Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iwan Gunadi
PADA beberapa tema tertentu, para wartawan masih terpeleset dalam menggunakan istilah. Misalnya, di bidang perbankan, masih banyak jurnalis yang membaurkan istilah ”kredit bermasalah” dengan ”kredit macet”.
Perhatikan berita bertajuk Perbankan Masih Dihantui Masalah Kre dit Macet di harian Sinar Harap an ter bitan 2003: ”Sementara menge nai kredit macet (non performing loan/NPL) gross pada 2001 meng alami penurunan dari 12,1 persen menjadi 8,1 persen pada 2002”. Pembauran ”kredit macet” dengan ”NPL” diulang lagi pada sejumlah kalimat lain.
Harian Suara Pembaruan, 4 Mei 2005, menulis secara tepat ketika mengu tip penjelasan Direktur Utama LippoBank saat itu, Jos Luhukay, pada berita bertajuk BI Didesak Jelaskan Soal Kredit Bank Mandiri: ”Kejaksaan harus bijak bahwa kredit bermasalah dan kredit macet terjadi di bank mana saja di seluruh dunia”.
Harian Media Indonesia, 9 Mei 2006, yang menyajikan berita berjudul Presi den: Tak Semua Kredit Macet Terkait Korupsi, melakukan keteledoran serupa. Kutipan langsung dari Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, dan Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) saat itu, Agus D.W. Martowardojo, tak menunjukkan adanya pembaur an secara serampangan. Tapi, ketika omongan Burhanuddin dan Agus diparafrasekan, keserampangan itu muncul: ”Kucuran kredit perbankan yang seret itu diakui juga Gubernur BI Burhanuddin Abdullah”.
Padahal, kalimat berikutnya da lam bentuk kutipan langsung dari Burhanud din berbunyi ”Perbankan masih harus berkutat pada tingginya non performing loan (NPL),…”. Ucap an Agus diparafrasekan dengan di iringi pembeberan data: ”Tahun 2004 kredit bermasalah masih sekitar Rp 25 triliun, tahun 2005 sudah meningkat menjadi Rp 52 triliun”. Tapi, sang wartawan malah menulisnya ”Arti nya, terjadi peningkatan kredit macet lebih dari 100 persen”.
Di bawah judul Menneg BUMN Sudah Terima Laporan BPK tentang Bank Mandiri, Tempo Interaktif, 15 Februari 2005, membaurkan sekali gus ”kredit bermasalah” de ngan ”kredit macet” dan ”kredit seret”. Dengan entengnya, Tempo Interaktif menyu supkan istilah baru ”kredit seret” pada kutipan langsung Menteri Ne gara Badan Usaha Milik Negara saat itu, Sugiharto, tentang NPL: ”Dugaan NPL (non performing loan/kredit se ret), saya justru masih menunggu la por annya”.
Keteledoran seperti itu ternyata bukan cuma tabiat media massa umum. Tengok saja apa yang dilakukan majalah Trust edisi 39, 2004, pada berita berjudul Bajing Loncat Kartu Kredit! Dengan mengutip Anwar Nasution, Deputi Gubernur Senior BI saat itu, Trust menulis ”persentase kredit macet untuk kartu kredit seharusnya sama dengan standar kredit macet untuk kredit-kredit lainnya, yakni maksimal 5 persen. Padahal, angka lima persen merupakan batasan maksimal NPL yang ditetapkan BI, bukan batasan kredit macet”.
Mencampuradukkan istilah ”non-performing loans (NPL)” atau ”kredit bermasalah” dengan ”kredit macet” atau ”kredit seret” menunjukkan kekurangtelitian penulisnya. Umumnya, kekurangtelitian bukan ditularkan dari ketakakuratan narasumber, melainkan lebih lantaran kekurangpahaman si penulis. Menjadi lebih menggemaskan ketika dia mencoba menawarkan istilah baru yang tak pas seperti kasus ”kredit seret” tadi.
Boleh jadi, pencampuradukan itu merupakan upaya kreatif si penulis untuk menghindari kemonotonan pi lihan kata atau diksi. Atau, boleh jadi pula, pencampuradukan itu untuk menambah efek dramatik pada peristiwa karena ”kredit macet” tentu lebih menyeramkan ketimbang ”kredit bermasalah”. Padahal, ketika jalan tersebut ditempuh, berita telah menyisihkan pijakan utamanya: fakta.
Kalau logika seperti itu yang menjadi acuan, pembauran ”kredit bermasalah”, ”kredit macet”, dan ”kredit seret” telah menjadi upaya yang menyesatkan. Sebab, ketiga istilah tersebut punya makna masing-masing. Arti kata macet dan seret saja sudah berbeda.
Pasal 12 ayat 3 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum menyebutkan, kualitas kredit terdiri atas lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet. PBI Nomor 8/2/PBI/2006 dan PBI Nomor 9/6/PBI/2007 yang memperbarui peraturan tentang penilaian kualitas aktiva bank umum tak meng ubah pengategorian tersebut. Masing-masing kategori itu sering ditengarai sebagai kualitas kredit kategori satu, dua, tiga, empat, dan lima.
Kualitas kredit kategori tiga hingga limalah yang disebut sebagai kredit bermasalah atau NPL. Istilah ”NPL” sendiri biasanya digunakan dalam menentukan rasio kredit bermasalah terhadap total kredit. Jadi, kredit macet hanya salah satu kategori dalam kredit bermasalah serta rasio NPL merupakan perbandingan jumlah kredit kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap jumlah total kredit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo