjadi, pemberantasan korupsi di negeri ini kian hancur lebur. Sejak revisi Undang-Undang KPK disahkan, lembaga itu terus melemah dan rentan disalahgunakan untuk kepentingan penguasa atau pimpinannya. Eks Ketua KPK, Firli Bahuri, misalnya, terbukti menyalahgunakan wewenang dalam penanganan kasus korupsi mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Penanganan kasus Sahbirin Noor menjadi pelengkap kisah buruk pemberantasan korupsi pada era pimpinan KPK periode saat ini. Publik bisa menyaksikan bahwa penegakan hukum yang tak pandang bulu di KPK hanya slogan belaka. KPK kini tak berbeda dengan lembaga penegak hukum lain yang korup dan bertekuk lutut ketika menghadapi “orang kuat”.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Takluk KPK di Hadapan Orang Kuat"