Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR 40 personel Kejaksaan Agung menggeruduk kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis, 3 Oktober 2024. Mereka menyebar di sejumlah ruangan di gedung Manggala Wanabakti. Sebagian menyasar ruang kerja Sekretariat Jenderal dan Biro Hukum. Ada pula yang menjaga ruang pemantau kamera pengawas. Berlangsung sejak pukul 09.00 WIB, penggeledahan itu memakan waktu lebih dari 15 jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim penyidik menyita sejumlah dokumen, peralatan elektronik, serta telepon seluler seusai penggeledahan. Semua dikemas dalam empat kontainer plastik dan dua kardus berukuran kecil. Sebuah label di kotak terlihat bertulisan “Disita dari ruang kerja Sub-Direktorat Perubahan, Peruntukan, dan Fungsi Kawasan Hutan di lantai 2”. Ada juga label bertulisan “Ruang IPHL” dan kotak lain bertulisan “Box Ruangan Dakum Pidana–Tim Tiger”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan penyidik menyita barang bukti untuk melancarkan penyidikan perkara tata kelola perkebunan sawit. Praktik tersebut diduga melibatkan sejumlah pejabat KLHK sepanjang 2005-2024. Ada indikasi korupsi di balik peran mereka saat memungut denda administrasi dan penegakan hukum. “Kasus ini berdampak kerugian keuangan negara,” ujarnya.
Harli membenarkan kabar bahwa Kejaksaan Agung menyita sejumlah ponsel pejabat KLHK. Sejak penggeledahan tersebut, tim penyidik sudah tiga kali menggelar ekspose perkara dan meyakini ada pelanggaran. Meski begitu, penyidik belum menetapkan satu pun tersangka. Upaya penyidikan masih akan digali dengan memanggil sejumlah saksi dalam beberapa pekan ke depan. “Pada saatnya kami sampaikan,” ucap Harli.
Nilai kerugian negara dalam kasus itu ditaksir mencapai Rp 300 triliun. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Muhammad Yusuf Ateh menjelaskan, angka itu merupakan hasil akumulasi denda perusahaan sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan berdasarkan selisih pembayaran. “Kebanyakan terkait dengan pungutan denda yang diatur dalam Pasal 119B Undang-Undang Cipta Kerja,” tuturnya.
Berdasarkan data dari KLHK, terungkap setidaknya 3,37 juta hektare perkebunan kelapa sawit ilegal di dalam kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, teridentifikasi ada 2.130 perusahaan yang semestinya dikenai sanksi. Tapi tak semuanya mendapat hukuman. Data Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum KLHK pada 28 Maret 2024 menyebutkan baru ada 365 perusahaan yang mengajukan permohonan pemutihan dari total 2.130 perusahaan.
Tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung mulai menyidik kasus itu setelah menerima laporan sejumlah korporasi. Seseorang yang ikut mengawal pelaporan kasus ini mengatakan para pelaku ditengarai melibatkan sejumlah pejabat dan pegawai KLHK yang tergabung dalam Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian. Satuan Pelaksanaan bekerja di bawah kendali sekretaris jenderal dan memiliki 10 kelompok kerja.
Organ yang dibentuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Juni 2021 ini mendapat mandat mengawal implementasi Undang-Undang Cipta Kerja tentang lingkungan hidup dan kehutanan. Salah satunya penerapan sanksi administrasi terhadap korporasi yang melakukan kegiatan ilegal di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur dalam pasal 110A dan 110B. Obyeknya bukan hanya perusahaan sawit, melainkan juga korporasi tambang.
Kedua pasal tersebut mengatur opsi pemutihan bagi pelaku kegiatan ilegal korporasi yang mengurus perizinan dan melengkapi persyaratan. Jika dalam waktu dua tahun ketentuan itu mereka abaikan, pemerintah bisa menerapkan sanksi denda dan/atau pidana. Dalam praktiknya, sumber tersebut menjelaskan, pasal ini sering kali dijadikan alat untuk memeras para pengusaha. Dalih kesalahannya pun bisa dicari.
Penerapan sanksi denda banyak dikeluhkan pengusaha lantaran Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tak membuka peluang bagi mereka mengajukan keberatan. Besaran denda yang dihitung berdasarkan rumus luas lahan terokupasi x potensi harga x 10 dianggap sudah final. Padahal di lapangan tak pernah jelas mana batasan kawasan hutan dan mana yang bukan.
Para pengusaha juga kerap disodori dua versi denda yang merujuk pada Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 661 Tahun 2023 tentang Penetapan Tarif Kebun Sawit di Hutan dan Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 1170 Tahun 2023 tentang Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit. Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 661 Tahun 2023 mengatur denda tarif tunggal. Sementara itu, Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 1170 Tahun 2023 memperhitungkan kekayaan alam lain yang turut tereksplorasi. Adapun ancaman hukuman dalam Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 1170 Tahun 2023 lebih berat dan kerap diperjualbelikan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono membenarkan kabar ihwal adanya dualisme aturan tersebut. Keluhan itu pernah mereka sampaikan kepada pemerintah yang berujung pada penerbitan Keputusan Menteri LHK Nomor 767 Tahun 2024. Aturan itu mengembalikan aturan denda menggunakan sistem tarif tunggal. “Jadi ada tebangan kayu atau tidak dalam kawasan hutan, dendanya tetap dengan tarif tunggal,” katanya.
Eddy menjelaskan, 3,3 juta hektare sawit yang tertanam di kawasan hutan tak hanya dikelola korporasi, tapi juga ditangani pengelola perkebunan rakyat. Dari jumlah itu, KLHK menerapkan sanksi denda atas penguasaan 700 ribu hektare sawit. Sekitar 537 perusahaan anggota Gapki sudah berupaya melengkapi syarat seperti sertifikat hak guna usaha. “Tapi mengalami kendala karena adanya tumpang-tindih kawasan hutan,” ucapnya.
Eddy menilai kasus ini muncul karena ketidaksinkronan aturan tata ruang pusat dengan daerah. Beberapa kawasan hutan tertentu bahkan tak pernah terjelaskan statusnya. Ia berharap penyidikan kasus ini mendorong pemerintah menata ulang kepastian batas kawasan hutan. Selama ini banyak perusahaan yang menjadi korban denda administrasi. “Kalau ada kepastian tata batas, saya meyakini kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ujarnya.
Tempo berupaya meminta konfirmasi mengenai kasus ini lewat Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono dan Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani. Namun keduanya tak kunjung merespons permintaan wawancara hingga Jumat, 18 Oktober 2024. Sementara itu, Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Mamat Rahmat memilih irit bicara. “Maaf, saya belum bisa berkomentar,” tuturnya.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Artha Siagian menjelaskan, norma dalam Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Aturan itu ibarat macan ompong lantaran, hingga tenggat pengurusan izin pada September 2023, tak ada satu pun korporasi yang dipidana.
Dalam catatan Walhi setidaknya ada 10 korporasi besar yang diduga menanam sawit dalam kawasan hutan. Mereka umumnya korporasi sawit raksasa yang dimiliki pengusaha dalam dan luar negeri. “Sejak awal kami menolak pemutihan sawit ilegal karena bisa membuka celah korupsi. Apalagi tenggat penyelesaiannya dibuat akhir 2023, menjelang tahun politik,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Denda Sawit di Tim Tiger"