Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Inefisiensi Ekonomi Warisan Jokowi

Jokowi mewariskan ekonomi yang tak efisien, ibarat mobil tua. Kabinet gemuk Prabowo Subianto membuat inefisiensi menjadi-jadi.

20 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • ICOR Indonesia yang makin tinggi menunjukkan ekonomi Indonesia tak efisien.

  • Makin banyak pekerja yang turun kelas masuk ke sektor informal.

  • Program populis Prabowo akan menggelembungkan defisit dan utang.

EKONOMI Indonesia makin tak efisien. Inilah warisan Joko Widodo bagi pemerintah baru. Bak mobil tua yang boros bensin, inefisiensi membuat ekonomi Indonesia membutuhkan lebih banyak bahan bakar agar bisa bergerak dan tumbuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu bahan bakar pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Lonjakan yang terjadi pada incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia menunjukkan inefisiensi itu. Untuk menghasilkan setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi, kini Indonesia membutuhkan investasi lebih besar ketimbang 10 tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam perhelatan Indonesia Update di Australian National University, Australia, September 2024, ekonom Cosimo Thawley, Masyita Crystallin, dan Kiki Verico menyampaikan hitungan ICOR Indonesia. Pada 2009-2014 angkanya 6,1, lalu naik menjadi 6,6 (2014-2019) dan 7,6 (2019-2023). Kesimpulannya, selama kepemimpinan Joko Widodo, ekonomi Indonesia makin inefisien, membutuhkan investasi 1,25 kali lipat lebih besar untuk mencetak setiap 1 persen pertumbuhan.

Itu sebabnya pertumbuhan ekonomi sepuluh tahun terakhir biasa-biasa saja, rata-rata sekitar 5 persen, meskipun ada banjir investasi. Menurut data Kementerian Investasi, realisasi arus modal masuk selama Jokowi berkuasa mencapai Rp 9.117 triliun. Besar nilainya, tapi investasi itu kurang produktif, tak mendorong pertumbuhan lebih tinggi.  

Ada data penciptaan lapangan kerja yang juga mendukung kesimpulan itu. Pada 2014, setiap investasi senilai Rp 1 triliun mampu menyerap 3.090 tenaga kerja. Sedangkan pada Januari-September 2024, setiap investasi Rp 1 triliun hanya menyerap 1.490 tenaga kerja, tak sampai separuhnya.

Itu sebabnya makin banyak pekerja Indonesia yang terpental turun kelas masuk ke sektor informal. Porsi pekerja informal saat ini mencapai 59,7 persen dari total pekerja, meningkat ketimbang 55,7 persen pada 2019. 

Bukan cuma itu, kendati ada investasi yang amat besar, Rp 1.261 triliun selama Januari-September 2024, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) justru meningkat pesat. Selama Januari-Agustus 2024, jumlah PHK melonjak 23,7 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Lebih dari separuhnya, 52,16 persen, terjadi di sektor manufaktur.

Buruknya produktivitas investasi di Indonesia tentu tak lepas dari pilihan kebijakan pemerintah. Salah satu contohnya adalah prioritas bagi program penghiliran mineral. Efek investasi tersebut pada pertumbuhan jelas tak sehebat yang dipropagandakan pemerintah. 

Prioritas pada hilirisasi mineral juga menimbulkan banyak masalah. Dalam hal penerimaan negara, pemerintah harus rela kehilangan penerimaan pajak hingga 15 tahun. Ada liberalisasi aturan tenaga kerja asing yang mengurangi tingkat penyerapan tenaga lokal. Bahkan pemerintah tak segan mengorbankan lingkungan. Pemerintah membuat Undang-Undang Cipta Kerja sebagai landasan hukum demi memuluskan kemudahan-kemudahan itu.

Alih-alih berupaya memperbaiki inefisiensi, sejak keputusan pertamanya sebagai presiden, Prabowo Subianto malah membuat pemerintah makin tak efisien, menyusun kabinet yang sangat gemuk, bertambah menjadi hampir 50 kementerian dari sebelumnya 34. Belum lagi kehadiran wakil menteri hampir di semua departemen. Ongkos mengurus republik ini makin besar, dus efisiensi ekonomi bakal makin merosot.

Tak tampak pula program pemerintah baru yang bertujuan memperbaiki inefisiensi. Sebaliknya, program unggulan yang sudah muncul justru program populis yang akan menggelembungkan defisit anggaran dan utang pemerintah dengan dampak minimal pada pertumbuhan.

Lihat saja bagaimana rendahnya produktivitas utang pemerintah selama ini. Sepuluh tahun terakhir, utang pemerintah melonjak lebih dari tiga kali lipat, dari Rp 2.608 triliun pada akhir 2014 menjadi Rp 8.444 triliun per akhir semester I 2024. Jika disandingkan dengan rerata pertumbuhan ekonomi yang medioker itu, terlihat jelas betapa tambahan utang yang luar biasa tersebut tak berhasil menciptakan pertumbuhan yang signifikan.

Pemerintah baru sepertinya dengan senang hati akan melanjutkan model ekonomi warisan Jokowi. Model itu memang memberi banyak manfaat politis ataupun finansial bagi pejabat dan kroni-kroninya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ekonomi Mobil Tua Warisan Jokowi"

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus